//

Kisah Zaid Bin Haritsah & Zainab Binti Jahsy



Kisah Zaid Bin Haritsah & Zainab Binti Jahsy


Banyak argumentasi yang dikemukakan untuk menepis keberadaan kafa'ah nasab, diantaranya peristiwa perkawinan Zaid bin Haritsah. Mereka berpendapat bahwa perkawinan antara seorang budak yang bernama Zaid bin Haritsah dengan seorang putri kaum bangsawan bernama Zainab binti Jahsy menghapus adanya sistem kafa'ah.

Menurut Prof. Dr. Aisyah Abdurahman: Zaid sebenarnya bukanlah budak. Nama aslinya adalah Zaid bin Haritsah bin Syurahil bin Ka'ab. Ibunya bernama Sa'ad bin Tsa'labah. Ketika itu ia diajak oleh ibunya berkunjung ke kaum ibunya yaitu Bani Ma'an bin Thay. Celakanya mereka tidak tahu bahwa saat itu suku Bani Ma'an sedang diserang oleh kaum Bani Qaim. Kaum ibunya (Bani Ma'an ) kalah, semua yang ada menjadi tawanan. Begitu pula Zaid yang ikut ditangkap dan dijual di pasar budak. Kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam.

Ketika Siti Khadijah telah menjadi istri nabi Muhammad dan berkunjung kepada saudaranya, beliau diberikan hadiah perkawinan yaitu budak. Hadiah berupa budak merupakan suatu adat kebiasaan di kalangan bangsa Arab saat itu. Khadijah pun menerima hadiah tersebut dan memilih Zaid sebagai hadiahnya, yang kemudian dihibahkan kepada Nabi Muhammad saw.

Haritsah bin Syurahil ayah Zaid terkejut mendengar adanya peperangan yang terjadi di bani Ma'an bin Thay, apalagi mendengar kabar bahwa Zaid anaknya telah dijadikan budak belian. Dengan gelisah dicarinya kabar tentang keberadaan Zaid. Terdengar olehnya bahwa Zaid berada di Makkah bersama Rasulullah saw dan mereka pergi untuk menemui Rasulullah. Ketika ayah Zaid meminta kembali anaknya, Rasulullah berkata serahkanlah keputusan ini kepada Zaid sendiri. Zaid memilih Rasulullah dari pada ayahnya, maka semenjak itu Rasulullah mengumumkan bahwa Zaid adalah anaknya.

Sedangkan peristiwa pernikahan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy merupakan salah satu contoh di mana kafa'ah merupakan salah satu faktor penentu dalam langgengnya suatu pernikahan. Terbukti pernikahan kedua orang tersebut dengan status yang berbeda, usia perkawinannya hanya seumur jagung. Hal itu disebabkan tidak adanya kecocokan antara keduanya yang didasari oleh perbedaan status keturunan, sehingga keduanya pun bercerai. Zaid bin Haritsah dari suku Kalb bin Wabrah al-Qudhai al-Qahthani sedangkan Zainab binti Jahsy dari Bani Asad bin Khuzaimah cucu Abdul Muthalib bin Hasyim.

Setelah bercerai dari Zaid, kemudian Allah menikahkan Rasulullah dengannya pada tahun keempat hijriyah dan pernikahan tersebut diabadikan dalam Alquran surat Al-ahzab ayat 37, yang artinya:

'Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia …'.

Perkawinan Rasulullah dan Zainab merupakan contoh, di mana kafa'ah dalam hal nasab sangat berpengaruh terhadap kelanggengan usia perkawinan seseorang, terbukti sampai akhir hayatnya Rasulullah dan Zainab bin Jahsy tidak pernah bercerai dan karena dirinya pula turun ayat tentang hijab.

Nabi Muhammad saw pernah menikahkan anaknya Umi Kulsum dan Ruqoyah dengan Khalifah Usman. Berdasarkan peristiwa di atas, mereka yang tidak bersesuai pendapat dengan adanya kafa'ah nasab berkata bahwa Nabi Muhammad saw memberi contoh bahwa sistem kafa'ah nasab dalam perkawinan tidak ada. Sebagaimana kita telah ketahui, bangsa Arab merupakan bangsa yang telah dimuliakan oleh Allah swt, begitu pula suku Quraisy dan Bani Hasyim yang telah diangkat derajatnya oleh Allah swt kepada tingkat kemuliaan. Diantara Bani Hasyim, maka Allah memilih ahlul bait nabi sebagi keluarga yang mempunyai keutamaan-keutamaan sebagaimana banyak ditulis dalam beberapa kitab baik dalam berbagai kalangan. Berdasarkan hadits Al-Kisa', ahlul bait nabi terdiri dari Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein, sebagaimana hadits yang berbunyi:

'Saad mengatakan: Ketika wahyu tersebut turun (yakni surat Al-Ahzab ayat 33) Rasulullah saw memanggil Ali, dua orang puteranya dan Fathimah. Mereka lalu dimasukkan ke dalam jubah beliau dan berkata: "Ya Allah mereka adalah keluargaku ahlul baitku".

Jika kita kembali kepada proses kejadian manusia khususnya keturunan Rasulullah , betapa agung dan mulianya mereka. Untuk menjunjung kemuliaan tersebut banyak hadits yang memerintahkan kita untuk mencintai nabi dan keluarganya.

Yang menjadi pertanyaan mengapa Rasulullah saw menikahkan dua anak perempuannya kepada khalifah Usman? Umu Kulsum dan Ruqoyah adalah anak perempuan nabi yang dinikahkan kepada khalifah Usman bin Affan, akan tetapi mereka bukanlah ahlul bait nabi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits al-Kisa' sebelumnya.

Walaupun Umu Kulsum dan Ruqoyah bukan ahlul bait nabi, tetapi mereka dilahirkan dari suku yang telah dimuliakan oleh Allah swt yaitu suku Quraisy, sebagaimana hadits Rasulullah saw:

'Barang siapa hendak meremehkan Quraisy ia akan diremehkan (dihina) Allah swt'.

'Cintailah orang Quraisy, karena siapa yang mencintai mereka ia akan di cintai oleh Allah'.

'Cinta kepada Quraisy adalah tanda iman dan benci kepada mereka adalah tanda kekufuran'.

Pernikahan Umu Kulsum dan Ruqoyah yang berasal dari suku Quraisy dengan khalifah Usman bin Affan bin Abi Ash bin Umayyah bin Abdu Syam bin Abdu manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Ku'ai bin Gholib bin Fihr (al-Quraisy) adalah suatu pernikahan yang memenuhi syarat kafa'ah dan sesuai dengan pendapat Imam Madzhab.

Mengapa Ada Pernikahan Yang Tidak Sekufu'

Berdasarkan pengamatan, pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, dapat disebabkan oleh beberapa hal:

Pertama, orang tua mereka tidak mengetahui tentang keutamaan dan kemuliaan dirinya sebagai keturunan Rasulullah (sebagaimana diceritakan dalam proses penciptaan alam ini pada bab yang terdahulu), karena mereka dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak mengerti tentang keutamaan ahlul bait dan keturunannya, sehingga menyebabkan para orang tua tersebut menikahkan anak perempuannya dengan lelaki yang bukan sayid.

Kedua, orang tua mereka sangat mengerti tentang kafa'ah, akan tetapi mereka membiarkan anak perempuannya bergaul tanpa batas dengan kawannya di lingkungan rumah atau sekolah. Ketika anak gadisnya berpacaran para orang tua tidak mengetahui dan lengah untuk mengawasi tingkah lakunya, sampai anak tersebut menikah dengan lelaki yang bukan sayyid.

Ketiga, orang tua mereka sangat mengerti tentang kafa'ah, tapi karena sesuatu hal (masalah ekonomi atau lainnya), maka orang tua tersebut tidak dapat menghalangi perkawinan anaknya dengan lelaki yang bukan sayyid.

Keempat, orang tua tersebut mempunyai kenangan yang buruk atas perkawinan anak gadisnya dengan seorang sayid. Anaknya tidak diperlakukan dengan baik dan disia-siakan oleh suaminya, sehingga apa yang terjadi pada anaknya itu membawa rasa antipati terhadap menantunya yang berasal dari kalangan sayid, setelah bercerai anaknya dikawinkan dengan lelaki yang bukan dari kalangan sayid, ternyata hidup mereka bahagia, lalu sang ayah mengambil kesimpulan dan berpendapat bahwa tidak ada jaminan kebahagiaan dalam perkawinan yang mensyaratkan kafa'ah syarifah, selanjutnya hal tersebut disebarluaskan melalui pembicaraan dengan kerabat, diskusi, media cetak dan yang lainnya.

Kelima, kafa'ah syarifah adalah milik keturunan Rasulullah saw saja, dan tidak dimiliki oleh orang selain mereka. Hal ini menjadikan mereka sasaran iri hati sebagian kecil ulama, pakar, cendikiawan ataupun orang dari kalangan awam yang bukan sayid dengan memberikan fatwa, analisa, dan pendapatnya mengenai kafa'ah syarifah yang hanya berdasarkan kecemburuan semata. Abdullah bin Nuh berkata tentang rasa iri hati yang ditujukan kepada ahlul bait Rasulullah saw: "Kita harus mengerti, bahwa ahlul bait Rasulullah saw adalah orang-orang yang menjadi sasaran irihati karena mereka memperoleh limpahan karunia Allah swt."

Keenam, yang paling mengkhawatirkan adalah seorang keturunan Rasul yang pada awalnya menganut madzhab yang mensyaratkan kafa'ah perkawinan syarifah berpindah kepada madzhab yang tidak mensyaratkan kafa'ah dalam perkawinan syarifah. Hal tersebut dilakukan karena nafsu dan ketidaktahuan mereka akan soal-soal agama. Dalam madzhab lama yang dianutnya orang tersebut belum mengetahui benar pokok-pokok ajarannya, karena lingkungan pergaulan dan ashobiyah ia berpindah ke madzhab yang baru, sehingga ia belum dapat membandingkan yang mana madzhab yang benar. Dalam masalah ini ada baiknya kita renungkan perkataan beberapa waliyullah di bawah ini: Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata: 'Adapun orang dari keturunan ahlul bait yang tidak mengikuti jejak para sesepuh mereka yang suci, orang tersebut telah kerasukan angan-angan yang merusak disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan soal-soal agama'. Imam Ahmad bin Zein Al-Habsyi berkata: 

'Barangsiapa yang meninggalkan jalan para habaib yang sholeh menuju kepada jalan lain ia tidak bakal mendapat taufiq hidayah'. 
Begitu pula perkataan Imam Ali bin Muhammad Al-Habsyi: 
'Barangsiapa tidak mengikuti jalan para leluhurnya, pasti ia akan kecewa dan hilang'.

2012@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Zaid Bin Haritsah & Zainab Binti Jahsy"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip