//

KAFA'AH SYARIFAH DASAR HUKUM DALAM PERKAWINAN oleh Idrus Alwi Almasyhur





DAFTAR ISI



A. SEPUTAR KAFA'AH DALAM PERNIKAHAN ..............................
1. Pengertian kafa’ah ............................................................................
2. Ayat alqur'an yang mengisyaratkan adanya kafaah .....................
3. Kafaah menurut hadits Nabi saw ....................................................
4. Kafaah menurut ulama madzhab ....................................................
5. Ayat alquran yang mengisyaratkan kafa'ah nasab ........................
6. Kafaah nasab menurut hadits Nabi saw .........................................
7. Kafaah nasab menurut ulama madzhab .........................................


B. KEWENANGAN WALI DALAM PERNIKAHAN ..........................
C. DALIL-DALIL YANG MENDASARI KAFA'AH SYARIFAH ......
D. HADITS TENTANG KEUTAMAAN BANGSA ARAB ..................
E. KISAH ZAID BIN HARITSAH & ZAINAB BINTI JAHSY.............
F. MENGAPA ADA PERNIKAHAN YANG TIDAK SEKUFU' ........
G. KAFA'AH NASAB: KESOMBONGAN JAHILIYAH? ....................
H. MENJAGA HAK KETURUNAN RASULULLAH SAW DALAM PERKAWINAN


DAFTAR PUSAKA ......................................................................................





A. SEPUTAR KAFA'AH DALAM PERNIKAHAN



1. Pengertian kafa’ah

Menurut bahasa kufu' berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Bentuk jama' dari kata kufu' adalah akfa', sebagaimana perkataan Imam Ali bin Abi Thalib:

الناس من جهة الآباء أكفاء ابوهم آدم والأم حواء

"Manusia dari pihak ayah adalah sama, bapak mereka Adam dan ibu mereka Hawa".



Makna dari syair diatas adalah sesungguhnya asal kejadian manusia dari Adam yang dijadikan dari tanah, dan darinya dijadikan siti Hawa'. Perkataan kufu' juga terdapat dalam firman Allah swt surat al-Ikhlas ayat 4, yang berbunyi:



ولم يكن لّه كفوا أحد

"Dan tidak ada satupun yang menyamai-Nya".



Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Hakim, Rasulullah saw bersabda:



المسلمون تتكافأ دماؤهم

"Kaum muslimin satu sama lain, darah mereka sepadan".



Abu Ubaid berkata: yang dimaksud sepadan dalam hadits tersebut adalah kesamaan dalam hal perberlakuan hukum diyat dan qishas, bukan persamaan kemuliaan berdasarkan keutamaan.

Menurut ulama Hanafiyah, kafaah adalah kesepadan yang khusus antara laki-laki dan perempuan. Menurut ulama Malikiah, kafaah adalah kesepadan dalam hal agama dan keadaan yaitu selamat dari aib yang mewajibkan perempuan untuk menggunakan hak pilihnya. Menurut ulama Safi’iyah, kafaah adalah suatu urusan yang mewajibkan untuk menolak adanya aib dan kehinaan, terutama kesepadan laki terhadap perempuan dalam kesempurnaan keadaan keduanya sehingga selamat dari aib. Menurut ulama Hanbaliah, kafaah adalah kesamaan dan kesepadan dalam lima perkara, yaitu agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan kekayaan.



2. Ayat alqur'an yang mengisyaratkan adanya kafaah

Dalam alquran surat al-Baqarah ayat 232, Allah swt berfirman:



وإذا طلّقتم النساء فبلغن أجلهنّ فلا تعضلوهنّ أ ن ينكحن أزواجهنّ. إذا ترا ضوا بينهم بالمعروف

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf" 



Maksud dari ayat tersebut adalah, wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan percaya kepada Rasul-Nya, jika kalian menjatuhkan talak kepada istri-istri kalian hingga habis iddahnya dan bekas suami mereka atau orang lain hendak mengawini mereka dan mereka juga menghendaki demikian, maka janganlah kalian (wali-wali mereka) mencegah mereka melakukan perkawinan jika keduanya sudah suka sama suka berdasarkan syariat dan adat, yaitu tidak ada di dalamnya sesuatu yang diharamkan atau yang tidak mengandung kebaikan dan dapat menodai mereka (kaum wanita) sehingga kaum kerabat mereka pun ikut ternoda karenanya.

Berkata Ibnu Jarir al-Thobari dalam tafsirnya:

Ayat ini merupakan dalil kuat yang menjelaskan kesahihan pendapat yang menyatakan tidak ada pernikahan tanpa wali dari pihak ayah. Sesungguhnya Allah swt telah menyebutkan dalam firman-Nya bahwa wali dapat mencegah dan melarang wanita yang ingin menikah tanpa walinya. Maka berhati-hatilah kepada wanita yang ingin menikahkan dirinya sendiri tanpa walinya. tetapi jika ia berkehendak mengambil wali dalam pernikahannya, maka walinya tidak boleh mencegah dan melarangnya.

Menurut Imam Syafii, inilah satu-satunya ayat yang menunjukkan kekuatan status wali. Hal ini diperkuat lagi oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Musa al-Asy'ari : “Tidak ada pernikahan tanpa wali”.

Berkata Ibnu Mundzir, tidak satupun didapati sahabat yang bertentangan dengan hadits tersebut. Diantara yang mendukung hadits tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khottob, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud, Abu Hurairah, Aisyah, Hasan Basri, Ibnu Musayyab, Ibnu Sabramah, Abi Laila, Keluarga Nabi saw, Ahmad, Ishaq, Syafii, dan jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa tidak sah akad nikah tanpa wali.

Dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan:

Bahwa dalam firman Allah swt tersebut, kata بينهم (diantara mereka) menunjukkan tidak ada halangan bagi seorang lelaki untuk melamar wanita (janda) tersebut langsung kepada dirinya dan bersepakat dengannya untuk melakukan perkawinan. Pada saat itu diharamkan pada walinya menahan dan menghalang-halanginya melakukan pernikahan dengan orang yang melamarnya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh firman-Nya dalam kata بالمعروف menunjukkan bahwa melarang atau mempersulit seorang janda melakukan perkawinan, hanya diperbolehkan jika ternyata lelaki yang melamarnya tidak sepadan (tidak sekufu') dengan janda tersebut. Misalnya, seorang wanita terhormat hendak kawin oleh lelaki berakhlaq rendah yang dapat merusak kehormatan wanita tersebut serta mencemarkan kerabat dan sanak familinya. Jika memang demikian, maka wajib bagi walinya mengalihkannya dari lelaki tersebut dengan nasehat dan petunjuk yang bijaksana.

Sebagian ahli fiqih ada yang memperbolehkan melarang wanita kawin jika ternyata mahar yang diserahkan oleh pelamar masih di bawah mahar yang sepadan (mitsil). Tetapi harus diingat, bahwa jika yang datang melamar adalah seorang lelaki yang baik perangainya serta berakhlaq mulia dan diharapkan dapat membina suatu rumah tangga yang baik, tetapi ia tidak bisa membayar mahar yang banyak atau sulit dilakukan olehnya, maka saat itu wajib bagi walinya menikahkannya dan tidak boleh mencegahnya.

Adapun yang menjadi ukuran kafa'ah (sepadan) adalah menurut adat istiadat yang berlaku pada masyarakat umumnya. Jadi bukan menurut ukuran golongan elite atau yang berpangkat dan berkedudukan tinggi. Apa yang dianggap oleh masyarakat umum tidak cocok dengan wanita dan status keluarganya, maka hal itu boleh dijadikan alasan bagi walinya untuk mencegah terjadinya perkawinan, sebab akibatnya akan membawa malapetaka yang lebih berat. Sebagaimana seorang wali pun tidak berhak memaksanya menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Sebab, hal ini sering membawa malapetaka dan kerusakan pada rumah tangga.

Berkata Abu al-Abbas dalam kitab fatawa-nya, setelah menyebutkan ayat tersebut dan sampai pada firman Allah swt yang berbunyi بالمعروف, menunjukkan bahwa sesungguhnya seorang wanita yang rela dinikahkan tidak dengan cara yang baik, yaitu jika para walinya menghalanginya untuk menikah dengan yang tidak sekufu'. Sebaliknya wanita yang menikah dengan cara yang baik yaitu pernikahan yang sekufu'.

Sayid Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar mengatakan, para ahli fiqih telah mengambil dalil dari ayat ini bahwa menghalangi pernikahan yang tidak sekufu bukanlah suatu yang haram, seperti menghalangi pernikahan seorang wanita yang mulia dalam suatu kaum dengan seorang lelaki hina yang akan membawa wanita tersebut ke dalam derajat yang rendah.



3. Kafaah menurut hadits Nabi saw

Menurut Imam Syafei, masalah kafa'ah pertama kali diistinbat berdasarkan hadits dari Bariroh. Bariroh dikawinkan dengan lelaki yang tidak sekufu' dengannya, beliau mengadu kepada Rasulullah saw dan beliau saw memberikan hak untuk memilih kepada Bariroh.

Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Imam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda :

ثلاث يا علي لا تؤخرهن الصلاة إذا آتت والجنازة إذا حضرت والأيم إذا وجدت كفؤا

"Wahai Ali ada tiga perkara jika tiba waktunya tidak boleh ditunda-tunda: shalat jika telah masuk waktunya, jenazah jika telah hadir untuk dishalatkan dan wanita jika telah datang jodoh yang sekufu' dengannya".



Hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan al-Daruquthni, dari Aisyah bersabda Rasulullah saw:



تخيروا لنطفكم وأنكحوا الاكفاء وانكحوا اليهم

"Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu' denganmu dan kawinilah mereka".



Hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Daruquthni, dari Jabir bin Abdillah Al-Anshori bersabda Rasulullah saw:



لا تنكحوا النساء الا الاكفاء ولايزوجهن الا الاولياء ...

"Janganlah engkau menikahkan wanita kecuali dengan yang sekufu' dan janganlah engkau mengawinkannya kecuali dengan izin walinya…".



Hadits yang diriwayatkan al-Hakim dan ia mensahihkannya, Rasulullah saw bersabda:

تخيروا لنطفكم ولا تضعوها في غير الأكفاء

"Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, janganlah engkau tumpahkan pada tempat yang tidak sekufu denganmu".



4. Kafaah menurut ulama madzhab.

Dalam kitab al-Fiqih ala al-Madzhahib al-Arba' karangan Abdurrahman al-Jaziry, disebutkan bahwa yang termasuk perkara kafaah adalah agama, keturunan, kekayaan, pekerjaan dan bebas dari cacat. Para fuqaha telah sepakat bahwa faktor agama termasuk dalam pengertian kafa'ah, kecuali pendapat dari Muhammad bin Hasan yang tidak memasukkan faktor agama dalam pengertian kafa'ah. Tidak diperselisihkan lagi di kalangan madzhab Maliki, bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamer atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila ia dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata talaq.

Fuqaha berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa'ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan dan bebas dari cacat (aib). Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, dan mengenai hal itu ia beralasan dengan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :



إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah swt ialah yang paling bertaqwa diantara kamu".



Akan tetapi dalam perkawinan hamba sahaya tersebut ulama Malikiah mempunyai dua pendapat,: Pertama:jika hamba sahaya berkulit putih kawin dengan wanita merdeka maka perkawinannya kufu'. Kedua: jika perkawinan antara hamba sahaya berkulit hitam dengan wanita merdeka maka perkawinannya tidak sekufu' dan itu merupakan aib.

Sufyan al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Silang pendapat ini disebabkan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi saw:



تنكح المرأة لأربع لمالها ولجمالها ولحسبها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك

"Wanita itu dinikahi karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung".



Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi saw :… maka carilah wanita yang taat kepada agama. Segolongan yang lain berpendapat bahwa faktor nasab (keturunan) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan. Dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa'ah kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma', yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa'ah. Semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap bebas dari cacat termasuk dalam lingkup kafa'ah. Berdasarkan pendapat ini ada yang memasukkan kecantikan sebagai lingkup kafa'ah.

Di kalangan madzhab Maliki, tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya, begitu pula faktor kemerdekaan (bukan budak).

Mengenai mahar mitsil (yakni mahar yang semisal ukurannya), maka Imam Malik dan Imam Syafii berpendapat bahwa hal tersebut tidak digolongkan sebagai kafa'ah. Oleh karenanya seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsil. Sedangkan Imam Hanafi memasukkan mahar mitsil sebagai kafa'ah.



5. Ayat alquran yang mengisyaratkan kafa'ah nasab

Dalam alquran surat al-Hujurat ayat 13, Allah swt berfirman:



إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم

"…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu".



Ayat ini menunjukkan adanya kafaah dalam segi agama dan akhlaq. Allah swt menjadikan orang-orang yang bertaqwa lebih utama dari orang-orang yang tidak bertaqwa, dan menafikan adanya kesetaraan di antara keduanya dalam hal keutamaan. Hal ini menunjukkan adanya dua hal pertama, adanya ketidaksetaraan dan kedua, terdapat perbedaan kemuliaan dalam hal taqwa. Diantara dalil lain yang mendukung kedua hal tersebut adalah surat al-Zumar ayat 9, yang berbunyi:



قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون

"Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui".



Dan surat al-Nur ayat 26, yang berbunyi:



الخبيثا ت للخبيثين والخبيثون للخبيثا ت والطيبا ت للطيبين والطيبون للطيبا ت

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula".



Berkaitan dengan hadits Rasulullah saw, yang berbunyi:



إذا جأكم من ترضون دينه و خلقه ...

"Jika telah datang seorang yang engkau ridho akan agama dan akhlaqnya…



Berkata al-Syaukani dalam kitabnya Nail al-Author bahwa hadits tersebut adalah dalil kafaah dari segi agama dan akhlaq, dan ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Malik. Telah dinukil dari Umar, Ibnu Mas'ud dari Tabiin yang meriwayatkan dari Muhammad ibnu Sirrin dan Umar bin Abdul Aziz menunjukkan bahwa ayat alquran yang menyatakan orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang-orang yang paling taqwa di antara kamu adalah dalil kafaah dalam masalah nasab, begitulah seperti yang disepakati jumhur.


Dalam alquran surat al-Furqan ayat 54, Allah swt berfirman:



وهو الذي خلق من الماء بشرا فجعله نسبا و صهرا وكان ربك قديرا

"Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah, dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa".



Ayat ini merupakan dalil adanya kafaah dalam hal nasab, hal ini dijelaskan oleh al-Bukhari yang menyebutkan ayat tersebut sebagai dalil dalam bab kafaah. Imam al-Qasthalani dalam kitabnya Syarah al-Bukhari menulis, yang dimaksud pengarang (al-Bukhari) dengan hubungan kalimat ini mengisyaratkan bahwa sesungguhnya nasab dan hubungan musharah berkaitan dengan masalah hukum kafaah'.



6. Kafaah nasab menurut hadits Nabi saw

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:



تنكح المرأة لأربع لمالها ولجمالها ولحسبها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك

"Wanita itu dinikahi karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung".



Berkata Ibnu Hajar, yang dimaksud dengan asal-usul keturunan (hasab) adalah kemuliaan leluhur dan kerabat. Al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir Syarah Mukhtashor al-Muzani mengatakan, bahwa syarat yang kedua (dari syarat-syarat kafaah) adalah nasab, berdasarkan hadits Nabi saw: “Wanita itu dinikahi karena hartanyanya, asal-usul keturunannya…”. Yang dimaksud dengan asal-usul keturunannya adalah kemuliaan nasabnya.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Watsilah bin al-Asqa', Rasulullah saw bersabda:



إنّ الله اصطفى بني كنانة من بني إسماعيل واصطفى من بني كنانة قريشا واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم

"Sesungguhnya Allah swt telah memilih bani Kinanah dari bani Ismail, dan memilih dari bani Kinanah Quraisy, dan memilih dari Quraisy bani Hasyim, dan memilih aku dari bani Hasyim".



Hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan Bani Hasyim. Allah swt telah memuliakan mereka dengan memilih rasul-Nya dari kalangan mereka. Hal ini menunjukkan kemuliaan yang Allah swt berikan kepada ahlul bait Nabi saw. Imam al-Baihaqi menggunakan hadits ini sebagai dasar adanya kafaah dalam hal nasab.



7. Kafaah nasab menurut ulama madzhab

Semua Imam madzhab dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah sepakat akan adanya kafa'ah walaupun mereka berbeda pandangan dalam menerapkannya. Salah satu yang menjadi perbedaan tersebut adalah dalam masalah keturunan (nasab).

Dalam hal keturunan orang Arab adalah kufu' antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya orang Quraisy dengan Quraisy lainnya. Karena itu laki-laki yang bukan Arab (Ajam) tidak sekufu' dengan wanita-wanita Arab. Laki-laki Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy tidak sekufu' dengan wanita Quraisy. Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda:



العرب بعضهم اكفاء لبعض قبيلة بقبيلة ورجل برجل ...

"Orang-orang Arab sekufu' satu dengan yang lainnya. Kabilah dengan kabilah lainnya, kelompok yang satu sekufu' dengan kelompok yang lainnya, laki-laki yang satu sekufu' dengan yang lainnya…"



Hadits riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda:



العرب للعرب اكفاء ...

"Orang-orang Arab satu dengan yang lainnya adalah sekufu'…"



Menurut Imam Hanafi: Laki-laki Quraisy sepadan (kufu') dengan wanita Bani Hasyim. Menurut Imam Syafi'i: Laki-laki Quraisy tidak sepadan (tidak sekufu') dengan wanita Bani Hasyim dan wanita Bani Muthalib. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:



إنّ الله اصطفى بني كنانة من بني إسماعيل واصطفى من بني كنانة قريشا واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم

"Bahwasanya Allah swt memilih Kinanah dari anak-anak Ismail dan memilih Quraisy dari Kinanah dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilih aku dari Bani Hasyim…"



Akan tetapi kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa kafa'ah merupakan hak bagi perempuan dan walinya. Seorang wali tidak boleh mengawinkan perempuan dengan lelaki yang tidak kufu' dengannya kecuali dengan ridhanya dan ridha segenap walinya. Jika para wali dan perempuannya ridha maka ia boleh dikawinkan, sebab para wali berhak menghalangi kawinnya perempuan dengan laki-laki yang tidak sepadan (tidak kufu').

Imam Syafi'i berkata: Jika perempuan yang dikawinkan dengan lelaki yang tak sepadan (tidak sekufu') tanpa ridhanya dan ridha para walinya, maka perkawinannya batal.

Imam Hanafi berkata : Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat (tidak sekufu') tanpa persetujuan walinya, maka perkawinan tersebut tidak sah dan wali berhak untuk menghalangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat tersebut atau hakim dapat memfasakhnya, karena yang demikian itu akan menimbulkan aib bagi keluarga.

Imam Ahmad berkata: Perempuan itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu'), maka ia berhak membatalkan. Riwayat lain dari Ahmad, menyatakan : bahwa perempuan adalah hak Allah, sekiranya seluruh wali dan perempuannya sendiri ridha menerima laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu'), maka keridhaan mereka tidaklah sah.



B. KEWENANGAN WALI DALAM PERNIKAHAN



Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang waras dan dewasa dapat melaksanakan semua aqad kecuali aqad nikah, dan juga dapat mewakilkannya kepada siapa yang dikehendakinya tanpa ada hak sanggah bagi siapapun terhadapnya. Mereka sepakat pula bahwa aqad nikah wanita merdeka yang baligh dan berakal, apabila dilaksanakan oleh walinya menurut hukum syara' dengan persetujuan wanita yang bersangkutan, adalah sah dan langsung tanpa tergantung pada sesuatu yang lain.

Adapun apabila wanita sendiri yang melaksanakannya atau mewakilkan kepada orang lain yang melaksanakannya, maka para ulama berbeda pendapat tentang sahnya. Abu Hanifah, Abu Yusuf menurut lahir riwayat dan Zufar berpendapat bahwa nikah itu sah, hanya wali mempunyai hak sanggah, selama belum melahirkan atau belum hamil yang nyata, apabila perkawinan itu dilangsungkan dengan tidak sekufu'.

Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf pendapat bahwa nikah itu hanya sah kalau dengan yang sekufu' saja dan batal kalau bukan dengan yang sekufu'. Sedangkan Daud dan orang-orang yang sefaham dengan dia mengambil dalil dengan hadits:



الثيب احق بنفسها من وليها

"Wanita tsayyib (janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada walinya".



Mengenai perbedaan hukum antara wanita perawan dan wanita janda, terdapat hadits:



ليس للولي مع الثيب امر

"Tidak ada urusan wali mengenai wanita janda".



Mereka mengatakan: Kedua hadits ini adalah tegas mengenai seluruh urusan wanita janda terserah kepadanya sendiri, dan di antaranya ialah aqad nikah. Dan kedua hadits itu juga jelas menunjukkan perintah minta izin wanita perawan. Maka dengan demikian, si perawan tidak ada haknya kecuali memberi izin mengenai nikahnya, dan hal itu menunjukkan bahwa yang menguasai nikah adalah orang lain dari pada dia, yaitu walinya yang meminta izin kepadanya.

Abu Tsaur mengambil dalil dengan hadits Asiyah Ayyuma imra-atin dan selanjutnya mengenai syarat hanyalah izin wali saja. Hadits itu menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh wanita sendiri hanya batal apabila walinya tidak mengizinkan. Apabila ia mengawinkan dirinya dengan seizin walinya, maka nikah itu sah. Muhammad berpegang pada hadits ini juga mengenai pendapatnya bahwa sahnya aqad itu tergantung pada izin wali. As-Sya'bi dan Az-Zuhry mengambil dalil tentang aqad itu sah kalau sekufu dan tidak sah kalau tidak sekufu.

Malik, Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan kebanyakan para ulama berpendapat bahwa nikah tidak sah dengan dilaksanakan oleh wanita sendiri atau wakilnya. Jumhur ulama kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa salah satu syarat sahnya pernikahan adalah wali. Adapun alasan tersebut berdasarkan pada ayat 32 Surat An-Nuur:



وأنكحوا الأيامى منكم

"Nikahkanlah orang-orang yang tidak bersuami/tidak beristeri dari padamu".



Ayat tersebut ditujukan kepada wali di mana mereka diminta supaya menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau orang-orang yang belum beristri. Ini menunjukkan bahwa urusan pernikahan adalah urusan wali. Kalau tidak demikian halnya, tentulah khitab ayat tersebut tidak ditujukan kepada mereka (para wali).

Hal ini diperkuat oleh hadits yang datang mengenai sebab turun ayat itu. Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab sahihnya, juga Abu Daud, dan Turmudzy telah mensahihkannya, dari Ma'qal bin Yassar bahwa ayat itu turun mengenai dia. Ia berkata: Aku telah mengawinkan saudara perempuan, kemudian suaminya menceraikannya. Sesudah habis iddahnya bekas suaminya datang meminangnya lagi, maka aku katakan kepadanya: Aku telah mengawinkanmu, telah kuberi tempat kepadamu dan telah aku muliakanmu, tetapi kamu menceraikannya, kemudian kamu datang meminangnya lagi. Tidak, demi Allah, ia tidak boleh kembali kepadamu selama-lamanya. Bekas suami itu adalah seorang laki-laki dimana bekas istrinya ingin kembali kepadanya. Allah mengetahui hajat laki-laki itu kepada bekas isterinya dan hajat perempuan itu kepada bekas suaminya, maka Allah swt menurunkan ayat: وإذا طلّقتم النساء dan seterusnya. Maka aku berkata: Sekarang saya kerjakan Ya Rasulullah. Ia berkata bahwa: ia mengawinkannya kepada bekas suaminya.

Mereka mengatakan: Kalaulah wanita dapat mengawinkan dirinya, tentulah saudara perempuan Ma'qal telah melakukannya, karena ia suka kepada bekas suaminya. Dan berdasarkan ini, maka jauhlah pendapat yang mengatakan bahwa khitab dalam ayat itu ditujukan kepada suami.



Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Turmuzy dan Ibnu Majah:



لا نكاح إلا بولي

"Tidak ada pernikahan melainkan dengan wali".



Dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruqutny dan Baihaqy dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw:



لا تزوّج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها فإن الزّانية هي التى تزوج

"Wanita tidak dapat mengawinkan wanita dan ia tidak dapat mengawinkan dirinya, maka sesungguhnya wanita penzinalah yang mengawinkan dirinya".



Adapun dalil secara logika ialah bahwa nikah mempunyai maksud yang bermacam-macam, sedang nikah itu adalah ikatan antara keluarga. Wanita dengan kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih lagi karena wanita itu tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kemaslahatan. Maka untuk menghasilkan tujuan-tujuan ini dengan cara yang lebih sempurna, maka dilaranglah wanita mencampuri langsung aqad nikah.

Menurut riwayat yang masyhur Imam Malik berpendapat serupa dengan Imam Syafii, tetapi yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Qasim dari beliau, bahwa mengenai wanita yang tidak mempunyai kedudukan (wanita biasa) dapat menikahkan dirinya sendiri dan aqad nikah wanita yang mempunyai kedudukan (wanita bangsawan) yang dilakukan oleh seorang muslim yang tidak berfungsi sebagai wakil wali, sahnya akad nikah tersebut tergantung kepada restu wali atau qadhi.

Mengenai janda yang sah mengucapkan sighat ijab aqad nikahnya bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Thabari. Thabari berkata: Tentang riwayat Hafsah, ketika ia dalam status janda diaqadkan oleh Umar dan bukan yang berkepentingan mengaqadkan dirinya sendiri. Peristiwa ini membatalkan pendapat yang menyatakan bahwa wanita yang sudah dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri dapat mengawinkan dan mengaqadkan dirinya sendiri tanpa wali. Andaikata memang demikian, tentu Rasulullah saw meminang Hafsah secara pribadi (langsung) saja karena ia lebih berhak atas dirinya daripada ayahnya dan beliau tidak usah melamar lewat orang lain yang tak berhak mengurus persoalannya serta mengaqadkan nikahnya.

Di dalam kitab Usdu al-Ghabah diterangkan berita dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib, katanya: Pada waktu Umu Kulsum telah menjadi janda sepeninggalan Umar bin Khattab, Imam Ali berkata kepada Umu Kulsum: Anakku, sebenarnya Allah swt sudah menetapkan bahwa engkau sekarang ini berhak memilih jodohmu, namun saya ingin sekali kalau engkau menyerahkan pilihan itu kepadaku. Umu Kulsum menjawab: Ayah! Saya ini hanyalah wanita biasa, yang tentunya menginginkan apa yang biasa diinginkan oleh kaum wanita. Saya ingin memilih sendiri siapa yang akan menjadi jodoh saya. Imam Ali ra menjawab: Tidak! Demi Allah, wahai anakku, sungguh ini bukan buah pikiranmu sendiri!. Hasan dan Husein berkata: Dik Umu Kulsum! Serahkanlah urusan jodohmu itu kepada Ayah kita. Umu Kulsum menjawab: Ya ayah! Saya mengikuti apa yang ayah katakan tadi. Kemudian Imam Ali berkata: Ya, baiklah! Sekarang aku menikahkan engkau dengan ‘Aun bin Ja'far bin Abi Thalib.



C. DALIL-DALIL YANG MENDASARI KAFA'AHSYARIFAH



Pada dasarnya ayat-ayat Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa'ah dalam perkawinan syarifah. Begitu pula dengan ayat yang terdapat dalam alquran surat al-An'am ayat 87, berbunyi:

ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم ...

"(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka…"



Ayat di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan nabi Muhammad saw), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw yang ditulis dalam kitab Yanabbi' al-Mawwadah:



نحن اهل البيت لا يقاس بنا

"Kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun".



Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balaghoh berkata, 'Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Muhammad saw'. Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu') dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.



Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab:



ان الله خلق الخلق فجعلني في خيرهم من خيرهم قرنا ثم تخير القبائل فجعلني من خير قبيلة ثم تخير البيوت فجعلني من خيربيوتهم فأنا خيرهم نفسا و خيرهم بيتا

"Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik pada waktu yang terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah".



Baihaqi, Abu Nu'aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril as pernah berkata:

قال لى جبريل : قلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد رجلا افضل من محمد وقلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد بنى أب أفضل من بني هلشم

"Jibril berkata kepadaku: Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim".



Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing. Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi:



إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل البيت ويطهّركم تطهيرا



"Sesungguhnya Allah swt bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".



Di samping itu Rasulullah saw telah menegaskan dalam sabdanya:



ياأيهاالناس إن الفضل والشرف والمنزلة والولاية لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل

"Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada Rasulullah Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan".



Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.

Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa'ah di kalangan keturunan Rasullulah.

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai kafa'ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang menceritakan tentang adanya kafa'ah di kalangan wanita Arab. Telah diceritakan dalam kitab Syarah al-Wasith bahwa Umar bin Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi, kemudian berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman: Saya lebih setara (sekufu') dari pada engkau. Maka Salman berkata: Bergembiralah engkau. Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu' Salman berkata: Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya.

Ketika Salman al-Farisi hendak sholat bersama Jarir, salah satu sahabatnya yang berasal dari bangsa Arab, Salman dipersilahkan menjadi imam sholat, kemudian Salman al-Farisi berkata: 'Tidak! engkaulah yang harus menjadi imam. Wahai bangsa Arab, sesungguhnya kami tidak boleh mengimami kamu dalam sholat dan tidak boleh menikahi wanita-wanita kamu. Sesungguhnya Allah swt telah memelihara kamu atas kami disebabkan kemuliaan Muhammad saw yang telah diciptakan dari kalangan kamu'. Dalam riwayat lain dari Salman al-Farisi:



نهانا رسول الله أن نتقدم أمامكم أو ننكح نساءكم

"Sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu."



Dari hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa'ah nasab dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang berasal dari Persi (Ajam) ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab. Jika dalam pernikahan wanita Arab dengan lelaki non Arab saja telah ada kafa'ah, apalagi halnya dengan kafa'ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan keutamaan yang didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan Rasulullah saw.

Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa'ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt . Dalam kitab Makarim al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi:



إنما انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال بناتنا لبنينا وبنونا لبناتنا

"Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja'far, dan beliau berkata : Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami".



Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa: Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa'ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.

Di zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi 'Naqib al-Alawiyin' yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu'. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu' antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.

Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:



النجوم أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان لأهل العرض

"Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi (dari perselisihan)".



Tidaklah alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan dalam memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis:

Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah orang-orang suci

Mereka pemberi keamanan di muka bumi

Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya

Demikianlah sunnatullah yang telah ditentukan

Mereka ibarat bahtera penyelamat

dari segala topan (bahaya) yang menyusahkan

Maka menyelamatkan dirilah kepadanya

Dan berpegang teguhlah kepada Allah swt

serta memohon pertolongan-Nya

Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berguna atas berkah mereka

Tunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan kehormatan mereka

Cabutlah nyawa kami di atas jalan mereka

Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.




Kepada siapapun yang mempunyai pikiran bahwa ulama Alawiyin yang melaksanakan pernikahan antara syarifah dengan sayid berdasarkan adat semata-mata, dianjurkan untuk beristighfar dan mengkaji kembali mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, akibatnya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.



Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi'i:



فإنهم عترتي, خلقوا من طينتي ورزقوا فهمي و علمي, فويل للمكذّبين بفضلهم من أمتي القاطعين منهم صلتي لا أنزلهم الله شفاعتي

"…maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa'atku." 



Adapun makna yang terkandung dalam hadits ini adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa'atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.

Dalam berbagai buku sejarah telah tertulis bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. Al-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah, oleh Rasulullah dijawab: 'Allah belum menurunkan takdir-Nya'. Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra. Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya. Mereka mendengar Rasulullah bersabda:



كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة إلا نسبي و صهري

"Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku"



Al-Baihaqi, Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau berkata:

“Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata: 'Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiyamat kecuali sababku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.” Selanjutnya Umar ra berkata lebih lanjut: “Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan Rasulullah saw)”.

Sebuah hal yang ironis, orang lain saja (khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar) ingin menjadi menantu nabi karena ingin mendapatkan keutamaan dan kemuliaan melalui perkawinan dengan keturunan Rasulullah saw , sebaliknya ada sebagian keturunan Rasulullah yang dengan sengaja melepas dan menghilangkan keutamaan dan kemuliaan itu pada diri dan keluarganya khususnya kepada keturunannya hanya karena mereka mengikuti nafsu untuk bebas memilih dan menikahkan anak perempuannya dengan seorang lelaki yang tidak sekufu' (bukan sayyid).

Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni'mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa'ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid.

Sebelum pernikahan kedua manusia suci itu, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah dengan alasan Allah swt belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar Siti Fathimah, akan tetapi lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata: “Selamat wahai Ali, karena Allah telah menikahkanmu dengan putriku Fathimah”.

Secara selintas memang peristiwa tersebut merupakan pernikahan biasa yang dialami nabi sebagai seorang ayah, dan sebagai utusan Allah yang senantiasa menerima wahyu dari Tuhannya. Akan tetapi dibalik peristiwa itu, terkandung nilai-nilai yang disampaikan Allah kepada nabinya yaitu berupa hukum kafa'ah dalam perkawinan keluarga Rasulullah, dimana Allah mensyariatkan pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah yang keduanya mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah dan mempunyai keutamaan ganda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar . Mereka adalah ahlul bait, dimana Allah telah menghilangkan dari segala macam kotoran dan membersihkan mereka dengan sesuci-sucinya.

Generasi Nabi saw lahir dari putrinya Fathimah ra. Beliau sangat mencintai mereka, al-Hasan dan al-Husein disebut sebagai anaknya sendiri, bahkan kepada menantunya, suami dari Fathimah ra, Rasulullah saw mengatakan:

“Seandainya Ali bin Abi Thalib tidak lahir ke bumi maka Fathimah tidak akan mendapatkan suami yang sepadan (sekufu'), demikian pula halnya dengan Ali, bila Fathimah tidak dilahirkan maka Ali bin Abi Thalib tidak pula akan menemukan istri yang sepadan (sekufu'), mereka dan anak-anaknya diriku dan diriku adalah diri mereka”.

Abu Abdillah Ja'far al-Shaddiq, mengatakan, “Seandainya Allah tidak menjadikan Amirul Mukminin (Imam Ali) maka tidak ada yang sepadan (sekufu') bagi Fathimah di muka bumi, sejak Adam dan seterusnya”.

Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa'ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan:



لأمنعن فزوج ذوات الأحساب إلا من الأكفاء

"Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya".



Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

“Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu', maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu', maka keridhaan mereka tidak sah”.

Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah? Ibnu Taimiyah menjawab:

“Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad -dalam salah satu riwayat darinya- kafaah adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kufu, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah “hak Allah” dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah”.

Dalam kitabnya Bughya al-Mustarsyidin, sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur, berkata:

“Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi saw dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah al-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut”. 

Selanjutnya beliau berkata:

“Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu bantah akan rugi dan menyesal”.

Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi):

“Dalam perkara kafa'ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu' apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara' yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid”.

Selanjutnya beliau berkata:

“Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw”.



Mufti Makkah al-Mukarromah, sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu'in:

“Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu') dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa'ah dan lainnya.”



Pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama keturunan Rasulullah saw tersebut merupakan dalil hukum syariat yang dapat dijadikan pedoman dalam pernikahan seorang syarifah. Mengapa demikian? Dikarenakan mereka adalah hujjah-hujjah Ilahi yang berusaha menjaga umat ini dan memelihara kelurusan terhadap penyimpangan dari aspek-aspek ibadah dan lain-lain. Oleh karena itu, umat ini seyogyanya berpegang teguh kepada mereka serta tidak mendahului dan tidak mengabaikan mereka. Orang yang bersandar dan mengikuti mereka tidak akan tersesat, sebagaimana tidak akan tersesat orang yang bersandar pada alquran, hal tersebut adalah jaminan Rasulullah kepada ummatnya, sebagaimana sabda beliau saw yang dinamakan dengan hadits al-Tsaqalain:

“Kepada kalian kutinggalkan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat: Kitab Allah sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baitku. Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (sorga). Perhatikanlah kedua hal itu dalam kalian meneruskan kepemimpinanku”.

Mengenai ucapan Rasulullah saw, “Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh” dan ucapan beliau, “jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat”, yang dimaksud adalah para ulama yang berasal dari keturunan ahlul bait, tidak berlaku bagi orang-orang selain mereka. Mereka mempunyai keistimewaan sebagai teladan dan berada pada martabat lebih tinggi daripada yang tidak mempunyai keistimewaan sebagai teladan. Kita wajib berteladan kepada ulama dari kalangan mereka, dengan menimba dan menghayati ilmu-ilmu mereka yang telah dijamin oleh Allah swt.

Rasulullah saw dengan ucapannya menunjuk anggota-anggota keluarga keturunan beliau, dikarenakan mereka mempunyai keistimewaan dapat memahami apa yang diperlukan (hikmah-hikmah yang terkandung dalam suatu perkara, yang tidak dapat dipahami oleh ulama selain mereka). Sebab kebaikan unsur penciptaan yang ada pada mereka dapat melahirkan kebaikan akhlaq, dan kebaikan akhlaq akan menciptakan kebersihan dan kesucian hati. Manakala hati telah bersih dan suci ia akan memberikan cahaya terang dan dengan cahaya itu dada akan menjadi lebih cerah. Semuanya itu merupakan kekuatan bagi mereka dalam usahanya memahami apa yang harus dilakukan menurut perintah syariat. Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul al-Aqidah al-Wasithiyah memberi tanggapan terhadap hadits tsaqalain sebagai berikut:

“Dua kalimat hadis tsaqalain yang menyatakan “dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh”, dan “jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat”, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulullah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau, baik yang awam maupun yang khawas, yang menjadi Imam maupun yang tidak”.

Perkataan Ibnu Taimiyah semakin menjelaskan bahwa masalah kafa'ah yang dilaksanakan oleh para keturunan Rasulullah, baik ia seorang ulama ataupun ia seorang awam, di mana status mereka sebagai padanan alquran, bukanlah suatu yang bertentangan dengan ajaran Islam atau berdasar kepada adat semata-mata.

Disamping itu, hal itu dilakukan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam alquran, diantaranya surat Surat Muhammad ayat 22-23 yang berbunyi:

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?. Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka".



Sebagai pelengkap uraian di atas, seorang hakim pengadilan Mesir memfasakhkan pernikahan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid seperti yang terdapat dalam Fatawa al-Manar, Juz VII, hal 447 ditulis:

“Sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus peradilan di Mesir pada sekitar tahun 1904, mengenai perkawinan Syekh Ali Yusuf, pemimpin majalah al-Mu'ayyad dengan sayidah Shofiyah binti sayid Abdul Khaliq al-Saadat. Hakim syar'i menetapkan batalnya akad berdasarkan tidak adanya kafa'ah. Karena si perempuan dari golongan Alawiyah sedang syekh Ali Yusuf bukan orang Alawi”.

Sungguh patut disesalkan jika seseorang dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu' serta seorang syarifah yang kawin lari dengan laki-laki yang bukan sayid dikarenakan orang tua mereka tidak menyetujui pernikahan tersebut. Tindakan tersebut merupakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah SAW dan menyakitinya apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri dari keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa'ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau. Sehubungan dengan itu, Allah swt berfirman dalam Alquran:

"Tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah saw dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah swt".

Dari ayat tersebut kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan, bahwa apabila isteri-isteri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, di mana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan, apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab, darah dan kefamilian.

Jika kita membaca sejarah, ketika anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke Madinah, beberapa orang dari kaum muslimin berpendapat bahwa hijrah mereka ke Madinah tidak ada gunanya sama sekali, karena orang tua mereka adalah umpan api neraka. Ketika anak perempuan Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau bersabda:

"Kenapa masih ada orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku? Barang siapa mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa menggangguku berarti ia mengganggu Allah SWT".



Begitu pula sabda Rasulullah saw:

"Amat keras murka Allah swt atas orang-orang yang menyakiti aku di dalam hal keturunanku".



D. HADITS TENTANG KEUTAMAAN BANGSA ARAB



Rasulullah saw dalam pidatonya berkata:

“Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan ayahmupun satu (Adam). Orang Arab tidak lebih utama dari orang Ajam (non-Arab), dan orang Ajam tidak lebih utama dari orang Arab. Tidaklah lebih mulia orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, dan tidak lebih mulia orang yang berkulit merah atas orang yang berkulit hitam, kecuali karena taqwa”.

Hadits tersebut sekilas menepis adanya perbedaan dan kelebihan suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Semua orang memang tidak ada perbedaannya jika dilihat dari sisi taqwa, baik orang tersebut Arab atau Ajam, orang kulit putih atau kulit hitam, kaya atau miskin, orang yang merdeka atau budak, semuanya sama tidak ada perbedaan status, hanya orang yang bertaqwa yang paling mulia di sisi Allah swt. Para ahli hadits telah meneliti mengenai hadits tersebut, Imam Atturmuzi berkata : Hadits tersebut ghorib, tidak dikenal. Yahya bin Mu'in dan ahli hadits lainnya melemahkan hadits ini. Abu Hatim berkata bahwa hadits tersebut adalah hadits munkar, dan An-Nasai berpendapat hadits itu matruk. Sebaliknya jika kita membaca dan mengkaji hadits-hadits Rasulullah saw di bawah ini:

* “Wahai Ali aku wasiatkan Arab kepadamu, jagalah dengan sebaik-baiknya”.

* “Cinta kepada Arab merupakan tanda keimanan dan membencinya merupakan tanda kekufuran. Siapa yang mencintai Arab berarti telah mencintai aku, dan barangsiapa yang membenci Arab berarti telah membenciku”.

* “Cintailah oleh kamu akan Arab karena tiga hal (dalam riwayat lain, Jagalah hak-hak ku melalui Arab karena tiga hal) : pertama, karena aku orang Arab, kedua Alquran berbahasa Arab dan ketiga pembicaraan ahli surga dengan bahasa Arab”.

* “Cintailah bangsa Arab dan jagalah kelestarian. Sesungguhnya kelestarian bangsa Arab adalah cahaya dalam Islam”.

* “Kelemahan bangsa Arab, adalah kelemahan Islam”.

* “'Tidaklah yang membenci Arab itu kecuali orang munafik”.

* “Wahai Salman, janganlah membenciku, nanti engkau akan berpisah dengan agamamu. Saya (Salman) berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana saya membenci engkau yang telah memberiku hidayah Allah swt. Berkata Rasulullah saw: Jika engkau membenci Arab maka engkau membenciku”.

* “Barangsiapa mencaci maki Arab, dia termasuk orang-orang musyrik”.

* “Pertama -tama orang yang mendapat syafaat dari umatku adalah Ahlu-al-baitku, kemudian yang paling dekat dari keluargaku, orang yang paling dekat dari kaum Quraisy kemudian kaum Anshor, kemudian orang yang beriman kepadaku dan mengikutiku dari orang-orang Yaman, kemudian seluruh bangsa Arab, kemudian seluruh bangsa Ajam”.



Dari hadits-hadits diatas terlihat jelas kelebihan bangsa Arab atas bangsa non Arab (Ajam). Kita tidak dapat menyangkal, bahwa Arab merupakan bangsa yang mulia. Dari nash di atas sangat terang berderang bahwa Arab merupakan bangsa yang dikarunia oleh Allah suatu kedudukan yang tinggi dan memegang peranan dalam kejayaan dan kelemahan Islam. Hadits-hadits rasul tersebut merupakan salah satu sebab yang menjadikan dasar mengapa para Imam madzhab Ahlus-Sunnah mensyaratkan adanya kafaah antara Arab dan Ajam.

Diriwayatkan dari Ibnu Jarir dari Imam Zainal Abidin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, telah bersabda Rasulullah saw:

“…Arab adalah barang tambang yang mempunyai keutamaan dibandingkan dengan Ajam,…"

Selain hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ali Zainal Abidin, terdapat pula hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ja'far al-Shadiq dari ayahnya Imam Muhammad al-Baqir berkata, berkata Rasulullah saw:

'Telah datang kepadaku Jibril as dan berkata: Ya Muhammad, sesungguhnya Allah swt telah mengutusku ke dunia, maka aku bentangkan sayapku dari mulai bumi bagian timur sampai bumi bagian barat, dari mulai tanah yang datar sampai kepada gunung-gunung, maka tidak aku temukan manusia yang lebih baik dari bangsa Arab, kemudian aku diperintahkan maka aku bentangkan sayapku pada bangsa Arab, maka tidak aku temukan manusia yang lebih baik dari Mudhar, kemudian aku diperintahkan maka aku bentangkan sayapku pada Mudhar, maka tidak aku temukan manusia yang lebih baik dari Kinanah, kemudian aku diperintahkan maka aku bentangkan sayapku pada Kinanah, maka tidak aku temukan manusia yang lebih baik dari Quraisy, kemudian aku diperintahkan maka aku bentangkan sayapku pada Quraisy, maka tidak aku temukan manusia yang lebih baik dari Bani Hasyim, kemudian aku diperintahkan untuk memilih yang paling baik di antara diri-diri mereka, maka tidak aku temukan seorang yang paling baik dari diri engkau”

.

Dari hadits-hadits shahih tersebut, menunjukkan bahwa silsilah nabi merupakan silsilah yang mempunyai keutamaan di antara silsilah manusia lainnya. Hal tersebut membawa implikasi bahwa tidak ada seorang pun yang sederajat di antara manusia dalam hal pernikahan dengan keluarganya. Pendapat di atas sesuai dengan perkataan Imam al-Sayuthi dalam kitabnya yang berjudul al-Khosois, bahwa: “Daripada kekhususan Rasulullah saw: bahwasanya tidak ada satupun manusia yang pantas (sekufu') untuk menikah dengan keluarga Rasulullah saw'\”.

Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya al-Iqtidha halaman 71, berkata: Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa bangsa Arab lebih utama dari bangsa Ajam (Ibrani, Suryani, Romawi, Persia dan lainnya), dan bahwa suku Quraisy adalah suku Arab yang paling utama, Bani Hasyim paling utama di suku Quraisy, dan Rasulullah saw adalah Bani Hasyim yang paling utama, maka beliau adalah makhluq yang paling utama pribadi dan nasabnya.

Menurut Ibnu Taimiyyah : Allah telah memberi kekhususan kepada orang-orang Arab dan dalam bahasa mereka Allah swt menurunkan hukum-hukum Nya. Dengan demikian mereka itu menjadi berbeda dari orang-orang lain. Kemudian Allah mengkhususkan orang-orang Quraisy dan menjadikan mereka sebagai para penerus kepemimpinan Rasulullah saw. Allah mengkhususkan orang-orang keturunan Bani Hasyim haram menerima shadaqah atau zakat, tetapi memberi hak kepada mereka untuk menerima bagian dari seperlima ghanimah. Selain itu Allah swt memberikan derajat keutamaan kepada mereka sesuai dengan silsilah keturunan. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ketika Raja Yazdajrid seorang raja dari Dinasti Sasania Persia ditaklukan oleh bangsa Arab, Tiga putri dari raja tersebut tertawan oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Khalifah Umar bin Khattab. Beliau menyarankan agar ketiga putri tersebut diperlakukan sebagai budak yang biasa diperjualbelikan, akan tetapi Imam Ali bin Abi Thalib melarangnya. Mengingat statusnya sebagai putri raja yang mempunyai kemuliaan (sebagai keturunan raja), beliau berkata, 'Sesungguhnya putri-putri raja tidak boleh diperlakukan seperti memperlakukan anak-anak biasa'. Setelah ditetapkan nilainya, Imam Ali mengambil mereka semua dan menikahkan ketiga putri raja tersebut kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq dan Abdullah bin Umar.

Jika kita memperhatikan peristiwa tersebut, seharusnya keputusan Umar bin Khattab wajib didukung karena beliau tidak membedakan derajat orang sebagaimana hadits Rasulullah saw dan perkataan Imam Ali tentang kesetaraan status manusia tanpa memandang latar belakang keturunannya. Sebaliknya mengapa pendapat Imam Ali yang diterima dan dilaksanakan oleh kaum muslimin. Mengapa Imam Ali tidak mengawinkan ketiga putri raja Persia tersebut dengan Bilal atau Abu Hindun anak tukang bekam. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Ali pun menerapkan hukum kafa'ah nasab. Hal tersebut dilaksanakannya terhadap perkawinan antara ketiga putri raja Yazdajrid kepada Husien bin Ali, Muhammad bin Abu Bakar dan Abdullah bin Umar. Merupakan suatu hal yang bertentangan bila Imam Ali bin Abi Thalib berpendapat ketika ditanya mengenai kafaah, bahwa: 'Mu'min kufu' antara sesama mu'min, Arab dengan Ajam, Quraisy dan Bani Hasyim bila mereka telah Islam dan beriman' Dengan perlakuan Imam Ali dalam mengawinkan ketiga putri raja Yazdajrid tersebut, maka pendapat Imam Ali gugur dengan sendirinya.

Dan jika kita membaca beberapa kitab yang menyebutkan hadits-hadits tentang keutamaan Bani Hasyim, yang diantaranya:

'Sebaik-baiknya manusia adalah bangsa Arab, sebaik-baiknya bangsa Arab adalah Quraisy. Sebaik-baiknya Quraisy adalah Bani Hasyim'.

'Sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan memilihnya dari manusia tersebut Bani Adam, kemudian memilih bangsa Arab dari Bani Adam, kemudian memilih Quraisy dari bangsa Arab, kemudian memilih Bani Hasyim dari Quraisy…'

'Benci kepada bani Hasyim dan kaum Anshor adalah kufur, dan benci kepada Arab adalah Munafik'



Maka terlihat jelas adanya keutamaan Bani Hasyim dari Quraisy, dan Quraisy pun mempunyai kemuliaan dari suku bangsa lainnya di tanah Arab, dan Allah memilih bangsa Arab dari bangsa lainnya. Perkataan Rasulullah tersebut menjadi salah satu dalil bagi golongan Imam Syafei'i yang berpendapat bahwa, 'laki-laki dari suku Quraisy tidak sepadan (tidak sekufu') dengan wanita Bani Hasyim dan Bani Muthalib'.



E. KISAH ZAID BIN HARITSAH & ZAINABBINTI JAHSY



Banyak argumentasi yang dikemukakan untuk menepis keberadaan kafa'ah nasab, diantaranya peristiwa perkawinan Zaid bin Haritsah. Mereka berpendapat bahwa perkawinan antara seorang budak yang bernama Zaid bin Haritsah dengan seorang putri kaum bangsawan bernama Zainab binti Jahsy menghapus adanya sistem kafa'ah.

Menurut Prof. Dr. Aisyah Abdurahman: Zaid sebenarnya bukanlah budak. Nama aslinya adalah Zaid bin Haritsah bin Syurahil bin Ka'ab. Ibunya bernama Sa'ad bin Tsa'labah. Ketika itu ia diajak oleh ibunya berkunjung ke kaum ibunya yaitu Bani Ma'an bin Thay. Celakanya mereka tidak tahu bahwa saat itu suku Bani Ma'an sedang diserang oleh kaum Bani Qaim. Kaum ibunya (Bani Ma'an ) kalah, semua yang ada menjadi tawanan. Begitu pula Zaid yang ikut ditangkap dan dijual di pasar budak. Kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam.

Ketika Siti Khadijah telah menjadi istri nabi Muhammad dan berkunjung kepada saudaranya, beliau diberikan hadiah perkawinan yaitu budak. Hadiah berupa budak merupakan suatu adat kebiasaan di kalangan bangsa Arab saat itu. Khadijah pun menerima hadiah tersebut dan memilih Zaid sebagai hadiahnya, yang kemudian dihibahkan kepada Nabi Muhammad saw.

Haritsah bin Syurahil ayah Zaid terkejut mendengar adanya peperangan yang terjadi di bani Ma'an bin Thay, apalagi mendengar kabar bahwa Zaid anaknya telah dijadikan budak belian. Dengan gelisah dicarinya kabar tentang keberadaan Zaid. Terdengar olehnya bahwa Zaid berada di Makkah bersama Rasulullah saw dan mereka pergi untuk menemui Rasulullah. Ketika ayah Zaid meminta kembali anaknya, Rasulullah berkata serahkanlah keputusan ini kepada Zaid sendiri. Zaid memilih Rasulullah dari pada ayahnya, maka semenjak itu Rasulullah mengumumkan bahwa Zaid adalah anaknya.

Sedangkan peristiwa pernikahan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy merupakan salah satu contoh di mana kafa'ah merupakan salah satu faktor penentu dalam langgengnya suatu pernikahan. Terbukti pernikahan kedua orang tersebut dengan status yang berbeda, usia perkawinannya hanya seumur jagung. Hal itu disebabkan tidak adanya kecocokan antara keduanya yang didasari oleh perbedaan status keturunan, sehingga keduanya pun bercerai. Zaid bin Haritsah dari suku Kalb bin Wabrah al-Qudhai al-Qahthani sedangkan Zainab binti Jahsy dari Bani Asad bin Khuzaimah cucu Abdul Muthalib bin Hasyim.

Setelah bercerai dari Zaid, kemudian Allah menikahkan Rasulullah dengannya pada tahun keempat hijriyah dan pernikahan tersebut diabadikan dalam Alquran surat Al-ahzab ayat 37, yang artinya:

'Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia …'.

Perkawinan Rasulullah dan Zainab merupakan contoh, di mana kafa'ah dalam hal nasab sangat berpengaruh terhadap kelanggengan usia perkawinan seseorang, terbukti sampai akhir hayatnya Rasulullah dan Zainab bin Jahsy tidak pernah bercerai dan karena dirinya pula turun ayat tentang hijab.

Nabi Muhammad saw pernah menikahkan anaknya Umi Kulsum dan Ruqoyah dengan Khalifah Usman. Berdasarkan peristiwa di atas, mereka yang tidak bersesuai pendapat dengan adanya kafa'ah nasab berkata bahwa Nabi Muhammad saw memberi contoh bahwa sistem kafa'ah nasab dalam perkawinan tidak ada. Sebagaimana kita telah ketahui, bangsa Arab merupakan bangsa yang telah dimuliakan oleh Allah swt, begitu pula suku Quraisy dan Bani Hasyim yang telah diangkat derajatnya oleh Allah swt kepada tingkat kemuliaan. Diantara Bani Hasyim, maka Allah memilih ahlul bait nabi sebagi keluarga yang mempunyai keutamaan-keutamaan sebagaimana banyak ditulis dalam beberapa kitab baik dalam berbagai kalangan. Berdasarkan hadits Al-Kisa', ahlul bait nabi terdiri dari Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein, sebagaimana hadits yang berbunyi:

'Saad mengatakan: Ketika wahyu tersebut turun (yakni surat Al-Ahzab ayat 33) Rasulullah saw memanggil Ali, dua orang puteranya dan Fathimah. Mereka lalu dimasukkan ke dalam jubah beliau dan berkata: "Ya Allah mereka adalah keluargaku ahlul baitku".

Jika kita kembali kepada proses kejadian manusia khususnya keturunan Rasulullah , betapa agung dan mulianya mereka. Untuk menjunjung kemuliaan tersebut banyak hadits yang memerintahkan kita untuk mencintai nabi dan keluarganya.

Yang menjadi pertanyaan mengapa Rasulullah saw menikahkan dua anak perempuannya kepada khalifah Usman? Umu Kulsum dan Ruqoyah adalah anak perempuan nabi yang dinikahkan kepada khalifah Usman bin Affan, akan tetapi mereka bukanlah ahlul bait nabi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits al-Kisa' sebelumnya.

Walaupun Umu Kulsum dan Ruqoyah bukan ahlul bait nabi, tetapi mereka dilahirkan dari suku yang telah dimuliakan oleh Allah swt yaitu suku Quraisy, sebagaimana hadits Rasulullah saw:

'Barang siapa hendak meremehkan Quraisy ia akan diremehkan (dihina) Allah swt'.

'Cintailah orang Quraisy, karena siapa yang mencintai mereka ia akan di cintai oleh Allah'.

'Cinta kepada Quraisy adalah tanda iman dan benci kepada mereka adalah tanda kekufuran'.



Pernikahan Umu Kulsum dan Ruqoyah yang berasal dari suku Quraisy dengan khalifah Usman bin Affan bin Abi Ash bin Umayyah bin Abdu Syam bin Abdu manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Ku'ai bin Gholib bin Fihr (al-Quraisy) adalah suatu pernikahan yang memenuhi syarat kafa'ah dan sesuai dengan pendapat Imam Madzhab.



F. MENGAPA ADA PERNIKAHAN YANG TIDAK SEKUFU'



Berdasarkan pengamatan, pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, dapat disebabkan oleh beberapa hal:

Pertama, orang tua mereka tidak mengetahui tentang keutamaan dan kemuliaan dirinya sebagai keturunan Rasulullah (sebagaimana diceritakan dalam proses penciptaan alam ini pada bab yang terdahulu), karena mereka dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak mengerti tentang keutamaan ahlul bait dan keturunannya, sehingga menyebabkan para orang tua tersebut menikahkan anak perempuannya dengan lelaki yang bukan sayid.

Kedua, orang tua mereka sangat mengerti tentang kafa'ah, akan tetapi mereka membiarkan anak perempuannya bergaul tanpa batas dengan kawannya di lingkungan rumah atau sekolah. Ketika anak gadisnya berpacaran para orang tua tidak mengetahui dan lengah untuk mengawasi tingkah lakunya, sampai anak tersebut menikah dengan lelaki yang bukan sayyid.

Ketiga, orang tua mereka sangat mengerti tentang kafa'ah, tapi karena sesuatu hal (masalah ekonomi atau lainnya), maka orang tua tersebut tidak dapat menghalangi perkawinan anaknya dengan lelaki yang bukan sayyid.

Keempat, orang tua tersebut mempunyai kenangan yang buruk atas perkawinan anak gadisnya dengan seorang sayid. Anaknya tidak diperlakukan dengan baik dan disia-siakan oleh suaminya, sehingga apa yang terjadi pada anaknya itu membawa rasa antipati terhadap menantunya yang berasal dari kalangan sayid, setelah bercerai anaknya dikawinkan dengan lelaki yang bukan dari kalangan sayid, ternyata hidup mereka bahagia, lalu sang ayah mengambil kesimpulan dan berpendapat bahwa tidak ada jaminan kebahagiaan dalam perkawinan yang mensyaratkan kafa'ah syarifah, selanjutnya hal tersebut disebarluaskan melalui pembicaraan dengan kerabat, diskusi, media cetak dan yang lainnya.

Kelima, kafa'ah syarifah adalah milik keturunan Rasulullah saw saja, dan tidak dimiliki oleh orang selain mereka. Hal ini menjadikan mereka sasaran iri hati sebagian kecil ulama, pakar, cendikiawan ataupun orang dari kalangan awam yang bukan sayid dengan memberikan fatwa, analisa, dan pendapatnya mengenai kafa'ah syarifah yang hanya berdasarkan kecemburuan semata. Abdullah bin Nuh berkata tentang rasa iri hati yang ditujukan kepada ahlul bait Rasulullah saw: "Kita harus mengerti, bahwa ahlul bait Rasulullah saw adalah orang-orang yang menjadi sasaran irihati karena mereka memperoleh limpahan karunia Allah swt."

Keenam, yang paling mengkhawatirkan adalah seorang keturunan Rasul yang pada awalnya menganut madzhab yang mensyaratkan kafa'ah perkawinan syarifah berpindah kepada madzhab yang tidak mensyaratkan kafa'ah dalam perkawinan syarifah. Hal tersebut dilakukan karena nafsu dan ketidaktahuan mereka akan soal-soal agama. Dalam madzhab lama yang dianutnya orang tersebut belum mengetahui benar pokok-pokok ajarannya, karena lingkungan pergaulan dan ashobiyah ia berpindah ke madzhab yang baru, sehingga ia belum dapat membandingkan yang mana madzhab yang benar. Dalam masalah ini ada baiknya kita renungkan perkataan beberapa waliyullah di bawah ini: Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata: 'Adapun orang dari keturunan ahlul bait yang tidak mengikuti jejak para sesepuh mereka yang suci, orang tersebut telah kerasukan angan-angan yang merusak disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan soal-soal agama'. Imam Ahmad bin Zein Al-Habsyi berkata: 'Barangsiapa yang meninggalkan jalan para habaib yang sholeh menuju kepada jalan lain ia tidak bakal mendapat taufiq hidayah'. Begitu pula perkataan Imam Ali bin Muhammad Al-Habsyi: 'Barangsiapa tidak mengikuti jalan para leluhurnya, pasti ia akan kecewa dan hilang'.



G. KAFA'AH NASAB: KESOMBONGAN JAHILIYAH?



Secara garis besar, faktor nasab merupakan salah satu persyaratan dalam perkawinan. Hal tersebut bukan suatu adat dan merupakan bagian dari kecongkakan serta kesombongan jahiliyah. Sebagian ahli fiqih dalam membahas masalah kafa'ah (persamaan status sosial calon istri dan calon suami, sebagai syarat bagi perkawinan yang sehat) berpendapat bahwa seorang bukan Arab tidaklah sekufu' dengan seorang Arab sekalipun dalam hal-hal lainnya mereka sejajar. Ini membuktikan status istimewa dari orang-orang Arab dalam Islam dan peradaban Islam.

Dapat ditekankan bahwa sebagian besar prinsip yang telah dinyatakan Islam dan telah menjadi bagian dari Islam adalah tradisi-tradisi Arab yang disempurnakan oleh Islam dan diberi karakter baru. Penghormatan dan berhaji ke Ka'bah adalah tradisi Arab kuno demikian pula sebagian besar dari manasik haji itu sendiri. Penghormatan terhadap hari Jum'at yang dulu biasa disebut oleh orang Arab sebagai 'Hari Arabisme' (Yaum al-Urubah) dan penetapannya sebagai hari pesta dan berhias sebagaimana telah disebut dalam hadits, merupakan bukti lain dari watak Arab Islam. Pandangan-pandangan Arab sangat melimpah dalam hukum-hukum waris dan faraidh khususnya dalam memberi hak waris kepada karib kerabat dari garis ayah dan pemberian hak waris kepada kaum kerabat dari peringkat pertama.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kafa'ah juga sama dengan contoh-contoh di atas, hal tersebut telah dilegitimasi oleh Islam sebagaimana halnya dengan berhaji, penghormatan terhadap hari Jum'at dan faraidh. Masalah nasab bukanlah suatu kesombongan atau kecongkakan jahiliyah. Jika benar hal tersebut seperti yang dikatakan di atas, mengapa nabi Muhammad saw memerintahkan ummatnya untuk mempelajari nasabnya masing-masing, sesuai hadits beliau:

'Pelajari nasab-nasab kamu, karena dengannya akan tersambung tali kasih sayang diantara kamu'.

Di samping memerintahkan ummatnya untuk mempelajari nasabnya masing-masing, Rasulullah saw juga memberi teladan dengan menjaga nasabnya. Beliau pernah berkata: 'Aku adalah seorang nabi dan aku tidak berdusta, aku anak cucu Abdul Muthalib'. Beliau juga pernah menyebutkan silsilah nasabnya hingga ke kakek beliau, Adnan.

Imam al-Halimi berkata: 'hadits tersebut di atas menjelaskan arti tentang pertalian nasab seseorang sampai kepada leluhurnya, dan apa yang dikatakan nabi Muhammad tentang nasab tersebut bukanlah suatu kesombongan atau kecongkakan, Sebaliknya hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kedudukan dan martabat mereka'. Di lain riwayat dikatakan bahwa: 'itu bukan suatu kesombongan akan tetapi hal tersebut merupakan isyarat kepada ni'mat Allah, yaitu sebagai tahadduts bi ni'mat'. Sedangkan Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa : mempelajari ilmu nasab adalah fardhu kifayah. Dari Abi Dzar sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda:

'Tidaklah seseorang yang mengaku bernasab kepada lelaki yang bukan ayahnya, sedangkan ia mengetahuinya maka ia adalah seorang kafir. Dan barang siapa yang mengaku bernasab kepada suatu kaum yang bukan kaumnya, maka bersiaplah untuk mengambil tempat duduknya di neraka'.

Dari Said bin Abi Waqqas, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda:

'Siapa yang mengaku bernasab kepada yang bukan ayahnya di dalam Islam, sedangkan ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, maka surga haram baginya'.

Ilmu nasab merupakan ilmu yang sangat dikuasai oleh bangsa Arab. Masalah ini selalu merupakan factor utama dalam pembicaraan bagi setiap ahli sejarah, sebelum mereka membahas unsur-unsur lainnya mengenai bangsa Arab. Banyak di antara bangsa-bangsa di dunia ini mengira bahwa mereka tahu tentang asal-usul bangsanya secara terperinci hingga ke nabi Adam as. Para ahli sejarah membagi bangsa Arab menjadi tiga golongan: Al-Ba'idah, Al-'Aribah dan Al-Musta'ribah.

Al-Ba'idah, adalah bangsa Arab kuno dan kabar berita tentang mereka telah terputus karena sudah terlalu lama. Mereka adalah kaum 'Ad, Tsamud, Thasam, Judais dan Jurhum. Al-'Aribah, adalah orang-orang Arab Yaman keturunan Qahthan. Al-Musta'ribah, adalah keturunan Ismail as. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Adnan adalah bapak sebagian besar Arab-Hijaz, sedangkan Qahthan adalah bapak bangsa Arab Yaman, Irak dan Syam.



H. MENJAGA HAK KETURUNAN RASULULLAH SAW DALAM PERKAWINAN



Setelah kita membaca uraian mengenai kafa'ah syarifah yang merupakan hak dari keturunan Rasulullah yang harus dijaga, dan setelah mengetahui hukum-hukumnya berdasarkan nash-nash di atas, maka selanjutnya kita wajib memelihara hak tersebut dengan baik, mengapa demikian?

Seperti kita telah ketahui dalam beberapa hadits Rasulullah saw, jika ada seseorang yang tidak memelihara hak keturunan Rasulullah saw (syarifah) tersebut, maka ketahuilah bahwa orang tersebut tidak akan mendapat syafa'at dari Rasulullah saw, sebagaimana hadits beliau yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi'i:

"… maka mereka itu keturunannku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa'atku."

Dari hadits di atas dapat kita pahami bahwa keturunan nabi saw akan terputus hubungannya dengan Nabi saw, jika terjadi perkawinan antara syarifah dengan lelaki yang nasabnya tidak menyambung kepada nabi saw. Mengapa demikian ? Karena anak dari perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan keturunan Rasulullah saw, adalah bukan seorang sayyid (bukan keturunan Rasulullah saw). Dan jika syarifah tersebut melahirkan amak yang bukan dari hasil perkawinan dengan seorang sayid, maka putuslah hubungan nasab anak tersebut dengan Rasulullah saw, dan nasab anak tersebut berlainan dengan nasab ibunya yang bernasab kepada Rasulullah saw. Dan inilah yang dimaksud dengan pemutusan hubungan dengan Rasulullah saw.

Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa'atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah saw.

Kafaah syarifah merupakan salah satu dari keridhaan Rasulullah saw. Hal ini dijelaskan dengan hadits-haditsnya pada uraian yang terdahulu. Maka sudah menjadi kewajiban bagi kaum muslimin yang beriman untuk menjaga dan melaksanakan perkawinan syarifah dengan yang sekufu' agar mendapat ridho Rasulullah saw. Sebaliknya jika ada orang yang bukan keturunan Rasulullah saw menikah dengan seorang syarifah, maka mereka dengan terang-terangan telah melecehkan hadits Rasulullah saw, dan orang tersebut dapat digolongan sebagai orang yang tidak menunjukkan akhlaq yang baik kepada Rasulullah saw, bahkan orang tersebut telah termasuk golongan yang menyakiti Siti Fathimah dan seluruh keluarganya.

Disamping itu terdapat pula hadits-hadits lain yang mensinyalir bahwa seorang laki-laki yang tidak mengenal hak-hak keturunan Rasulullah saw, di mana nasabnya tidak bersambung kepada Rasulullah saw tetapi menikahi seorang syarifah, dapat digolongkan sebagai seorang munafik, anak yang lahir dari hasil tidak suci, yaitu dikandung oleh ibunya dalam keadaan haidh, atau bahkan dapat dikatakan orang tersebut adalah anak haram! Sebagaimana hal itu disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi' dan Al-Baihaqi dalam Syu'ab Al-Iman meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :

'Barangsiapa tidak mengenal hak keturunanku dan Ansharnya, maka ia salah satu dari tiga golongan: Munafiq, atau anak haram atau anak dari hasil tidak suci, yaitu dikandung oleh ibunya dalam keadaan haidh'.

Terakhir, mari kita mengkaji kembali dengan teliti beberapa peringatan Rasulullah saw yang diberikan kepada umatnya, agar kita tidak termasuk orang yang dapat dikategorikan melecehkan perkataan Rasulullah saw dengan sengaja melanggar hak-hak keturunan beliau saw, ataupun memutuskan hubungan beliau saw dengan anak cucunya melalui pernikahan syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid.

Sebagai kalimat penutup pembahasan buku ini, marilah kita para keluarga Alawiyin berusaha agar tetap menjaga dan memelihara hak-hak keturunan Rasulullah saw tersebut dengan baik. Semoga Allah memberi kekuatan iman kepada kita semua untuk tetap menjaga dan memelihara hak-hak keturunan beliau saw dengan baik.



DAFTAR PUSTAKA


Abdul Fatah al-Qadhy, al-Raudhah al-Nadhiroh, Dinamika Berkah Utama, Jakarta, 1964.
Abbas Mahmud al-Akkad, Fathimah al-Zahra, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.
Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughya al-Mustarsyidin, Dar al-Fikr, tt.
Abu Bakar al-Dimyathi, I'anah al-Tholibin, Jilid 3. Darul Ihya, tt.
Abdurahman al-Djaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba', Juz 4.
Alwi bin Ahmad al-Saqqaf, Tarsyihu al-Mustafidin, Al-Islamiyah, Sukabumi, tt.
Alwi bin Thahir al-Haddad, al-Qaul al-Fashl, tt.
Al-Thibrisi, Makarim al-Akhlaq, Dar al-Fikr, tt.
Aisyah Abdurahman & Bintusy Syathi', Saiyidah Zainab Srikandi Karbela, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.

10. Aisyah Abdurahman & Bintusy Syathi', Siti Aminah Ibunda Rasulullah saw, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.

11. Ali bin Muhammad al-Habsyi, Simtud al-Duror, Solo, 1992.

12. Hamid Abu Bakar al-Muhdhar, Pandangan Ibn Taimiyah dan Ibnu Qayim terhadap Ahlul Bait Nabi saw, Al-Iman. Bandar Lampung, 1987.

13. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Dar al-Fikr. tt.

14. Ibrahim bin Ali al-Fairuzzabadi al-Syirazi, Al-Muhadzab, Juz 2, Dar al-Qutub, tt.

15. Ibrahim Amini, Fathimah al-Zahra, Lentera, Jakarta, 1997.

16. Ibnu Taimiyah, al-Fatawa, Dar al-Fikr, tt.

17. Jalaluddin al-Suyuthi, Musnad Fathimah al-Zahra, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997.

18. Jalaluddin al-Suyuthi, Ihya al-Mait fi Fadhoil Aal al-Bait, Dar al-Jiil, Beirut.

19. Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, al-Masra' al-Rawi, Jilid 1, tt.

20. Muhammad bin Ahmad al-Sanqithi, Fathu al-Ilah, Dar al-Fikr, tt.

21. Muhammad bin Ali al-Khirrid, al-Ghuror, Modern Egyptian Press.

22. Muhammad al-Mirshofi, Khasiyah Bujairimi, Juz 2, Al-Maktab al-Islamiyah.

23. Muhammad bin Umar al-Nawawi, Nihayah al-Zain, Dar al-Fikr, tt.

24. Muhammad bin Ali al-Shabban, Is'af al-Raghibin, Dar al-Fikr. tt.

25. Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Jilid 7.

26. Taufik Abu ‘Alam al-Mishri, Fathimah al-Zahra Ummu Abiha, Pustaka Pelita, Bandung, 1998.

27. Usman bin Abdullah binYahya, Hadits Keluarga, Jakarta, tt.

28. Yusuf Ismail al-Nabhani, Saraf al-Muabad li Aali Muhammad, al-Halaby.

29. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil, Paramadina, Jakarta, 1997.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KAFA'AH SYARIFAH DASAR HUKUM DALAM PERKAWINAN oleh Idrus Alwi Almasyhur "

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip