//

Seputar Kafa'ah Dalam Pernikahan



Pengertian Kafa'ah.

Menurut bahasa kufu' berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Bentuk jama' dari kata kufu' adalah akfa', sebagaimana perkataan Imam Ali bin Abi Thalib:



الناس من جهة الآباء أكفاء ابوهم آدم والأم حواء


"Manusia dari pihak ayah adalah sama, bapak mereka Adam dan ibu mereka Hawa".

Makna dari syair diatas adalah sesungguhnya asal kejadian manusia dari Adam yang dijadikan dari tanah, dan darinya dijadikan siti Hawa'. Perkataan kufu' juga terdapat dalam firman Allah swt surat al-Ikhlas ayat 4, yang berbunyi:



ولم يكن لّه كفوا أحد


"Dan tidak ada satupun yang menyamai-Nya".

Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Hakim, Rasulullah saw bersabda:



المسلمون تتكافأ دماؤهم


"Kaum muslimin satu sama lain, darah mereka sepadan".

Abu Ubaid berkata: yang dimaksud sepadan dalam hadits tersebut adalah kesamaan dalam hal perberlakuan hukum diyat dan qishas, bukan persamaan kemuliaan berdasarkan keutamaan.

Menurut ulama Hanafiyah, kafaah adalah kesepadan yang khusus antara laki-laki dan perempuan. Menurut ulama Malikiah, kafaah adalah kesepadan dalam hal agama dan keadaan yaitu selamat dari aib yang mewajibkan perempuan untuk menggunakan hak pilihnya. Menurut ulama Safiiyah, kafaah adalah suatu urusan yang mewajibkan untuk menolak adanya aib dan kehinaan, terutama kesepadan laki terhadap perempuan dalam kesempurnaan keadaan keduanya sehingga selamat dari aib. Menurut ulama Hanabilah, kafaah adalah kesamaan dan kesepadan dalam lima perkara, yaitu agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan kekayaan.

Ayat alqur'an yang mengisyaratkan adanya kafaah.

Dalam alquran surat al-Baqarah ayat 232, Allah swt berfirman:



وإذا طلّقتم النساء فبلغن أجلهنّ فلا تعضلوهنّ أ ن ينكحن أزواجهنّ. إذا ترا ضوا بينهم بالمعروف


"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf"
Maksud dari ayat tersebut adalah, wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan percaya kepada Rasul-Nya, jika kalian menjatuhkan talak kepada istri-istri kalian hingga habis iddahnya dan bekas suami mereka atau orang lain hendak mengawini mereka dan mereka juga menghendaki demikian, maka janganlah kalian (wali-wali mereka) mencegah mereka melakukan perkawinan jika keduanya sudah suka sama suka berdasarkan syariat dan adat, yaitu tidak ada di dalamnya sesuatu yang diharamkan atau yang tidak mengandung kebaikan dan dapat menodai mereka (kaum wanita) sehingga kaum kerabat mereka pun ikut ternoda karenanya.

Berkata Ibnu Jarir al-Thobari dalam tafsirnya:

Ayat ini merupakan dalil kuat yang menjelaskan kesahihan pendapat yang menyatakan tidak ada pernikahan tanpa wali dari pihak ayah. Sesungguhnya Allah swt telah menyebutkan dalam firman-Nya bahwa wali dapat mencegah dan melarang wanita yang ingin menikah tanpa walinya. Maka berhati-hatilah kepada wanita yang ingin menikahkan dirinya sendiri tanpa walinya. tetapi jika ia berkehendak mengambil wali dalam pernikahannya, maka walinya tidak boleh mencegah dan melarangnya.

Menurut Imam Syafii, inilah satu-satunya ayat yang menunjukkan kekuatan status wali. Hal ini diperkuat lagi oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Musa al-Asy'ari : 'Tidak ada pernikahan tanpa wali'.

Berkata Ibnu Mundzir, tidak satupun didapati sahabat yang bertentangan dengan hadits tersebut. Diantara yang mendukung hadits tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khottob, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud, Abu Hurairah, Aisyah, Hasan Basri, Ibnu Musayyab, Ibnu Sabramah, Abi Laila, Keluarga Nabi saw, Ahmad, Ishaq, Syafii, dan jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa tidak sah akad nikah tanpa wali.

Dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan:

Bahwa dalam firman Allah swt tersebut, kata بينهم (diantara mereka) menunjukkan tidak ada halangan bagi seorang lelaki untuk melamar wanita (janda) tersebut langsung kepada dirinya dan bersepakat dengannya untuk melakukan perkawinan. Pada saat itu diharamkan pada walinya menahan dan menghalang-halanginya melakukan pernikahan dengan orang yang melamarnya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh firman-Nya dalam kata بالمعروف menunjukkan bahwa melarang atau mempersulit seorang janda melakukan perkawinan, hanya diperbolehkan jika ternyata lelaki yang melamarnya tidak sepadan (tidak sekufu') dengan janda tersebut. Misalnya, seorang wanita terhormat hendak kawin oleh lelaki berakhlaq rendah yang dapat merusak kehormatan wanita tersebut serta mencemarkan kerabat dan sanak familinya. Jika memang demikian, maka wajib bagi walinya mengalihkannya dari lelaki tersebut dengan nasehat dan petunjuk yang bijaksana.

Sebagian ahli fiqih ada yang memperbolehkan melarang wanita kawin jika ternyata mahar yang diserahkan oleh pelamar masih di bawah mahar yang sepadan (mitsil). Tetapi harus diingat, bahwa jika yang dating melamar adalah seorang lelaki yang baik perangainya serta berakhlaq mulia dan diharapkan dapat membina suatu rumah tangga yang baik, tetapi ia tidak bisa membayar mahar yang banyak atau sulit dilakukan olehnya, maka saat itu wajib bagi walinya menikahkannya dan tidak boleh mencegahnya.

Adapun yang menjadi ukuran kafa'ah (sepadan) adalah menurut adat istiadat yang berlaku pada masyarakat umumnya. Jadi bukan menurut ukuran golongan elite atau yang berpangkat dan berkedudukan tinggi. Apa yang dianggap oleh masyarakat umum tidak cocok dengan wanita dan status keluarganya, maka hal itu boleh dijadikan alasan bagi walinya untuk mencegah terjadinya perkawinan, sebab akibatnya akan membawa malapetaka yang lebih berat. Sebagaimana seorang wali pun tidak berhak memaksanya menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Sebab, hal ini sering membawa malapetaka dan kerusakan pada rumah tangga.

Berkata Abu al-Abbas dalam kitab fatawa-nya, setelah menyebutkan ayat tersebut dan sampai pada firman Allah swt yang berbunyi بالمعروف, menunjukkan bahwa sesungguhnya seorang wanita yang rela dinikahkan tidak dengan cara yang baik, yaitu jika para walinya menghalanginya untuk menikah dengan yang tidak sekufu'. Sebaliknya wanita yang menikah dengan cara yang baik yaitu pernikahan yang sekufu'.

Sayid Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar mengatakan, para ahli fiqih telah mengambil dalil dari ayat ini bahwa menghalangi pernikahan yang tidak sekufu bukanlah suatu yang haram, seperti menghalangi pernikahan seorang wanita yang mulia dalam suatu kaum dengan seorang lelaki hina yang akan membawa wanita tersebut ke dalam derajat yang rendah.

Kafaah menurut hadits Nabi saw.

Menurut Imam Syafei, masalah kafa'ah pertama kali diistinbat berdasarkan hadits dari Bariroh. Bariroh dikawinkan dengan lelaki yang tidak sekufu' dengannya, beliau mengadu kepada Rasulullah saw dan beliau saw memberikan hak untuk memilih kepada Bariroh.

Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Imam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda :



ثلاث يا علي لا تؤخرهن الصلاة إذا آتت والجنازة إذا حضرت والأيم إذا وجدت كفؤا


"Wahai Ali ada tiga perkara jika tiba waktunya tidak boleh ditunda-tunda: shalat jika telah masuk waktunya, jenazah jika telah hadir untuk dishalatkan dan wanita jika telah datang jodoh yang sekufu' dengannya".
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan al-Daruquthni, dari Aisyah bersabda Rasulullah saw:



تخيروا لنطفكم وأنكحوا الاكفاء وانكحوا اليهم


"Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu' denganmu dan kawinilah mereka".

Hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Daruquthni, dari Jabir bin Abdillah Al-Anshori bersabda Rasulullah saw:


لا تنكحوا النساء الا الاكفاء ولايزوجهن الا الاولياء ...


"Janganlah engkau menikahkan wanita kecuali dengan yang sekufu' dan janganlah engkau mengawinkannya kecuali dengan izin walinya…".


Hadits yang diriwayatkan al-Hakim dan ia mensahihkannya, Rasulullah saw bersabda:


تخيروا لنطفكم ولا تضعوها في غير الأكفاء


"Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, janganlah engkau tumpahkan pada tempat yang tidak sekufu denganmu".

Kafaah menurut ulama madzhab.


Dalam kitab al-Fiqih ala al-Madzhahib al-Arba' karangan Abdurrahman al-Jaziry, disebutkan bahwa yang termasuk perkara kafaah adalah agama, keturunan, kekayaan, pekerjaan dan bebas dari cacat. Para fuqaha telah sepakat bahwa faktor agama termasuk dalam pengertian kafa'ah, kecuali pendapat dari Muhammad bin Hasan yang tidak memasukkan faktor agama dalam pengertian kafa'ah. Tidak diperselisihkan lagi di kalangan madzhab Maliki, bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamer atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila ia dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata talaq.

Fuqaha berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa'ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan dan bebas dari cacat (aib). Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, dan mengenai hal itu ia beralasan dengan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :



إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم


"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah swt ialah yang paling bertaqwa diantara kamu".

Akan tetapi dalam perkawinan hamba sahaya tersebut ulama Malikiah mempunyai dua pendapat,: Pertama:jika hamba sahaya berkulit putih kawin dengan wanita merdeka maka perkawinannya kufu'. Kedua: jika perkawinan antara hamba sahaya berkulit hitam dengan wanita merdeka maka perkawinannya tidak sekufu' dan itu merupakan aib.



Sufyan al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Silang pendapat ini disebabkan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi saw:



تنكح المرأة لأربع لمالها ولجمالها ولحسبها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك


"Wanita itu dinikahi karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung".

Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi saw :… maka carilah wanita yang taat kepada agama. Segolongan yang lain berpendapat bahwa faktor nasab (keturunan) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan. Dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa'ah kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma', yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa'ah. Semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap bebas dari cacat termasuk dalam lingkup kafa'ah. Berdasarkan pendapat ini ada yang memasukkan kecantikan sebagai lingkup kafa'ah.

Di kalangan madzhab Maliki, tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya, begitu pula faktor kemerdekaan (bukan budak).

Mengenai mahar mitsil (yakni mahar yang semisal ukurannya), maka Imam Malik dan Imam Syafii berpendapat bahwa hal tersebut tidak digolongkan sebagai kafa'ah. Oleh karenanya seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsil. Sedangkan Imam Hanafi memasukkan mahar mitsil sebagai kafa'ah.

Ayat alquran yang mengisyaratkan kafa'ah nasab

1. Dalam alquran surat al-Hujurat ayat 13, Allah swt berfirman:



إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم


"…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu".

Ayat ini menunjukkan adanya kafaah dalam segi agama dan akhlaq. Allah swt menjadikan orang-orang yang bertaqwa lebih utama dari orang-orang yang tidak bertaqwa, dan menafikan adanya kesetaraan di antara keduanya dalam hal keutamaan. Hal ini menunjukkan adanya dua hal pertama, adanya ketidaksetaraan dan kedua, terdapat perbedaan kemuliaan dalam hal taqwa. Diantara dalil lain yang mendukung kedua hal tersebut adalah surat al-Zumar ayat 9, yang berbunyi:



قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون


"Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui".

Dan surat al-Nur ayat 26, yang berbunyi:



الخبيثا ت للخبيثين والخبيثون للخبيثا ت والطيبا ت للطيبين والطيبون للطيبا ت


"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula".

Berkaitan dengan hadits Rasulullah saw, yang berbunyi:



إذا جأكم من ترضون دينه و خلقه ...


"Jika telah datang seorang yang engkau ridho akan agama dan akhlaqnya…"

Berkata al-Syaukani dalam kitabnya Nail al-Author bahwa hadits tersebut adalah dalil kafaah dari segi agama dan akhlaq, dan ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Malik. Telah dinukil dari Umar, Ibnu Mas'ud dari Tabiin yang meriwayatkan dari Muhammad ibnu Sirrin dan Umar bin Abdul Aziz menunjukkan bahwa ayat alquran yang menyatakan orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang-orang yang paling taqwa di antara kamu adalah dalil kafaah dalam masalah nasab, begitulah seperti yang disepakati jumhur.

2. Dalam alquran surat al-Furqan ayat 54, Allah swt berfirman:



وهو الذي خلق من الماء بشرا فجعله نسبا و صهرا وكان ربك قديرا


"Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah, dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa".

Ayat ini merupakan dalil adanya kafaah dalam hal nasab, hal ini dijelaskan oleh al-Bukhari yang menyebutkan ayat tersebut sebagai dalil dalam bab kafaah. Imam al-Qasthalani dalam kitabnya Syarah al-Bukhari menulis, yang dimaksud pengarang (al-Bukhari) dengan hubungan kalimat ini mengisyaratkan bahwa sesungguhnya nasab dan hubungan musharah berkaitan dengan masalah hukum kafaah'.

Kafaah nasab menurut hadits Nabi saw.

1. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:



تنكح المرأة لأربع لمالها ولجمالها ولحسبها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك


"Wanita itu dinikahi karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung".

Berkata Ibnu Hajar, yang dimaksud dengan asal-usul keturunan (hasab) adalah kemuliaan leluhur dan kerabat. Al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir Syarah Mukhtashor al-Muzani mengatakan, bahwa syarat yang kedua (dari syarat-syarat kafaah) adalah nasab, berdasarkan hadits Nabi saw: 'Wanita itu dinikahi karena hartanyanya, asal-usul keturunannya…'. Yang dimaksud dengan asal-usul keturunannya adalah kemuliaan nasabnya.

2. Diriwayatkan oleh Muslim dari Watsilah bin al-Asqa', Rasulullah saw bersabda:



إنّ الله اصطفى بني كنانة من بني إسماعيل واصطفى من بني كنانة قريشا واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم


"Sesungguhnya Allah swt telah memilih bani Kinanah dari bani Ismail, dan memilih dari bani Kinanah Quraisy, dan memilih dari Quraisy bani Hasyim, dan memilih aku dari bani Hasyim".

Hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan Bani Hasyim. Allah swt telah memuliakan mereka dengan memilih rasul-Nya dari kalangan mereka. Hal ini menunjukkan kemuliaan yang Allah swt berikan kepada ahlul bait Nabi saw. Imam al-Baihaqi menggunakan hadits ini sebagai dasar adanya kafaah dalam hal nasab.



Kafaah nasab menurut ulama madzhab.

Semua Imam madzhab dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah sepakat akan adanya kafa'ah walaupun mereka berbeda pandangan dalam menerapkannya. Salah satu yang menjadi perbedaan tersebut adalah dalam masalah keturunan (nasab).

Dalam hal keturunan orang Arab adalah kufu' antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya orang Quraisy dengan Quraisy lainnya. Karena itu laki-laki yang bukan Arab (Ajam) tidak sekufu' dengan wanita-wanita Arab. Laki-laki Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy tidak sekufu' dengan wanita Quraisy. Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda:



العرب بعضهم اكفاء لبعض قبيلة بقبيلة ورجل برجل ...


"Orang-orang Arab sekufu' satu dengan yang lainnya. Kabilah dengan kabilah lainnya, kelompok yang satu sekufu' dengan kelompok yang lainnya, laki-laki yang satu sekufu' dengan yang lainnya…"
Hadits riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda:



العرب للعرب اكفاء ...


"Orang-orang Arab satu dengan yang lainnya adalah sekufu'…"
Menurut Imam Hanafi: Laki-laki Quraisy sepadan (kufu') dengan wanita Bani Hasyim. Menurut Imam Syafi'i: Laki-laki Quraisy tidak sepadan (tidak sekufu') dengan wanita Bani Hasyim dan wanita Bani Muthalib. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:



إنّ الله اصطفى بني كنانة من بني إسماعيل واصطفى من بني كنانة قريشا واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم


"Bahwasanya Allah swt memilih Kinanah dari anak-anak Ismail dan memilih Quraisy dari Kinanah dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilih aku dari Bani Hasyim…"

Akan tetapi kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa kafa'ah merupakan hak bagi perempuan dan walinya. Seorang wali tidak boleh mengawinkan perempuan dengan lelaki yang tidak kufu' dengannya kecuali dengan ridhanya dan ridha segenap walinya. Jika para wali dan perempuannya ridha maka ia boleh dikawinkan, sebab para wali berhak menghalangi kawinnya perempuan dengan laki-laki yang tidak sepadan (tidak kufu').

Imam Syafi'i berkata: Jika perempuan yang dikawinkan dengan lelaki yang tak sepadan (tidak sekufu') tanpa ridhanya dan ridha para walinya, maka perkawinannya batal.

Imam Hanafi berkata : Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat (tidak sekufu') tanpa persetujuan walinya, maka perkawinan tersebut tidak sah dan wali berhak untuk menghalangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat tersebut atau hakim dapat memfasakhnya, karena yang demikian itu akan menimbulkan aib bagi keluarga.

Imam Ahmad berkata: Perempuan itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu'), maka ia berhak membatalkan.


Riwayat lain dari Ahmad, menyatakan : bahwa perempuan adalah hak Allah, sekiranya seluruh wali dan perempuannya sendiri ridha menerima laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu'), maka keridhaan mereka tidaklah sah.

SUMBER :
Buku M. Hashim Assagaf "Derita Putri-Putri Nabi"

2012@abdkadiralhamid 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Seputar Kafa'ah Dalam Pernikahan"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip