//

Tafsir Surah Ali ‘Imran, Doa Nabi Zakaria



Tafsir Surah Ali ‘Imran, Doa Nabi Zakaria
 
www.majalah-alkisah.comKejadian-kejadian dalam kehidupan manusia di dunia ini ada yang biasa dan ada pula yang tidak biasa, tetapi semuanya terjadi atas keten­tuan dan kehendak Allah SWT. Hal-hal yang luar biasa itu dalam pandangan ma­nusia terkadang dianggap sesuatu yang tak masuk akal; tetapi bagi Allah, sangat mudah bagi-Nya menentukan dan mem­perbuat segala yang diinginkan-Nya.


Ayat 38 sampai 41 dari surah Ali ‘Imran berikut ini mengisahkan Nabi Za­karia yang mengalami kejadian yang sangat langka. Ia mendapatkan anak di saat telah sangat tua dan istrinya pun seorang wanita yang mandul. Tetapi Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Marilah kita perhatikan ayat-ayat tersebut dan kita simak pula penafsir­annya yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Allah SWT berfirman:

Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.”
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria sedang ia tengah berdiri melaku­kan shalat di mihrab (katanya), “Sesung­guhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan (yang diikuti), menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang shalih.”
Zakaria berkata, “Ya Tuhanku, bagai­mana aku bisa mendapat anak, sedang aku telah sangat tua dan istriku pun se­orang yang mandul?”
Berfirman Allah, “Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”
Berkata Zakaria, “Berilah aku suatu tanda (bahwa istriku telah mengan­dung).”
Allah berfirman, “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.”
 

Setelah Nabi Zakaria AS melihat bah­wa Allah menganugerahkan rizqi kepada Maryam berupa buah musim kemarau pada waktu musim hujan dan buah mu­sim hujan pada musim kemarau, ia pun sangat menginginkan kehadiran seorang anak, walaupun ia sudah tua renta dan tulang-tulangnya sudah lemah serta ram­butnya sudah dipenuhi uban. Istrinya pun sudah tua lagi mandul. Namun ia tetap memohon kepada Tuhannya dan me­nyeru-Nya dengan suara yang lembut, “Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi-Mu keturunan yang baik”, yakni anak yang shalih. “Sesungguhnya Eng­kau Maha Mendengar doa.”
Allah Ta‘ala berfirman, yang artinya, “Kemudian Malaikat menyeru Zakaria, se­dang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab”, yakni malaikat meng­ajaknya bicara ketika ia shalat di mihrab peribadahannya. Kemudian Allah Ta‘ala memberitahukan berita gembira yang ma­laikat sampaikan kepadanya, “Se­sungguhnya Allah menggembirakanmu dengan Yahya”, yakni dengan kelahiran seorang anak yang keluar dari sulbimu dan diberi nama Yahya. Qatadah menga­takan bahwa ia dinamakan Yahya lian­nallaha ahyahu bil-iman (karena Allah menghidupkannya dengan iman).
Mengenai firman Allah, yang artinya, “Yang membenarkan kalimat Allah”, di­riwayatkan oleh Al-Aufi dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud adalah yang mem­­benarkan Isa putra Maryam. Ar-Rabi` bin Anas mengatakan: Ia (Yahya) adalah orang pertama yang membenar­kan Isa. Sedangkan Ibnu Juraij mengata­kan bahwa Ibnu Abbas berkata: Yahya dan Isa adalah sepupu dari pihak ibu (ibu mereka kakak-beradik). Ibunda Yahya pernah berkata kepada Maryam, “Aku bermimpi, anak yang berada di perutku sujud kepada anak yang berada di pe­rutmu.” Nabi Yahya adalah orang per­tama yang membenarkan Nabi Isa, dan yang dimaksud “Kalimat Allah” adalah Nabi Isa. Namun Nabi Yahya lebih tua usianya. Demikian pula yang dikatakan oleh As-Sudi.

Mengenai firman Allah sayyida pada ayat di atas, ada banyak pendapat. Abu Al-‘Aliyah mengatakan bahwa yang di­maksud adalah penyantun. Qatadah me­ngatakan bahwa yang dimaksud adalah pemuka dalam hal ilmu dan ibadah. Ada­pun Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud adalah orang yang pe­nyantun dan bertaqwa. Sa‘id bin Al-Musayyab berpendapat, maksudnya orang yang faqih dan alim. Sedangkan ‘Athiyyah menyebutkan, maksudnya pe­muka dalam akhlaqnya dan agamanya.

Mengenai firman Allah hashura, di­riwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, Ibnu Abbas, dan Mujahid, mereka mengatakan, mak­sudnya orang yang tidak dapat meng­gauli wanita. Sedangkan riwayat dari Abu Al-‘Aliyah dan Ar-Rabi‘ bin Anas menye­butkan bahwa yang dimaksud adalah tidak dapat memiliki anak.

Tetapi Al-Qadhi Iyadh mengatakan dalam tafsirnya Asy-Syifa’: Yang dimak­sud de­ngan kata hashura pada ayat itu adalah tidak seperti yang dikatakan oleh sebagi­an mereka (para mufassir) bahwa ia (Nabi Yahya) adalah seorang yang tidak berani atau tidak mampu menggauli wa­nita. Pendapat seperti itu ditolak oleh para mufassir yang cerdas dan para ula­ma yang kritis yang mengatakan bahwa penafsiran demikian merupakan suatu kekurangan dan aib serta tidak layak bagi para nabi. Jadi, yang dimaksud hashura ialah terpelihara dari dosa, yakni ia tidak melakukan dosa, seolah-olah terpagari darinya.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah mencegah dirinya dari nafsu. Pendapat lain menga­takan bahwa maksudnya adalah tidak memiliki nafsu terhadap wanita, meski­pun memiliki kemampuan untuk itu. Telah jelas bahwa ketidakmampuan untuk menggauli wanita merupakan kekurang­an. Sedangkan yang merupakan kelebih­an adalah memiliki kemampuan tersebut na­mun mencegahnya, baik dengan ke­sungguhan menahan diri seperti yang dilakukan Nabi Isa AS maupun karena penjagaan dari Allah seperti pada diri Nabi Yahya AS.
Jika kemampuan itu berada pada orang yang sanggup untuk melakukan­nya dan dapat melaksanakan kewajiban terhadap istrinya namun tidak melalai­kannya dari Tuhannya, itu derajat yang tertinggi. Itulah derajat Nabi kita, Muham­mad SAW. Banyaknya istri tidak mem­buat beliau lalai untuk melaku­kan ibadah kepada Tuhannya, bahkan semakin me­ningkatkan ibadah beliau, se­bab beliau dapat menjaga mereka, memenuhi ke­wajiban terhadap mereka, memberi naf­kah mereka, serta memberi­kan petunjuk kepada mereka. Bahkan be­liau mene­gaskan bahwa istri-istri be­liau itu bukan perolehan dunianya, meski­pun wanita merupakan perolehan dunia bagi orang lain. Beliau bersabda, “Allah membuat aku mencintai sebagian dunia kalian.”
Nabi Yahya dikatakan hashur bukan karena ia tidak dapat menggauli wanita, namun maksudnya adalah ia ma‘shum (dipelihara oleh Allah) dari melakukan per­buatan maksiat dan hal-hal kotor. Ke­ma‘shuman itu tidak menolak kemung­kin­an ia menikah dengan wanita secara halal dan memberikan keturunan kepada mereka. Bahkan hal ini dapat dipahami dari doa Nabi Zakaria yang terdahulu, “Berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.” Seolah-olah Zakaria ber­kata: seorang anak yang memiliki keturunan dan penerus.

Firman Allah Ta‘ala, yang artinya, “Seorang nabi dari keturunan orang-orang yang shalih”, merupakan berita gembira kedua, yakni ia akan menjadi seorang nabi, setelah berita gembira pertama mengenai kelahirannya. Berita gembira yang kedua ini lebih tinggi dari­pada yang pertama, sebagaimana firman Allah kepada ibunda Musa, yang artinya, “Karena sesungguhnya Kami akan me­ngembalikannya kepadamu dan men­jadikannya sebagai salah seorang rasul.” (Al-Qashash: 7).

Setelah Nabi Zakaria meyakini ke­benaran berita gembira ini, ia merasa takjub akan adanya anak padahal ia sudah tua. “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?” Lalu dikatakan, yang artinya, ”Berfirman Allah, ‘Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya’.” Maksudnya,  urusan Allah itu mahabesar sehingga tidak ada satu per­kara pun yang melemahkannya. Setelah itu dikata­kan, ”Berkata Zakaria, ‘Berilah aku suatu tanda (bahwa istriku telah mengandung).’ Allah berfirman, ‘Tanda­nya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat’.” Yakni, kamu tidak dapat ber­bicara padahal sehat walafiat.

Kemudian Allah menyuruhnya su­paya banyak berdzikir, bertakbir, dan ber­tasbih berkaitan dengan berita gembira ini. Maka Allah berfirman, yang artinya, ”Dan sebutlah (nama) Tuhanmu seba­nyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.”

Tafsir Surah Ali ‘Imran (38-41)

abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tafsir Surah Ali ‘Imran, Doa Nabi Zakaria "

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip