//

Perjalanan Hidup Para Salaf dari Bani Alawi Keturunan Sayyidina Husein bin Ali Ra

Perjalanan Hidup Para Salaf dari Bani Alawi Keturunan Sayyidina Husein bin Ali Ra



( Judul sebuah ceramah yang disampaikan oleh Sayid
Muhammad Ahmad Assyathiri di tengah sejumlah
pemuda, di rumah Al Faqih Al Muqaddam, di kota
Tarim, pada tahun 1367 H./1947 M.)



Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha
Penyayang. Dengan nama Allah kami mohon pertolongan.
Shalawat dan salam sejahtera atas junjungan kita
Nabi Muhammad, keluarga dan para Sahabat. Pokok pembahasan ceramah ini adalah perjalanan
hidup para salaf pendahulu kita keturunan Alawiyin
dan Sayidina Husein, serta siapa-siapa yang mengikuti
jejak mereka. Semoga Allah mencurahkan rahmat
atas semua.
Saya pilih bidang bahasan ini karena disamping mengandung banyak pengetahuan tentang sejarah
kita – ia merupakan bidang perselisihan dalam
pemahamannya. Berbagai macam visi telah timbul,
disebabkan tidak adanya, di antara kita dewasa ini,
orang-orang yang melakukan penyelidikan secara
teliti dengan cara penulisan yang memuaskan, sampaipun mereka yang merasa dirinya sangat
antusias terhadap sejarah perjalanan hidup para salaf
tersebut.
Kendati demikian, kami tidak menyampaikan kecuali
hal-hal yang benar-benar jelas dan terang laksana
matahari di waktu siang, tersurat di dalam kitab-kitab Alawiyin, baik yang lama maupun yang baru
sehingga dapat dimengerti secara jernih dan mudah
dicerna.
Memang, kesalahpahaman dalam memahami
perjalanan hidup salaf tidak ditimbulkan karena
samar dan tidak jelasnya sejarah itu, melainkan karena keengganan kita dan tidak adanya usaha
yang sungguh-sungguh dalam menjalankan
kewajiban itu.
Barangkali kelak akan datang suatu saat, di mana
menyatakan pendapat atau membahas, persoalan-
persoalan semacam ini, atau fakta-fakta historis yang lain akan mempunyai arti yang sangat penting di
mana orang sangat mendambakan untuk
memperoleh, meskipun hanya sekilas cahaya dari
padanya agar dapat menerangi mereka menuju jalan
yang lurus.
• Siapa Salaf ? Kata Salaf mempunyai beberapa penggunaan.
Penggunaan secara umum, yaitu sebagai istilah yang
dipakai oleh ahli-ahli ilmu agama sebagai sebutan
khusus bagi mereka yang hidup pada abad-abad
pertama, kedua, dan ketiga Hijrah, atau dengan kata
lain sebagai sebutan bagi para sahahat Nabi, tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Namun ulama Hadramaut (dari golongan Alawiyin)
menggunakan sebutan itu selain bagi mereka yang
tersebut di atas juga bagi pendahulu-pendahulu
mereka (kaum Alawiyin) yang saleh. Habib Abdullah
Al-Haddad [1] membatasi penggunaan sebutan itu mulai dari Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran [2] ke
atas “Mereka,” kata Al-Haddad, “adalah orang-
orang di mana kita tunduk sepenuhnya (dalam segala
hal) yang mereka lakukan. Adapun yang datang
kemudian, mereka ’laki-laki’ dan kita ‘laki-
laki’ (yakni kita herhak mengikuti atau menolak sesuai dengan dalil).”
Kendati demikian, ucapan Al Haddad ini tidak
menghalangi mereka yang datang sesudah Syekh Ali
Abubakar As-Sakran , bahkan Al Haddad sendiri dan
murid-muridnya, untuk digolongkan sebagai salaf.
Sebab telah menjadi istilah ulama Hadramaut terdahulu – sampaipun mereka yang akhir-akhir ini
masih bisa kita jumpai menggunakan kata salaf bagi
pendahulu mereka yang saleh. di mana kemudian
akan kami jelaskan tahap-tahapnya
• Permulaan Sejarah Perjalanan Hidup Alawiyin
Abad ketiga Hijrah merupakan abad kegoncangan dan kekacauan, khususnya di negeri Irak yang selalu
terjadi pemberontakan dan huru-hara (fitnah).
Kerajaan Bani Abbas tidak mampu lagi mengekang
dan mengatasi pemberontakan dan huru-hara yang
senantiasa timbul dan telah membuat seluruh dunia
Islam bergolak laksana periuk yang sedang mendidih, sedang penguasa tak mampu menegakkan
keamanan umum yang telah goyah selama bertahun-
tahun.
Semua itu membuat banyak orang – terutama tokoh-
tokoh yang menonjol – berhijrah meninggalkan
kampung halamannya mencari kediaman yang aman. Di antara orang yang hijrah dari Irak adalah Al-Iman
Ahmad Al-Muhajir Ilallah [3] (berhijrah mencari ridha
ALLAH) Sebab Al Muhajir- seperti tokoh-tokoh ahlul
bait yang lainnya selalu merasa ketakutan dan
senantiasa menjadi sasaran pembunuhan dan
penganiyaan. Hal demikian makin terasa pada saat terjadi pemberontakan dan huru-hara, di mana
musuh-musuh Alawiyin rnenggunakannya sebagai
kesempatan untuk menganiaya dan membantai
mereka. Hal ini terutarna akibat rasa khawatir bahwa
di dalam suasana kacau itu, kaum Alawlyin akan
menampilkan diri untuk memegang kendali kekuasaan di tengah umat Islam yang tetap
berpendirian bahwa kewajiban mereka adalah
menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada
Ahlulbait, keturunan Nabi pembawa agama ini serta
bernaung di bawah panjinya, betapapun secara lahir
mereka (umat Islam) tunduk kepada pemimpin yang lain. Atau demikianlah semestinya.
Namun banyak di antara tokoh Alawiyin berusaha
menahan diri dan menghindar untuk tidak terjebak ke
dalam huru-hara itu serta berupaya untuk tidak
terlibat dalam pergolakan-pergolakan politik,
disebabkan pelajaran-pelajaran praktis yang mereka terima dari berbagai pengalaman dalam bidang ini.
Karena itu, bergerak di dalam lapangan politik -
menurut pandangan mereka – akan selalu berakhir
dengan kegagalan. Demikianlah pendirian segolongan
Alawiyin. Namun ada segolongan lain berpendirian,
bahwa Alawiyin harus berkorban dalam segalanya untuk menyelamatkan umat, yang harus terus
menerus berjuang sehingga tujuan tercapai, atau mati
bergelimang darah di tengah medan pertempuran.
Imam Al Muhajir termasuk golongan pertama, sedang
saudaranya Muhammad bin Isa termasuk golongan
kedua, dibuktikan dengan perlawanannya terhadap kekuasaan Abbasiyah. Dalam hal ini, Al Muhajir selalu
memperingatkan dan memberi nasihat kepada
saudaranya agar tidak melakukan perlawanan.
Peringatan dan nasihat diberikan secara terus
menerus, sehingga akhirnya merasa puas dan yakin
akan kebenaran pendirian Al Muhajir, lalu menghentikan perlawanannya.
Jadi jelaslah, Al Muhajir memilih tinggal di Hadramaut
(Yaman Selatan), negeri yang tandus gersang, hampir
terputus hubungannya dengan dunia luar, hanyalah
sekadar dapat hidup aman dan damai bersama
keluarganya, serta dapat menunaikan kewajiban agama dan kegiatan duniawi dalam suasana
tenteram dan aman, setelah menyaksikan segala
pengalaman yang terjadi baik di negeri Irak maupun
di daerah-daerah lain, berupa pemberontakan, huru-
hara dan peristiwa-peristiwa lain. Semua itu
menyebabkan hilangnya ketenangan dan menyusahkan hati.
Hendaknya kita tidak terburu untuk berprasangka
bahwa Al Muhajir hanya bermaksud mengurung diri,
serta beruzlah tanpa mempedulikan umat dan
masyarakat di sekitarnya. Tidak. Al Muhajir bertujuan
mendirikan suatu masyarakat baru, di negeri baru ini, sesuai cita-cita dan keyakinannya.
Oleh karena itu setibanya di negeri ini Al Muhajir tak
henti hentinya berjuang melawan kaum Ibadhiah [4]
yang merupakan mayoritas penduduk Hadramaut.
Yaitu setelah gagal berdialog dengan mereka secara
baik, sehingga terpaksa senjata harus berbicara. Al Muhajir dan pengikutnya yang berjumlah kecil itu,
telah mendapat dukungan dari penduduk Jubail dari
Wadi Dau’an yang bersimpati kepada Ahlulbait.
Cara hidup Al Muhajir (mencari kedamaian dan
kebenaran ) diterima kemudian oleh anak cucunya
dan benar-benar mempengaruhi jiwa mereka, yang akhirnya kehidupan mereka hampir sama di semua
tahap-tahap sejarah, sebagai akan dituturkan
kemudian.
• Tahap-Tahap Sejarah Alawiyin
Sesungguhnya sejarah perkembangan Alawiyin,
mengalami pasang-naik dan pasang-surat, sesuai dengan kehidupan mereka yang selalu berubah.
bagaimanapun juga, golongan Alawiyin selalu
memelihara identitasnya, yaitu berpegang teguh
dengan KITAB ALLAH (Al Qur’an) dan SUNNAH
(ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW dalam segala
bidang kehidupan) luhur yang padu dan utuh secara Islam.
Adapun sejarah perkembangan Alawiyin — menurut
pandangan kami dapat dibagi menjadi empat tahap,
sebagai berikut :

Tahap —- Abad (Hijriah) —- Zaman
Pertama — Ke-3 s/d Ke-7 —- Ahmad Al-Muhajir s/d M. Al-Faqih Al-Muqaddam
Kedua —- Ke-7 s/d Ke-11 — M. Al-Faqih Al-
Muqaddam s/d Abdullah Al-Haddad
Ketiga ——- Abad ke 11 s/d ke 13.
Keempat — Ke-14 s/d Kini

Tahap-tahap itu diikuti pula dengan perbedaan gelar dan sebutan bagi tokoh tokoh Alawinyin, maka
sebutan atau gelar setiap tahap berbeda dengan gelar
atau sebutan pada tahap yang lain. Sebagai berikut :

Tahap —————- Gelar
Pertama ————– Al-Imam
Kedua —————- As-Syech Ketiga —————- Al-Habib
Keempat ————– As-Sayid

Sebutan demikian itulah yang digunakan orang bagi
tokoh-tokoh Alawiyin pada masing-masing tahap.
Kendati demikian, saya tidak bermaksud mengatakan
bahwa sebutan-sebutan dan gelar-gelar itu khusus bagi tokoh-tokoh Alawiyin. Hanya saja – seperti
diketahui sebutan dan gelar-gelar itu lebih populer
penggunaannya bagi mereka.


TAHAP PERTAMA
Tahap pertama sejarah perjalanan hidup Alawiyin ini
memiliki keistimewaan sebagai tahap pembangunan kehidupan baru dan pembauran dengan masyarakat
baru di negeri baru. Pada tahap ini, tokoh-tokoh
Alawiyin telah berhasil mempengaruhi masyarakat
Hadramaut serta menyesuaikan diri dengan
kehidupan mereka. Tokoh-Tokoh Alawiyin dalam
kehidupan sehari-hari benar-benar mirip dengan kehidupan tokoh-tokoh sahabat Nabi di kurun Islam
pertama, baik dalam ilmu, akhlak maupun ibadah.
Ketika baru berada di tengah rnasyarakat Hadramaut.
Al Muhajir dihadapkan dengan suasana jihad yang tak
terelakkan. Al Muhajir ketika itu harus melawan
golongan ibadhiah”, baik dengan lisan maupun dengan senjata, sehingga Al Muhajir berhasil
menyebar luas ajaran” Ahlus sunnah seperti jelas di
uraikan didalam kitab-kitab sejarah yang menerang
riwayat hidup (Biografi) Al Muhajir. Kemudian, putra-
putranya dan keturunannya meneruskan langkah itu,
memimpin masyarakat hadramaut dalam bidang ilmu, budaya dan ekonomi. Bahkan dalam bidang
politik yang bersifat mengawasi dan membimbing
(para penguasa) demi tercapainya kepentingan
umum, tanpa berambisi memegang tampuk
kekuasaan secara praktis.
Tokoh-tokoh Alawiyin pada tahap ini, adalah Imam- Imam mujtahid (dalam arti tidak mengikuti atau
terikat dengan salah satu mazhab) seperti
diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang masing-
masing tokoh terkenal dengan gelar “Imam”
seperti Imam Al Muhajir, Imam Alawi bin Ubaidillah
dan lain-lain. Namun, ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan
Imam Assyafi’i dalam bagian terbesar madzhabnya
Adapun aspek-aspek aqidah mereka, sama seperti
para leluhur mereka sampai Imam Ali bin Abi Thalib
r.a.
Tokoh-tokoh Alawiyin ini telah membawa sebagian kekayaan mereka dari negeri asal, yaitu Bashrah
(Irak). Kekayaan itu amat besar jumlahnya sehingga
mereka dapat membeli tanah-tanah, kebun-kebun,
bangunan-bangunan, dan sebagainya di negeri ini.
Kekayaan itu juga dikembangkan di dalam bidang
pertanian yang menjadi usaha pokok dan sumber utama Alawiyin tahap itu.
Dalam keadaan demikian, mereka senantiasa teringat
karnpung halaman dan sesekali timbul kerinduan
ketika mengenang masa lampau di negeri Irak,
sehingga mereka rnembuat lambang-lambang
dengan narna taman-taman, kebun dan pesanggrahan yang telah ditinggalkannya itu.
Dalam tahap ini setiap Alawi menampilkan pribadi
yang mulia dengan beberapa keistimewaan berupa
ilmu. akhlak. ibadah dan. wibawa, sehingga keluarga
ini dikenal dan dibedakan oleh masyarakat karena
ciri-ciri kemuliaan itu. • Ilmu Tokoh-Tokoh Alawiyin
Ilmu yang dikuasai tokoh-tokoh Alawiyin tahap ini
meliputi: Tafsir Hadist, Fiqih, Sastra/ Bahasa, metode
berdebat dan berdiskusi, serta ilmu pengetahuan lain,
yang telah berkembang pesat dewasa itu termasuk
tasawuf. Hanya saja ilmu tasawuf ini memperoleh perhatian lebih dalam dan lebih khusus pada tokoh-
tokoh tahap kemudian. Tokoh-tokoh tahap ini
memperhatikan tasawuf sebagai amalan praktis dan
buhan sebagai teori ilmiah semata.


• Akhlak dan Budi Pekerti Alawiyin
Sifat yang paling menonjol bagi seorang Alawi tahap ini adalah: kedermawanan, dan keberanian (sebagai
ciri umum keturunan bani Hasyim). Sifat ini diimbangi
dengan tawadhu’ rendah hati), di samping tegas
dan tidak kenal kompromi dalam mempertahankan
kebenaran. memperhatikan bidang keperwiraan,
menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dalam kesempatan-kesempatan tertentu.
Sifat terakhir ini kernudian berubah pada tokoh-tokoh
Alawiyin generasi berikutnya, yang dalam
menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya
dianggap menyalahi tradisi dan bertentangan dengan
sopan santun hal ini berlaku sejak Alawiyyin mengikuti “Terakat Tasawwuf “ pada abad ketujuh
ketika Imam Al Faqih Al Muqoddam menerima
“Khirqah” (Baju Tasawwuf) dan Syekh Abu
Madyan, tokoh sufi dari negeri magrib (Afrika utara) .
Sejak itu Al Fagih Al Muqoddam menjauhi penggunaan
senjata untuk menekuni ilmu dalam suasana damai. • Hubungan Alawiyin dengan Dunia Luar
Adalah merupakan watak dan tabiat seorang Alawi,
tidak pernah merasa tentram di satu daerah tertentu,
untuk kemudian tinggal selama hidup. Hidup bebas
dan pergi, kemana saja untuk mencari daerah-daerah
baru merupakan watak dan cirinya. Satu daerah saja dipandang sempit dan tidak memberi kepuasan untuk
mengembangkan cita-cita dan mencapai tujuannya.
Apalagi di negeri seperti Hadramaut, negeri ini akan
memaksa penduduknya berhijrah karena sempitnya
bidang ke hidupan. di samping terjadinya pergolakan
dan pertumpahan darah antara kabilah-kabilah yang selalu berkecamuk. akibat tidak adanya
pemerintahan yang kuat dan stabil.
OIeh karena itu, seorang Alawi – seperti halnya
penduduk Hadramaut pada umumnya – mengadakan
perjalanan ke negeri-negeri tetangga, seperti: Yaman,
Hijaz, Syam dan. Irak, baik demi tujuan budaya, ekonomi, maupun agama.
Pada mulanya, Alawiyin seringkali hilir mudik
mengunjungi Irak — negeri asal mereka – untuk
bertemu kembali dengan sanak keluarga. memeriksa
harta kekayaan yang ditinggalkan, bahkan hingga kini
keturunan Imam Muhammad bin Isa Ar Rumi (saudara sekandung Al Muhajir) terus juga berkembang di
negeri ini.
Sesuatu yang patut digarisbawahi di sini, ialah bahwa
tokoh tokoh Alawiyin yang menonjol pada tahap
perkembangan, ini terdiri dari keturunan Imam
Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi, yakni Bashri, Jadid dan Alawi. Kendali pimpinan dipegang
oleh keturunan kedua orang yang pertama, yaitu
Bashri dan Jadid. Namun keturunan mereka kemudian
terhenti dan tidak berkelanjutan, yang pada abad
ketujuh H. tidak ada lagi seorang pun dari keturunan
mereka. Sayang ahli-ahli sejarah tidak menghidangkan untuk kita jasa dan peran yang
pernah dimainkan oleh keturunan Bashri dan Jadid,
kecuali nama beberapa tokoh saja yang dicatat, yang
di antaranya adalah Imam Ahli Hadits Imam Abu
Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat 620 H.) dan
Imam Salim bin Bashri (wafat 604 H.) Adapun tokoh-tokoh sesudah waktu tahap ini
hanyalah dari turunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad
bin Isa Ar Rumi (dari Alawi inilan datang sebutan
Alawiyin bagi keturunaannya). Meskipun demikian,
silsilah keturunan Alawiyin seluruhnya selalu melalui
lima rangkaian nasab saja, yang menunjukkan bahwa Alawiyin baru berkembang dan bercabang setelah
abad ke enam H. Rangkaian silsilah ke lima orang itu
adalah: Muhammad bin Ali bin Alawi bin Munammad
bin Alawi ( bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir).
Di antara putra-putri Muhammad bin Ali bin Alawi
( terkenal dengan gelar Shahib Mirbath, wafat 556 H.) yang berketurunan hanyalah dua orang putranya,
yakni Imam Alawi, paman ( saudara ayah ) Al Faqih
Al Muqaddam, dan Imam Ali bin Muhammad, ayah Al
Faqih Al Muqaddam. Pada kedua orang inilah tercakup
seluruh nasab Al-Alawiyin, seperti tercakupnya nasab
seluruh Al-Husainiyin pada Imam Ali Zainal Abidin, kemudian pada putranya Muhammad Al Bagir.
Ubaidillah adalah putra Imam Al Muhajir Ahmad bin
Isa Arrumi bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhi
bin Ja’far Asshadiq bin Muharnmad Albaqir bin Ali
Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami
Siti Fatimah Azzahra’ putri Rasul Allah saw. 

TAHAP KEDUA ( a )

Tahap ini bermula-seperti telah kami terangkan pada
awal ceramah – dari abad ketujuh H hingga
menghampiri abad kesembilan H. Yakni dari masa Al
Fagih Al Muqaddam hingga mendekati zaman Al-
Habib Abdullah Al Haddad. Tokoh – tokoh tahap ini terkenal dengan gelar “Syekh”. Apabila kita
hendak membuat suatu perbandingan antara tokoh-
tokoh masa ini, yang di antara tokoh-tokohnya adalah
para Imam seperti Al Faqih Mugaddam[5] , Assegaf[6]
, Al Muhdhar[7] , Al-A’idarus[8] , Zain Al-A’bidin Al-
A’idarus [9] dengannya tanpa di sini patut kita kemukakan secara obyektif, bahwa tokoh-tokoh
tahap ini, dalam kenyataannya yang dibuktikan
melalui karya dan hasil tulisan mereka, tidaklah
mencapai hasil atau kualitas puncak, baik dalam
penulisan karya-karya ilmiah maupun dalam syair.
Bahkan tidak kita jumpai di antara karya mereka yang menunjukkan kejeniusan dan kehebatan dalam
bidang-bidang ilmu dan kebudayaan yang dapat
mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang
akhlak dan pengamalan agama.
Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh
tasawuf yang mendalam, sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk berkarya, baik
dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah
(sebab tasawuf hanya memperhatikan segi-segi
keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup
besar terhadap segi-segi lahiriah – penerj.). Kalaupun
ada, hal itu tidak banyak di lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah,
terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang
kuat. Dalam penulisan, tokoh-tokoh tahap ini sering
menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek
setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan
dengan cara apa adanya tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa.
Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap ini telah
mengalami peningkatan dibanding dengan tahap
sebelumnya. Apabila tahap terdahulu kegiatannya
terbatas pada bidang pertanian saja, dengan
menginvestasikan kekayaan mereka hanya dalam bidang ini saja, maka Alawiyin pada tahap ini – di
samping pertanian – telah juga berinvestasi di bidang
perdagangan. Mereka mendirikan pusat-pusat
perdagangan di pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman.
Mereka juga mengadakan perjalanan dagang ke India
dan negara-negara lain, disertai dakwah menyiarkan agama Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negara-
negara Asia Tenggara), untuk kedua tujuan tersebut,
maka hal itu baru mereka lakukan kemudian (yakni
sekitar abad kesebelas H. – penerj.). Dengan cara
demikian mereka perluas daerah perdagangan serta
kegiatannya di dalam negeri dengan mengalirya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan mereka
hanya terbatas pada bidang pertanian saja.
Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh Alawiyin
melakukan berbagai kegiatan ekonomi, namun
berkat disiplin ketat, kekuatan iman dan takwa,
mereka tetap tekun dalam menjalankan ibadah, membaca wirid-wirid khusus, dan berdakwah. Allah
telah berkenan memberikan berkah waktu dengan
membagi masing-masing kegiatan secara cermat,
sehingga dapat melakukan semua kegiatan itu
dengan sempurna, sesuai keseimbangan yang
digariskan oleh syari’at. Berbicara mengenai tingkat kesufian Alawiyin tahap
ini, maka seperti telah dikemukakan pada awal
ceramah. bahwa “Tarekat Tasawuf” baru dikenal
di hadramaut pada awal abad ketujuh H. ketika Syekh
Abu Madyan – tokoh ahli Sufi dari negeri magrib
(Afrika utara) mengutus muridnya yang tepercaya ke negeri Hadramaut untuk menghubungi Alfagih Al
Muqaddam secara khusus dan beberapa ulama yang
lain di negeri ini. Dalam pada itu, Syekh Abu Madyan
juga mengirim “khirqah” tasawuf, berupa sehelai
baju yang dipakaikan oleh seorang guru (tasawuf)
kepada muridnya, yang dengan demikian seorang guru berhak rnengarahkan pendidikan muridnya itu
(secara tasawuf ).
Melalui seorang muridnya, sebagai perantara, Syekh
Abu Madyan memakaikan “khirqah” itu kepada Al
Faqih Al Muqaddam. Ketika Syekh Abu Marwan, guru
Al Faqih Al Muqaddam mengetahui hal itu, ia menjadi marah, demikian juga dengan beberapa ulama Tarim
yang tidak menyukai hal itu, sebab mereka khawatir
akan kehilangan citacita dan rencana mereka untuk
menokohkan Al Faqih Al Muqaddam sebagai
pemimpin dan Imam. Ketika itu Alfagih Almugaddam
belajar beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan dengan acapkali menyandang senjata, bahkan
kadang-kadang sambil belajar ia meletakkan pedang
menyilang di atas pahanya.
Orang-orang yang kurang senang dengan tindakan Al
Faqih Al Muqaddam itu, mengira apa yang kelak akan
dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam merupakan salah satu tarekat yang hanya semata mata
memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa
menghiraukan urusan duniawi. Namun sesungguhnya
Alfagih lebih bijaksana serta berpandangan jauh dan
luas. Ia tidak menginginkan pengikutnya mengenakan
gimbal bertambal (muragga’at), mengembara tanpa arah sebagai “darwisy” (orang ‘fakir’) yang
melakukan cara-cara aneh dalam mendekatkan diri
kepada Tuhan, atau menjalankan latihan-latihan
ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al Muqaddam
melarang pengikutnya bertaklid buta terhadap guru,
khususnya dalam hal-hal yang ada kemungkinan bertentangan dengan Alkitab dan Sunnah.
Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan
pengikutnya adalah “Atthariqah Al-Alawiyah”
yang dasarnya adalah mengikuti apa yang tersurat di
dalam Alkitab (Alqur’an) dan Assunnah (ajaran
Nabi), meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama (para sahabat dan tabi’in). Itulah yang dinyatakan di
dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat
agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu
dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku
dan tindak tanduk Salaf Al alawiyin.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam
sebuah bait syair sebagai berikut :
Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab
Allah,ikutilah Sunnah nabi
Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah
memberi engkau petunjuk-Nya Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :

Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala
campuran. Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf, tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas
kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan
(sosial), keluarga maupun pribadi. Dalam segi tasawuf
ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan para tabi’in yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang untuk berjihad menyebarluaskan ilmu dan dakwah.
Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf
yang berintikan sikap zuhud. Namun zuhud tidak
menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta yang amat besar jumlahnya asal diperoleh melalui
jalan yang wajar dan halal, yang kemudian disalurkan
untuk kepentingan umum, menjamu tamu,
mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf
untuk pembiayaannya, menggali sumur untuk
menyediakan air bersih yang sangat diperlukan, membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok
pesantren untuk menyebarluaskan ilmu dan dakwah
ke jalan Allah. Mengusahakan perdamaian dan
memperbaiki hubungan antara golongan-golongan
yang bersengketa, bersedekah dan membantu
mereka yang memerlukan bantuan. Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut
madzhab Syafi’i, namun mereka tidak bertaklid
kepada Imam Syafi’i dalam segala hal. Dalam soal-
soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Imam
Syafi’i.
Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan
faham Al-Asy’ari dalam beberapa hal, seperti
mengenai sahnya taklid dalam soal iman.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi
karya-karya Al-Ghazali serta falsafahnya dalam
bidang akhlak dan tasawuf, namun mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan
memperhatikan kekurangan dan kelemahan
AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka yang
mengatakan. “Di dalam kitab Ihya’ ada beberapa
pernyataan seandainya dapat dihapus dengan air
mata kami, kami akan melakukannya” [10]. 

TAHAP KEDUA ( b )
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian
mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa
disertai tindakan yang melanggar akhlak, apalagi
minum-minuman yang memabukan, seperti yang
dilakukan oleh beberapa penganut tarekat lainnya. Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun
mereka tidak berkhalwat atau melakukan latihan
latihan rohani secara berlebihan dan melampaui
batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka
melakukannya dengan cara yang tidak merusak, baik
fisik maupun mental, serta bertujuan semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan
dan kekotoran rohani, sebagai usaha untuk
menyucikan diri dari kungkungan nafsu angkara
murka dan syahwat.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun
tasawuf mereka tidak melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan
penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-
guru besar, atau usahawan dalam bidang pertanian,
perdagangan atau pertukangan, baik sebagai
pimpinan maupun pelaksana lapangan.
Alfagih Al-Muqaddam – misalnya – bapak Alawiyin dalam tasawuf, mungkin kita tidak pernah mengira
bahwa Alfagih bertindak mengurusi perkebunan dan
sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga
dan keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja
sendiri ke pasar. Kita mungkin tidak pernah
rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari ribuan batang pohon kurma dan buah kurma
hasil perkebunan itu – seperti di riwayatkan di dalam
Silsilah Al A’idarusiyah – adalah sekitar 360 guci
(zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).
Penulis kitab Almasyra’ Arrawiy bercerita tentang
kekayaan Alhabib Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur.[11] cucu Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.) Abdullah
bin Alawi Al-Ghuyur ini telah mewakafkan untuk
masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia
mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat
nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain
hadiah-hadiah yang diberikan kepada para penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan
ibadahnya, hampir tidak ada orang yang dapat
menandinginya. Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa
dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru)
terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz,
Irak dan Maghrib(Afrika Utara). Demikian pula dengan Habib Abdurrahman Assagaf,
betapapun banyak kegiatan dan kesibukannya dalam
rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar, namun
memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas
sekali serta meminta laporan tentang biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada waktu antara maghrib dan isya’, seperti diriwayatkan oleh
Alkhathib, penulis kitab Aljauhar. Pohonpohon
kurmanya amatlah banyak, tidak sedikit di antara
pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya
sendiri, sambil membaca surat YaSin pada setiap
pohon yang ditanamnya. Habib Umar Al Muhdhar putra Habib Abdurrahman
Assaqaf, adalah seorang ulama besar yang diyakini
sebagai seorang wali Allah, namun tergolong seorang
yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya
adalah kapal-kapal, tanah-tanah pertanian, kebun
kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di dalam surat wasiatnya.
Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-A’dani,
putra Habib Abdullah Al-A’idarus ( yang makamnya
cukup terkenal di kota Aden ) tergolong seorang
hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor
kambing untuk menjamu para tamu dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografinya.Imam
Abu Bakar Al-A’dani telah melunasi hutang ayahnya
setelah wafat sebanyak 30 ribu dinar. Imam Abu
Bakar Al-A’dani wafat 914 H.
Demikian pula halnya dengan keturunan Habib
Abdullah bin Syekh Al-A’idarus ( keponakan al- A’dani ), yang banyak berhubungan dengan raja-
raja India. Kita akan kagum mempelajari riwayat
hidup mereka, sebab di samping hasil karya ilmiah
yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka
lakukan serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan
ibadah, tokoh-tokoh ini mampu memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan
pangeran. Sedang sebagian besar kekayaan itu,
dinafkahkan untuk perbaikan sosial dan kepentingan
umum.[12]
Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan
Alawiyin adalah ajaran tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada
fanatisme dan jumud (kebekuan) atau menjurus
kepada ekstrimisme dan ingkar. Ajaran tasawuf
mereka merupakan sikap tengah yang memelihara
keseimbangan dalam semua segi.
Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada tokoh-tokoh Alawiyin berupa
latihan amat banyak secara umum tidak mampu
dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan
naluri yang wajar, baik itu berupa tidak tidur siang
malam untuk beberapa tahun lamanya berhenti
makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus, maupun mengkhatamkan pembacaan
Alqur’an beberapa kali di waktu siang dan
beberapa kali di waktu malam. Hal – hal semacam itu
hanyalah merupakan tindakan-tindakan khusus yang
hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu
saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di samping adanya kesediaan batin untuk
melakukannya. Hal-hal semacam ini memang tidak
dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya
yang khusus dan merupakan pengecualian dan yang
umum. Bahkan lingkungan mereka sendiri
memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga apabila ada yang menceritakannya,
hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap
sesuatu yang luar biasa.
Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja
digolongkan sebagai “karamah” yang telah
diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas. Perlu pula dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan
yang kadang-kadang diucapkan oleh beberapa tokoh
Alawiyin tertentu – seperti dicatat oleh sebagian
penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya
bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’, dan
yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah bukan karena mereka telah meyakini faham
“wahdatul wujud” (panteisme), bukan pula untuk
menyatakan kesombongan dan membanggakan diri,
seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab
kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu
cukup dikenal dalam sejarah. Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat
mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana
mereka berada dalam suasana tak sadar (keadaan
fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah
dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai
pelanggaran yang mengakibatkan dosa, apalagi kufur.
Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti
itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak
rnenyukainya.

• Organisasi Alawiyin “Annagabah”
Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelum bercabang-cabang dan bersuku-suku, kaum
Alawiyin tidak merasa perlu untuk membuat suatu
sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan
mereka. Cukuplah bagi golongan ini untuk mempunyai
seorang atau beberapa orang pemimpin yang secara
otomatis diakui sebagai pemimpin keluarga atau marga.
Baru pada tahap kedua dalam sejarah perkembangan
Alawiyin, setelah menjadi banyak dan tersebar ke
berbagai daerah terasalah bagi tokoh Alawiyin guna
membela dan memelihara kedudukan dan
kepentingan mereka, melindungi kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang
bersifat intern maupun ekstern. Sistim ini dikenal
dengan sebutan ” Nagabah”.
Sistem ini baru diadakan pada zaman Habib Umar Al-
Muhdhar, yakni pada akhir abad kesembilan Hijriah, di
mana Habib Umar Al Muhdhar sekaligus terpilih sebagai Naqib. Dewan “Nagabah” ini terdiri dari
sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili
kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan oleh 5
orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan
kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka,
sebagai tersirat di dalam teks piagam yang disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di
majalah Al-Jam’iyah, nornor 8, tahun 1357 H.
Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini rnengatur
segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai
kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran
syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah
kepada pemimpin umum (atau Nagib) untuk disahkan
dan selanjutnya dilaksanakan.
Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang anggota
dewan masing-masing merupakan wakil-wakil atau
naqib-naqib dari setiap kelompok atau suku, sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh “Naqib
Annagabah” [atau Naqib para Naqib] yang kemudian
dikenal pula dengan sebutan “Nagib Al-Asyraf”.
Setiap anggota dewan sangat patuh dan taat
terhadapnya. Dan kepadanya pula dikembalikan
segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan perbaikan, di samping ia merupakan lambang
kekuatan, kesepakatan, wibawa dan pengaruh
Alawiyin.
Dalam memecahkan persoalan yang dihadapi,
lembaga ini akan menempuh cara damai. Namun jika
tidak berhasil, maka digunakanlah cara boikot, yaitu Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang
yang dianggap melakukan pelanggaran atau
membangkang, dengan cara menolak berjabat
tangan (bersalam-salaman) maupun dengan cara-
cara lain. ‘Tindakan Naqib akan diikuti semua
Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan yang benar.
Apa yang kami tuturkan ini adalah bersumberkan
piagam yang telah kami sebutkan, di atas dan
ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Habib Umar Al
Muhdhar, dan didukung dan dibubuhi tanda tangan
Sultan Tarim ketika itu, yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan membantu
terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub
di dalam piagam itu, yang diikuti pula oleh tanda
tangan seluruh naqib (anggota dewan) beserta
pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang
dari 50 orang. Patut disayangkan bahwa teks piagam ini tidak
rnenyebutkan tanggal dan tahun penulisannya dan
juga tidak menyebut urut-urutan nama (daftar) para
nagib yang pernah menduduki jabatan itu, namun
dengan membaca kembali kitab-kitab biografi
Alawiyin, seperti kitah Al-Masyra ‘Arrawiy dan lain- lain, menerangkan bahwa di antara para Naqib yang
terkenal, antara lain adalah Habib Abdullah Al-
A’idarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah
Habib Umar Al Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin
telah sepakat untuk mengangkat Muhammad bin
Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar Jamalullail untuk diangkat sebagai Nagib, namun ia
menolak dan menunjuk Habib Abdullah Al-A’idarus
sebagai gantinya, yang saat itu masih berusia muda,
tetapi telah menunjukkan kemampuan untuk
memangku jabatan tersebut. Akhirnya – setelah
pertamanya menolak juga – Habib Abdullah Al- A’idarus menerima. Pengganti A1-A’idarus adalah
Imam Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat tahun
973 H. Berikutnya Habib Abdullah bin Syekh bin
Abubakar Al-A’idarus (wafat 1019 H.), kemudian
putranya bernama Habib Zainal Abidin (wafat 1041 H.)
. Adapun pada masa-masa selanjutnya saya tidak
menemukan catatan sejarah yang menegaskan
adanya seorang Naqib yang dipilih, meskipun kadang-
kadang terjadi kepemimpinan seorang tokoh
Alawiyin semata-mata karena daya tarik kharisma
dan kekuatan pribadinya di samping memang memenuhi persyaratan untuk jabatan sebagai Naqib.
Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem
“Manshabah”, yang tersebar luas di beberapa
daerah Hadramaut. Tugas “Munshib” pada
dasarnya adalah mendamaikan sengketa yang terjadi
antara suku-suku yang memanggul senjata, menyebarluaskan ilmu dan dakwah, menjamu para
tamu yang datang berkunjung. Soal ini akan
dibicarakan lebih luas lagi kemudian.
Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul seorang
tokoh yang mengungguli tokoh-tokoh Alawiyin yang
lain dalam ilmu, pengaruh dan kedermawanannya, yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad
(wafat 1316 H.) sehingga sepakatlah tokoh-tokoh
Alawiyin untuk mengangkatnya sebagai Nagib.
Mereka telah menandatangani piagam untuk
pengangkatannya itu. namun ada seorang tokoh yang
cukup terkenal dan berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan itu. Yaitu Habib Husein bin Hamid Al-
Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya gagal .
Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib
Husein tersebut ada dua tokoh lain yang tidak
menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap
oposisi terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka orang-orang yang cukup kuat,
sehingga golongan oposisi yang kecil itu dapat
rnengalahkan mayoritas yang menyetujui..
Barangkali, seandainya pengangkatan Al-Haddad
sebagai Nagib ini terlaksana, tokoh ini akan mampu
menarik Alawiyin kembali kepada cara hidup pendahu pendahunya, serta menghidupkan tradisi-
tradisi mulia yang hampir hilang.


TAHAP KETIGA
Tahap ini bermula dari abad kesebelas H. hingga abad
keempat belas H. Tokoh-tokoh abad ini dikenal
dengan gelar ” Habib “, seperti Habib Abdullah Al- Haddad, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Habib Hasan
bin Shaleh Al-Bahr Al Jufrie dan lain lain.
Tingkat ilmiah dan tasawuf tahap ini – secara umum -
berada di bawah tingkat sebelumnya. Kendati
demikian, telah muncul di atas pentas tokoh-tokoh
yang cukup menonjol serta pribadi-pribadi istimewa tidak kurang peranannya dari tokoh-tokoh kedua
tahap sebelumnya. Tokoh utarna tahap ini adalah
Habib Abdullah Al-Haddad (wafat 1132 H.) – sebagai
tokoh puncak golongan Alawiyin masa itu, dan Habib
Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih (wafat 1163 H.).

• Hijrah Kaum Alawiyin Tahap ini ditandai dengan derasnya arus hijrah -melebihi masa-masa sebelumnya – ke India, pada abad kesebelas dan keduabelas H. yang kemudian
berlanjut dengan hijrah ke negara-negara Asia
Tenggara (Indonesia dan Malaysia) pada abad-abad
berikutnya. Adapun faktor yang mendorong Alawiyin melakukan hijrah adalah seperti telah disinggung pada
pembahasan perkembangan alawiyin pada masa
tahap pertama ditambah pula dengan perkembangan
alawiyin di Hadramaut melebihi masa-masa
sebelumnya. Sedemikian sehingga mereka yang berada di luar lebih besar dari mereka yang berada di
tanah air sendiri, di mana di negeri mereka
Hadramaut – kemungkinan yang tersedia tidak
mampu memberi kepuasan bagi perwujudan cita-cita
mereka.
Oleh karena itu, wajarlah kiranya apabila mereka berhijrah, lalu menjadikan daerah baru itu sebagai
tanah airnya. Dan tidak aneh pula apabila mereka
kemudian menonjol, serta menunjukkan kemampuan-
kemampuan luar biasa sehingga dapat menduduki
posisi-posisi penting, memegang kendali
perekonomian, kegiatan keagamaan bahkan kadang- kadang juga kekuasaan eksekutif. Kaum Alawiyin
dalam hal ini juga diikuti oleh golongan-golongan lain
yang hijrah dari Hadramaut, baik mereka yang hijrah
ke Timur Jauh, Afrika Timur, Hijaz (Saudi Arabia) dan
lain-lain. Bahkan ada di antara mereka yang
kemudian mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini.
Seperti kerajaan Al ‘Aidarus di Surrat (India),
Kesultanan Al-Qadri dan Al-Syekh Abubakar di
Kepulauan Komoro (Comores), Al-Syahab di Siak, Al-
Qadri di Pontianak dan Al-Bafagih di Pilipina.
Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai sejarah terinci, sebagian di antaranya dimuat oleh majalah
Arrabithah Al-Alawiyah dan majalah Annahdhah Al
Hadhramiyah. Kedua sumber ini bisa dijadikan bahan
penelitian bagi mereka yang berminat untuk
rnengkajinya. Melalui kaum Alawiyin, Islam tersebar
luas di Indonesia, Malaysia dan Pilipina. Hijrah kaum Alawiyin – dan saudara-saudara mereka
lainnya dari Hadramaut – ke negara-negara tetangga
(negara-negara Arab di Timur Tengah), tidak banyak
mempengaruhi tradisi, juga bahasa mereka, yakni di
negara-negara yang berbahasa Arab, seperti Hijaz
(Saudi Arabia), negara-negara Teluk, Mesir, Syam (Suria) dan Sudan, kendati di tiga negeri terakhir ini
jumlah mereka tidak banyak.
Adapun di perantauan luar Arabia, seperti negara-
negara Islam tersebut di atas, maka dengan
sendirinya mereka telah mengadakan hubungan
kekeluargaan melalui pernikahan untuk mempererat hubungan dengan penduduk setempat, karena
memang sulit bagi mereka memboyong keluarga
bersama mereka. Seandainya yang demikian terjadi
(yakni rnembawa isteri-isteri dan anak-anak mereka)
maka bahasa Arab akan lebih cepat dan lebih luas
tersiar, sebagai bahasa Alqur’an yang dimuliakan oleh kaum Muslimin.
Akan tetapi, meskipun telah melakukan pembauran di
daerah-daerah yang amat jauh itu, namun hingga
waktu yang lama mereka masih rnemelihara tradisi
dan mengenang tanah air, terutama Tarim, sebagai
pusat ilmu dan pusat Alawiyin. Sekali-sekali mereka berkunjung ke negeri itu untuk berziarah. Baru
beberapa abad kemudian hubungan mereka dengan
negeri asal berkurang, sehingga dengan mudah
dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka hidup,
untuk lanjutnya terlebur di dalam periuk acuannya,
walaupun agama dan adat istiadat yang hak tetap terpelihara.
Bahkan pada masa sementara Alawiyin masih
mengunjungi negeri asal, mereka telah mernbawa
kebudayaan dan tradisi India, Jawa (Indonesia), dan
daerah atau negara lain di mana mereka hidup. Hal ini
tampak jelas pada awal abad ketigabelas H. Adalah sangat aneh jika ada sementara tokoh
Alawiyin yang menentang hijrahnya Alawiyin ke luar
dan menganjurkan dengan gigih agar mereka tetap
tinggal di negerinya (Hadramaut), terutama pada
ketiga abad terakhir ini – namun tidak ada di antara
para pemikir atau sesepuh yang berusaha secara sungguh-sungguh memberi jalan yang dapat
menghalangi laju arus hijrah ini. Yaitu dengan
menyebar luaskan kesadaran, menggalakkan
pertanian, membuat mereka merasa puas untuk
hidup sederhana serta meninggalkan tradisi-tradisi
yang merugikan. Kalau pun ada, orang-orang yang cukup memperingatkan hal demikian itu, amatlah
sedikit. Di antara mereka adalah Habib Muhsin bin
Alawi Assaqaf (wafat 1293 H.)
Adapun untuk tidak melakukan hijrah sama sekali
dari Hadramaut – baik bagi Alawiyin maupun
penduduk Hadramaut secara keseluruhan – memanglah merupakan hal yang tidak dimungkinkan
oleh keadaan negeri itu sendiri sejak dahulu kala.

• Para Munshib
Pada tahap perkembangan ini, lahirlah jabatan ”
Munshib”. Jabatan itu sendiri dikenal sebagai
“Manshabah”. Sebagian besar Munshib Alawiyin muncul pada abad kesebelas dan abad keduabelas H.
Seperti Munshib Al-Attas, Munshib Al ‘Aidarus,
Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim, Munshib
Alhabsyi, Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali,
Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain.
Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan bermanfaat, baik bagi agama maupun
bagi sesama manusia. Pemangku jabatan ini – yang
menerimanya secara turun temurun – selalu berusaha
mendamaikan suku-suku yang bersengketa -
khususnya sengketa antara suku-suku yang
bersenjata – menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk
kepada mereka yang memerlukan petunjuk dan
bantuan bagi yang memerlukan bantuan.
Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga
kini (1948 M), sesuai dengan tujuan “Manshabah”
yang didirikan untuknya. Para Munshib tidak jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi
tugas dan jabatannya. Hanya saja generasi yang
kernudian biasanya makin lemah bila dibanding
dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian,
kemampuan, maupun kewibawaan, sehingga secara
berangsur, lembaga ini makin lama makin berkurang peranannya. Hal ini terutarna disebabkan kurangnya
perhatian terhadap pendidikan, baik ilrnu maupun
keahlian, sesuai dangan, apa yang dahulu dikuasai
oleh bapak-bapak mereka.


• Golongan Alawiyin dan Politik
Pada pasal-pasal lampau telah dibicarakan sejarah perkembangan Alawiyin dalam berbagai bidang
kehidupan pada ketiga tahap terdahulu. Kini hanya
tinggal bidang politik.
Adalah merupakan prinsip yang rnenjadi pegangan
tokoh-tokoh Alawiyin, mereka senantiasa
menjauhkan diri dan tidak hendak mencampuri urusan politik, kecuali dalam hal-hal yang erat
hubungannya dengan kepentingan dan maslahat
umum. Yaitu dengan menggunakan pengaruh spiritual
mereka, dan hanya pada batas-batas tertentu.
Disebutkan dalam biografi bahwa Al Muhdhar, Al-
A’idarus. Al-A’dani, Zain Al-A’bidin Al- A’idarus, Al-Haddad dan lain-lain adakalanya
mereka bergaul dengan para raja dan penguasa
negeri serta mengadakan surat rnenyurat dengan
mereka. Para penguasa itu pun sering meminta
nasihat dan petunjuk dari tokoh-tokoh tersebut serta
mengharap doa mereka. Namun, bila diteliti hubungan mereka dengan para penguasa nyatalah bahwa
hubungan mereka tidak lebih daripada mengarahkan
para penguasa agar melakukan kebijaksanaan yang
sesuai dengan keadilan dan kepentingan umum.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin mempunyai pengaruh
spiritual yang cukup besar di kalangan suku-suku bersenjata, namun mereka tak pernah;
mengeksploitasi pengaruh itu untuk tujuan-tujuan
yang tidak layak.
Jika sekiranya mereka mengarahkan minat, demi
kepentingan pribadi, atau berambisi meraih
kekuasaan politis, dengan mudah mereka akan mencapai apa yang dinginkannya. Pada masa-masa
itu seringkali peluang terbuka dan kesempatan ada,
namun mereka tidak pernah memanfaatkannya,
seperti dapat diketahui oleh mereka yang mengkuti
dan mengkaji sejarah Hadramaut. Seperti pada
peristiwa yang terjadi di antara Zain’ Al-Abidin AI- A’idarus dengan Hasan bin Al-Qasim, Imam
golongan Zaidiyah dari Yaman, peristiwa Husein bin
Sahl dengan Syekh Awadh Gharamah, semua itu
merupakan bukti-bukti nyata bagi apa yang
dikemukakan tadi.”[13]
Dalam hal ini, dapatkah kiranya dikemukakan alasan seperti telah disebutkan sebelum ini, tentang
langkanya karya-karya tulis dalam bidang ilmu
pengetahuan, dan budaya, yaitu akibat sangat
dalamnya pengaruh ajaran tasawuf dalam jiwa
rnereka? Atau mungkin juga ada alasan-alasan lain
yang hingga kini belum terungkap mengingat apa yang terjadi dalam praktek seringkali jauh berbeda
dengan dasar-dasar teori semata?
Bagaimana pun juga, jelaslah, bahwa Alawiyin tidak
pernah berusaha, apalagi berpetualang, untuk
mencapai keberhasilan dalam bidang politik baik
untuk mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti dilakukan oleh saudara-saudara sepupu mereka yaitu
Syarif-Syarif Mekkah, para Sultan di negeri Maghrib
(Afrika Utara) dan para Imam di Yaman.
Adanya pribadi-pribadi tertentu dari kaum Alawiyin
yang pernah berhasil mendirikan kerajaan atau
kesultanan, seperti disebutkan sebelum ini, tidak dapat dijadikan dasar umum bagi cara hidup salaf dan
tokoh Alawiyin. Kadang-kadang pengaruh situasi dan
kondisi begitu kuat untuk menentukan sikap. Suasana
demikian itulah yang membuat sementara Alawiyin
mernegang tampuk pimpinan dan tidak dapat
mengelak untuk menghindar dari jabatan. 


TAHAP KEEMPAT
Tahap ini bermula dari abad keEmpat Belas H. hingga
kini. Yakni, di dalam pasal ini kita akan berbicara
tentang keadaan kita sekarang, agar dapat membuat
perbandingan antara kita sendiri dengan perilaku dan
sejarah salaf kita yang terdahulu. Adalah sangat disayangkan bahwa tahap ini -
dibanding dengan tahap-tahap sebelumnya -
merupakan masa kemunduran dan kemerosotan di
hampir semua bidang kehidupan. Bahkan
kemunduran dan kemerosotan ini merupakan gejala
umum yang menimpa seluruh dunia Islam. Meskipun demikian, adanya perbedaan antara tahap
pertama dengan tahap-tahap berikutnya memang
benar-benar terasa. Makin jauh kereta sejarah
berjalan, makin jauh kemunduran dan kemerosotan
itu terasa, makin surut sinar keagungan Alawiyin dan
makin tenggelam ke dasar. Keadaan demikian ini merupakan kebalikan bagi
bangsa-bangsa yang ‘hidup’, yang makin lama
makin maju (14)

• Diagnosa dan Pengobatan
Faktor utama yang menyebabkan kemunduran itu
adalah tidak adanya pendidikan yang benar dan tepat. Salaf kita dahulu adalah orang-orang yang amat
ahli dalam bidang ini. Melalui jalur itu, mereka
mengarahkan putra-putra mereka sesuai dengan apa
yang mereka rencanakan dan mereka kehendaki,
untuk rnemuaskan hati mereka. Perguruan tinggi dan
fakultas kaum Alawiyin adalah alam terbuka dan lingkungan hidup itu sendiri.
Adalah keliru apabila kita beranggapan bahwa
lingkungan kita, sekolah-sekolah kita, majlis-majlis
ta’lim kita sekarang merupakan sarana pendidikan
yang di dalamnya disalurkan ajaran-ajaran seperti
yang dahulu diajarkan oleh salaf kepada putra-putra mereka. Bahkan kenyataan yang kita lihat adalah
kebalikan dari apa yang dahulu dikerjakan oleh para
salaf itu.
Kemerosotan akhlak di kalangan sementara Alawiyin
telah mencapai derajat terendah, demikian pula
surutnya ilmu pengetahuan, di samping tersebarnya penyakit-penyakit sosial.
Alhasil, kini kita sedang mengalami kemunduran yang
mengerikan, padahal jalan untuk mengatasi semua itu
adalah jelas, yaitu, kembali mengikuti cara hidup para
salaf dalam ilmu, akhlak dan amal, sehingga semua
tindakan yang kita lakukan sesuai dengan status kita di tengah masyarakat. Demikian pula halnya dengan
kaum Muslimin secara keseluruhan. Sebab, “akhir
umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan
cara-cara yang dahulu memperbaiki pendahulunya
“, demikian ditegaskan oleh pemimpin besar umat
ini, Rasul Allah saw. Marilah kita usahakan. Dan Allah akan senantiasa
menolong mereka yang membela dan menegakkan
ajaran-Nya.
************* 

CATATAN KAKI / FOOTNOTE

01. Abdullah bin Alwi Al -Haddad. 

Allah telah menganugerahkan kepada Abdullah Al Haddad daya hafal yang luar bisa, sehingga telah hafal Al-Qur’an
seluruhnya dalam usia kecil. Kendati telah mengalami
penyakit sehingga menyebabkannya menjadi seorang tunanetra, namun ketajaman hati dan
kecerdasan fikirannya melebihi mereka yang
berpenglihatan sempurna. Al-Haddad telah mampu
menguasai berbagai ilmu yang diajarkan oleh guru-
guru kepadanya, lalu muncul sebagai seorang tokoh
besar dalam ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan Bahasa, maka berdatanganlah para murid dari
segenap penjuru untuk mereguk sumber ilmu yang
deras ini. Di samping pelajaran yang disampaikan
secara langsung, Al Haddad telah pula mengarang
beberapa buku yang kemudian tersebar luas. Karya-
karya Al Haddad ini antara lain : Annasha’ih Addiniyah, Risalah Almu’awanah, sebuah Diwan
(kumpulan syair) dan lain-lain. Wafat di Tarim 1132 H.

02. Habib Ali bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assagaf, bergelar AsSakran (dimabuk cinta Ilahi). 

Terkenal dalam berbagai bidang ilmu,
khususnya tasawuf. Wirid As Sakran hingga kini masih banyak dibaca orang. Wafat 895 H.

03. Imam Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’farAsshadiq bin
Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husin. 

Al Muhajir Ila Allah (orang yang berhijrah menuntut ridha
Allah) meninggalkan Basrah di Irak pada tahun 317 H. bersama keluarga dan pengikutnya yang berjumlah
70 orang, menuju Hijaz (Saudi Arabia), kemudian ke
Yaman (Utara), dan selanjutnya Hadramaut (Yaman
Selatan). Al Muhajir sampai di Hadramaut pada tahun
318 H dan untuk pertama kali mendirikan rumah di
Hajrain, lalu pindah ke Husayisah tempat beliau menetap hingga wafat pada tahun 345 H.

04. Ibadhiah adalah salah satu golongan Khawarij di
bawah pimpinan Abdullah bin Ibadh. 

Berkali-kali kelompok ini memberontak terhadap kekuasaan Bani Umayyah dan yang paling terkenal adalah
pemberontakan mereka dibawah pimpinan Abdullah bin Yahya,sekitar tahun 129 H . Golongan ini kemudian
mengembangkan pengaruhnya di Oman, Yaman dan
Hadramaut.

05. Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali
bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. 

Al-Fagih Al Muqaddam adalah tokoh Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah mengenakan
“khirgah” (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli
sufi, ialah Syekh Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam
menerima “khirgah” itu melalui seorang perantara,
Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Muq’ad, seorang murid Syekh Abu Madyan. Syekh
Abdurrahman diutus oleh gurunya khusus untuk
tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum
sempat menemui Al Fagih Al Muqaddam. Meski
demikian, sebelum wafat ia telah melimpahkan misi
itu kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh Abdullah Al Maghribi untuk menyampaikan
“khirgah” kepada Al Fagih Al Muqaddam di Tarim,
Menurut kitab AlMasyra ‘Arrawiy, Al Fagih Al
Mugaddam telah mencapai derajat Al Mujtahid Al
Muthlaq di dalam ilmu Syari’at, – makam Al
Quthbiyah di dalam bidang tasawuf. Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan mengatakan Al Faqih
Muqaddam telah memenuhi syarat untuk menduduki
jabatan AI-Imamah- Wafat 653 H.

06. Habib Abdurrahman bin Muhammad (Maula
Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin Muhammad Alfagih Al muqaddam. 

Ulama besar yang telah mencetak berpuluh ulama, termasuk di antara mereka adalah
putra-putranya sendiri, saudaranya Al-Imam Alawi
bin Muhammad, Imam Sa’ad bin Ali Madzhij, Syekh
Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi.
Bergelar Assagaf karena kedudukannya sebagai
“pengayom”, serta tingginya derajat ulama ini baik dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai
dermawan. Assagaf telah mendirikan 10 mesjid
disertai wakaf untuk mencukupi kebutuhan mesjid-
mesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma,
namun segala kekayaan itu tidak sedikit pun
memberatkan atau merisaukan hatinya, apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. “Sehingga
kalau seandainya dikatakan kepadaku,” kata
Assagaf, “kebun-kebun itu tidak ada yang berbuah,
aku akan menari kegirangan“. Di antara kata
mutiara Assagaf adalah sebagai berikut : “Manusia
semua membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal dan akal membutuhkan
taufik. Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu
dan amal tanpa niat adalah sia-sia. Ilmu, amal dan niat
tanpa mengikuti sunnah adalah tidak diterima. Ilmu,
amal, niat dan sunnah tanpa wara’ (sangat hati-hati
dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian”. Assaqaf wafat pada tahun 819 H.


07. Umar Al Muhdhar bin Abdurrahman Assagqaf.

Imam zamannya dalam ilmu, tokoh dalam tasawuf.
Terkenal dengan kemurahan hatinya. Rumahnya tidak
pernab sunyi dari para tamu yang datang berkunjung
baik untuk kepentingan agama maupun kepentingan duniawi – Menjamin nafkah beberapa keluarga yang
tak mampu dan mendirikan tiga buah mesjid. Umar Al
Muhdhar terkenal dengan doanya yang amat
mustajab. Wafat 833 H

08. Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman Assagaf

terkenal dengan gelar A1-A’idarus (AlAydrus), Ia berusia 10 tahun, ketika ayahnya wafat dan langsung
diasuh oleh pamannya, Umar Al Muhdhar, yang
sekaligus bertindak sebagai gurunya. Ia telah
mempelajari ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan
Bahasa. Ketika AI-Muhdhar wafat, ia berusia 25 tahun.
Tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Imam Muhammad bin Hasan. Jamal Al-
Lail sebagai Naqib, namun menolak dan menyarankan
agar mengangkat Abdullah Al-A’idarus ini untuk
menggantikan pamannya. Ulama besar yang
bertindak menyebarluaskan ilmu dan dakwah, tekun
dan mengisi waktunya dengan ibadah, menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di dalam kitab
Almasyra’ dinyatakan: “Dalam kedermawanan
bagaikan seorang amir, namun dalam tawadhu’
bagaikan seorang fakir”. Sangat senang
menampakkan nikmat Allah atas dirinya dengan
mengenakan pakaian-pakaian indah, kendaraan yang megah dan rumah yang bagus. Wafat 865 H.

09. Habib Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syekh Al ‘Aidarus, 

adalah seorang Imam yang terkenal
dalam berbagai ilmu. Guru utamanya adalah ayahnya
sendiri. Ia bertindak sebagai murid dan pelayan
ayahnya, tidak pernah berpisah selama ayahnya hidup. Setelah ayahnya wafat, Zainal Abidin
menggantikan ayahnya itu sebagai Naqib,
mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi
kepentingan masyarakat umumnya, dan Alawiyin
khususnya. Zain Al-Abidin sangat dihormati dan
disegani oleh Sultan, di mana Sultan tidak memutuskan sesuatu sebelum terlebih dahulu
meminta pendapat Imam ini, bahkan tidak jarang
Sultan datang ke rumahnya untuk sesuatu
kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun
umum. Akibat kedudukan yang tinggi ini, Zain Al-
Abidin menghadapi banyak lawan, namun selalu menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana.
sehingga akhirnya lawan berubah menjadi kawan. di
samping sebagai guru besar dalam ilmu-ilmu Syariat,
Tasawuf dan Bahasa, ia menguasai soal pertanian dan
bidang -bidang profesi lain; memberi petunjuk kepada
mereka yang memerlukan petunjuk, bahkan di penghujung hayatnya ia sering mengobati mereka
yang menderita penyakit, sebagai tabib. Wafat 1041 H

10. Ulama telah merasa puas dengan karya-karya
Imam Al-Ghazzali dan Annawawi sehingga tidak
merasa perlu untuk menyusun kitab-kitab sendiri baik
dalam ilmu Syari’at, Tasawuf maupun Akhlak. Mereka mencurahkan tenaga dan fikiran untuk
mengamalkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran
yang terkandung di dalam kitab-kitab itu.

11. Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. 

Setelah menyelesaikan pendidikan
pada ayah dan datuknya, Al Faqih Almugaddam, ia meneruskan pendidikannya ke Yaman dan Hijaz
untuk berguru kepada ulama-ulama besar di kedua
negeri itu Kemudian bermukim di tanah suci untuk
menyebarluaskan ilmu dan mengajarkanya. Karena
mengajar dikedua kota suci Makkah dan Madinah ia
digelari Imam Al-Haramain dan Mujaddid abad kedelapan Hijriah. Ketika itu datang berita wafatnya
Imam Ali bin Alwi (sudara kandungnya) dimana
tokoh-tokoh Hadramaut telah menulis sepucuk surat
ta’ziah dan sekaligus memintanya kembali pulang
ke kampung halaman untuk memimpin umat dan
menggantikan kedudukan Almarhum sebagai da’i dan mengajarkan berbagai ilmu kepada mereka yang
menuntutnya. Berpuluh murid telah dicetak menjadi
ulama besar termasuk di antara mereka adalah
putra-putranya sendiri, Ali, Ahmad dan Muhammad.
Wafat di Tarim, pada tahun 731 H

12. Alawiyin telah berjuang-bersama seluruh rakyat melawan portugis yang datang menyerang pesisir
Hadramaut dengan tujuan menduduki negeri itu pada
tahun 1097 H. Berkat kegigihan mereka telah berhasil
mengusir kaum kolonial , Kendati telah gugur para
syuhada dalam peristiwa ini .

13. Salah satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di mana Sultan Badr bin Thuwairiq
berniat mengundurkan diri dari jabatannya dan
menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh
Abubakar bin Salim (wafat 1044 H.). Namun Imam
Husein menolak dan menekankan kepada Sultan ini
untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu dan mendampinginya

14. Kendati suasana umum amat suram — pada
tahap ini – namun ada juga tokoh-tokoh yang sangat
menonjol dalam ilmu dakwah dan perbaikan sosial
seperti Al-Imam Ali bin Muhammad Alhabsyi -
Shohibul Maulid Simtud Dhuror(wafat 1333 H.), Al- Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas – (wafat 1334 H.),
Allamah Abubakar bin Abdurrahman Syahab (wafat
1341 H.), Habib Muhammad bin Thahir Al Haddad
(wafat 1319 H.), Habib Husein bin Hamid Al Muhdhar
(wafat 1341 H.), dan banyak lagi tokoh yang lain.
Kendati demikian hal ini sangat kurang memadai bila dibanding dengan banyaknya Alawiyin secara
keseluruhan yang memang cukup besar jumlahnya
dan tersebar di berbagai penjuru.

2012@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perjalanan Hidup Para Salaf dari Bani Alawi Keturunan Sayyidina Husein bin Ali Ra"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip