//

Biografi Al-Imam Asy-Syafii, Muhammad bin Idris (150-204 H)

Biografi Al-Imam Asy-Syafii, Muhammad bin Idris
(150-204 H)

Nasabnya: Beliau adalah Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris yang bersambung nasabnya dengan Hasyim bin Al-Muththolib bin ‘Abdi Manaf Al-Qurosyi Al-Muththolibi.
Kelahiran dan Pertumbuhannya: Beliau lahir di ‘Asqolan pada tahun 150 H, dan tumbuh besar di Makkah. Kemudian tinggal di Mesir, dan meninggal pada hari terakhir bulan Rojab 204 H.

Hapalan Qur’an dan Semangat Beliau dalam menuntut ilmu syar’i:
Al-Muzani berkata: Aku mendengar As-Syafii berkata: “Aku menghapal Al-Qur’an pada umur tujuh tahun, dan aku menghapal Al-Muwaththo (karya Al-Imam Malik) pada umur sepuluh tahun.”
Asy-Syafii rohimahulloh berkata: “Senantiasa semangatku ada dalam dua perkara: memanah dan menuntut ilmu syar’i.”

Seorang imam dalam lughoh (bahasa arab)
Abul Walid Ibnu Abil Jarud berkata: “Dulu dikatakan bahwa Asy-Syafii adalah lughoh itu sendiri yang dijadikan sebagai hujjah.”

Seorang Imam dalam Fiqih
Ahmad bin Ali Al-Jurjani berkata: “Dulu Al-Humaidi jika menyebut Asy-Syafii, dia mengatakan: ‘Telah memberitahukan kepada kami Sayyidnya para ahli fiqih, Al-Imam Asy-Syafii’.”
Yahya bin Said Al-Qoththon berkata: “Tidaklah aku melihat orang yang lebih berakal dan lebih faqih daripada Asy-Syafii.”
Ali bin Al-Madini berkata kepada anaknya: “Jangan engkau meninggalkan satu huruf pun dari ucapan Asy-Syafii untuk ditulis, sesungguhnya dia memiliki ma’rifah (pengetahuan tentang agama).”

Imam dalam Ushul:
Beliaulah yang pertama kali membuat tulisan dalam ushul fiqih sebagai satu ilmu tersendiri.

Pembela hadits:
Harmalah berkata: Aku mendengar Asy-Syafii berkata: “Aku dijuluki di Baghdad sebagai pembela hadits.”

Mujaddid Abad kedua hijriyah
Ahmad bin Hanbal berkata: “Sesungguhnya Allah menakdirkan untuk manusia pada setiap 100 tahun orang yang mengajari mereka sunnah-sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan meniadakan kedustaan atas Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami memperhatikan ternyata pada awal tahun seratus adalah Umar bin Abdul Aziz, dan pada awal tahu dua ratus adalah Asy-Syafii.”

Doa para ulama untuk beliau
Ahmad bin Hanbal berkata: “Tidaklah aku melewati malam selama 30 tahun, melainkan aku berdoa kebaikan kepada Allah untuk Asy-Syafii dan memohonkan ampun untuk beliau.”
Abdurrohman bin Mahdi berkata: “Aku tidak menunaikan satu sholat pun melainkan aku mendoakan kebaikan untuk Asy-Syafii di dalam sholat itu.”
Yahya bin Said Al-Qoththon berkata: “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih berakal dan lebih faqih daripada Asy-Syafii. Dan aku berdoa kebaikan kepada Allah untuk beliau, aku khususkan beliau saja dalam setiap sholat.”

Dan keutamaan Al-Imam Asy-Syafii sangatlah banyak dan terkenal sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar. Dan hal itu telah dikumpulkan oleh Ibnu Abi Hatim, Zakariya As-Saji, Al-Hakim, AL-Baihaqi, Al-Harowi, Ibnu Asakir dan lainnya.
(Sumber: Tahdzib Ath-Tahdzib (3/496-500) dengan perubahan susunan)



Masa Kecil Imam asy-Syafii dan Semangatnya Menuntut Ilmu Agama

Imam asy-Syafii tumbuh di Gaza dalam keadaan yatim, setelah ayah beliau meninggal di sana. Sehingga beliau hidup dalam keadaan fakir miskin dan yatim, serta jauh dari kerabat. Namun semua ini tidak berpengaruh buruk kepada beliau setelah Allah memberikan taufik kepada kemudahan untuk menempuh metode yang benar.
Setelah ibu beliau membawa beliau ke Mekkah atau daerah dekat Mekkah, beliau mulai menghafal al-Qur’an. Dikatakan bahwa beliau menyelesaikannya pada waktu berumur tujuh tahun.
Beliau mengisahkan dirinya: “Aku dulu hidup yatim dibawah pengasuhan ibuku. Dan ibuku tidak punya harta yang diberikan untuk seorang pengajar. Namun pengajar itu ridha dengan aku menggantikannya jika dia pergi. Setelah aku mengkhatamkan al-Qur’an, aku masuk masjid dan duduk di majlis-majlis ulama sampai aku menghafal satu hadits atau satu masalah. Dan rumah kami berada di Syi’b al-Khaif. Dulu aku mencatat ilmu di tulang, jika sudah banyak aku taruh di satu keranjang besar.” (Tawali at-Ta’sis 54)
Setelah beliau menghafal al-Qur’an di Makkah beliau suka dengan syair dan bahasa arab. Beliau bolak-balik ke suku Hudzail untuk menghafal syair-syair mereka dan bahasa mereka. Yang nampak beliau menghafal syair mereka pada awal usia beliau. Suku Hudzail ini termasuk bangsa arab yang paling fasih.
Kemudian beliau setelah itu mempelajari ilmu fiqih, karena satu sebab. Ada dua versi alasan mulainya Imam asy-Syafii mempelajari ilmu fiqih:
  1. Mush’ab bin Abdillah az-Zubairi mengisahkan seorang sekretaris Bapak Mush’ab bin Abdillah az-Zubairi berkata kepada Imam asy-Syafii: “Orang seperti kamu pergi dengan muruahnya dalam bidang ini. Dimana posisimu dalam masalah fiqih.” Hal itu mendorong Imam asy-Syafii. Sehingga beliau pergi menuju Muslim bin Khalid Az-Zinji Mufti Makkah waktu itu dan belajar kepadanya, kemudian mendatangi Imam Malik di Madinah.” (Manaqib karya Al-Baihaqi 1/97)
  2. Diriwayatkan orang yang mengarahkan beliau untuk mempelajari ilmu fiqih adalah guru beliau Muslim bin Khalid az-Zinji. Imam Baihaqi meriwayatkan Imam asy-Syafii mengisahkan beliau sendiri: “Aku keluar mempelajari ilmu nahwu dan adab. Kemudian aku bertemu dengan Muslim bin Khalid az-Zinji, dia berkata: ‘Wahai anak muda, engkau berasal dari mana?’ Aku menjawab: ‘Dari penduduk Makkah.’ Dia bertanya: ‘Dimana rumahmu di sana?’ Aku menjawab: ‘Di Syi’b al-Khaif.’ Dia bertanya lagi: ‘Dari kabilah apa engkau ini.’ Aku menjawab: ‘Dari keturunan Abdu Manaf.’ Dia berkata: ‘Wah wah, Allah telah memuliakanmu di dunia dan akhirat, tidakah engkau menjadikan pemahamanmu ini untuk ilmu fiqih. Dan itu lebih baik untukmu’.” (Manaqib karya Al-Baihaqi 1/97)
Sebab manapun yang menjadikan beliau seperti itu, maka ini menunjukkan bahwa Imam asy-Syafii rahimahullah setelah menghafal al-Qur’an melakukan perjalanan ke suku Hudzail di pinggiran Makkah kemudian setelah menghafal syair-syair mereka dan bahasa mereka, himmah beliau berubah kepada ilmu fiqih. Beliau berguru kepada Mufti Makkah Muslim bin Khalid az-Zinji. Setelah mapan beliau mengadakan perjalanannya yang pertama ke Madinah.
Beliau tekun dalam menuntut ilmu dan menghafal al-Qur’an pada umur tujuh tahun, dan menghafal kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik pada umur sepuluh tahun. Beliau mulai berfatwa pada umur lima belas tahun –ada yang berkata: delapan belas tahun- dengan ijin dari guru beliau Muslim bin Khalid az-Zinji. Beliau perhatian dengan syair dan bahasa. Beliau menghafal syair al-Hudzaliyyin dan tinggal di antara mereka sekitar sepuluh tahun, dikatakan: dua puluh tahun. Beliau mempelajari bahasa arab dan kefasihan dari mereka. Beliau mendengar banyak hadits dari sekumpulan guru dan para imama. Beliau membacakan al-Muwatha kepada Imam Malik dari hafalannya, sehingga Imam Malik pun kagum atas bacaan dan himmahnya. Kemudian Imam asy-Syafii mengambil ilmu dari ulama hijaz setelah beliau mengambil ilmu dari Muslim bin Khalid az-Zinji. Beliau meriwayatkan dari banyak guru. Beliau mempelajari al-Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin dari Syibl  dari Ibnu Katsir dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas dari Ubai bin Ka’b dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (al-Bidayah wa an-Nihayah 1/263)

Perjalanan Imam Syafii ke Madinah dan Pertemuan dengan Imam Malik

Berikut ini akan dibawakan tentang perjalanan Imam Syafii dalam mencari ilmu.
Sebelum Imam Syafii mengadakan perjalanan menuju Imam Malik, beliau mengadakan persiapan untuk pertemuan itu. Beliau menghafal Kitab al-Muwaththa. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa beliau menghafalnya pada umur sepuluh tahun, pada sebagian riwayat yang lain dikisahkan bahwa beliau menghafalnya pada saat umur tiga belas tahun. (Tawali at-Ta’sis hal 54)
Imam asy-Syafii mengisahkan kisah perginya kepada Imam Malik:
“Aku keluar dari Mekkah, kemudian aku menetap tinggal bersama suku Hudzail di pedalaman dimana aku mempelajari ucapan mereka dan mengambil bahasa mereka, suku Hudzail ini adalah bangsa arab yang paling fasih, aku tinggal bersama mereka selama beberapa masa, dimana aku pergi dan tinggal bersama mereka.
Ketika aku kembali ke Mekkah, aku mulai mendendangkan syair dan aku menyebutkan sejarah orang-orang dulu. Kemudian ada seorang dari orang Zuhriy melewati aku dan berkata kepadaku: ‘Wahai Abu Abdillah (sebutan Imam Syafii, pent), sungguh aku rasa berat kefasihanmu dan balaghahmu ini tidak diletakkan dalam ilmu dan fiqih.’ Maka aku bertanya: ‘Siapakah orang yang tersisa yang menjadi tujuan (untuk hal itu)?’ Dia menjawab: ‘Malik bin Anas, sayyid kaum muslimin.’ Imam Syafii berkata: Hal itu menancap dalam hatiku. Kemudian aku meminjam kitab al-Muwaththa’ dari seseorang di Mekkah dan aku menghafalnya. Kemudian aku menemui Gubernur Mekkah dan meminta surat (rekomendasi)nya yang ditujukan kepada Gubernur Madinah dan kepada Malik bin Anas.
Kemudian aku mendatangi Madinah dan menyampaikan surat kepada Gubernur Madinah. Ketika dia membaca surat itu dia berkata: ‘Wahai anakku, jika aku berjalan kaki dari Madinah sampai ke Mekkah tanpa tutup kepala, itu lebih mudah bagiku daripada aku berjalan ke rumah Imam Malik, sungguh aku tidak melihat kehinaan sampai aku berdiri di pintu rumahnya.’ Maka aku berkata: ‘Jika Tuan ingin, bisa mengutus seseorang untuk meminta dia menghadap.’ Dia menjawab: ‘Sekali-kali tidak. Duhai andainya aku dan orang yang bersamaku menaiki kendaraan kemudian kita terkena tanah al-aqiq agar dia memenuhi kebutuhan kita.’ Kemudian aku menjanjikannya pada waktu ashar.
Kemudian kami pergi ke rumah Imam Malik, lalu seseorang maju mengetuk pintu rumahnya, sampai keluar menemui kami seorang budak wanita hitam. Kemudian Gubernur Madinah berkata kepadanya: ‘Katakan kepada tuanmu, aku ada di pintu rumahnya.’ Kemudian budak wanita itu masuk. Setelah selang beberapa waktu budak itu keluar dan berkata: ‘Sesungguhnya tuanku mengatakan jika ada permasalahan, maka tulislah dalam lembaran, hingga keluar nanti jawabannya. Jika untuk berbincang, engkau telah mengetahui kapan waktu majlis, maka pergilah.’
Kemudian Gubernur Madinah berkata kepada budak wanita itu: ‘Katakan kepadanya bahwa bersamaku ada surat dari Gubernur Mekkah dalam permasalahan penting.’ Kemudian budak wanita itu masuk dan keluar dengan membawa kursi. Kemudian dia meletakkannya. Tiba-tiba keluar Imam Malik, beliau seorang syaikh berwibawa yang jangkung dengan memakai jubah hijau. Kemudian Gubernur Madinah menyerahkan surat kepadanya, hingga sampai perkataan: ‘orang ini mulia urusan dan keadaannya, hendaklah engkau ajak bicara dia’, maka Imam Malik melempar surat ini dari tangannya dan berkata: “Ya Subhanallah! Ilmu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekarang diambil dengan wasilah.’ Imam Syafii berkata: aku melihat Gubernur Madinah merasa segan untuk berbicara dengannya. Kemudian aku maju kepada Imam Malik dan berkata: ‘Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Aku ini seorang turunan Mutththalib, dengan keadaan dan kisahku.’ Ketika Imam Malik mendengar ucapanku, dia melihatku sesaat. Dan Imam Malik memang memiliki firasat, kemudian berkata kepadaku: ‘Siapa namamu?’ Aku menjawab: ‘Muhammad.’ Dia berkata: ‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan. Sungguh engkau nanti akan mempunyai urusan yang besar.’ Aku menjawab: ‘Ya. Dengan penuh pemuliaan.’ Kemudian Imam Malik berkata: ‘Besok engkau datang dan akan datang orang yang akan membacakan al-Muwaththa’ kepadamu.’ Aku menjawab: ‘Aku telah menghafalnya luar kepala.’
Kemudian aku pergi pagi-pagi kepadanya dan aku memulai membacakan al-Muwaththa’ kepadanya. Setiap aku merasa segan kepada Imam Malik dan ingin memutusnya, dia merasa kagum dengan bacaanku dan i’rabku, dia berkata: ‘Hai, pemuda, teruslah! Agar engkau bisa menyelesaikan bacaannya dalam beberapa hari.’”
(Al-Manaqib karya al-Baihaqi 1/102-103, dan karya ar-Razi 9-10, dan ringkasannya di al-Hilyah 9/69, serta Tawali at-Ta’sis 53-56.)
Di sela-sela beliau tinggal di Madinah belajar kepada Imam Malik, beliau kadang kembali ke Mekkah mengunjungi ibunya. Dan ketika dia Mekkah mempelajari syair-syair Kabilah Hudzail dan belajar dari para ulama Mekkah.
Beliau mulai belajar di Madinah pada umur 13 tahun sekitar pada tahun 163 H. Kemudian beliau bolak-balik antara Madinah, Mekkah dan Hudzail, meskipun yang paling banyak tinggalnya di Madinah di sisi Imam Malik, sampai Imam Malik rahimahullah meninggal pada tahun 179 H. Setelah itu beliau kembali setelah mendapat banyak ilmu Imam Malik dan menjadi ulama terkenal, yaitu ketika beliau berumur kira-kira 29 tahun. Pada masa ini beliau juga berguru kepada Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid az-Zinji, Ibrahim bin Abi Yahya dan lainnya sebagaimana kata Mush’ab az-Zubairi: “Tidaklah Syafii meninggalkan sesuatupun dari Imam Malik bin Anas, kecuali sedikit dan dari para syaikh di Madinah kecuali beliau telah mengumpulkannya.” (Mu’jam al-Adiba’ 17/283)
Disini ada beberapa pelajaran dari kisah dua imam ini:
  1. Disini ada perbedaan yang jauh antara Imam Syafii seorang imam besar ahlussunnah ahlul hadits, dengan yang diyakini oleh orang-orang sufi yang mengatakan bahwa mereka bisa mendapat ilmu laduni tanpa belajar. Para imam yang besar di sejarah Islam, mereka menjadi para imam dan ulama dengan belajar kepada para ulama sebelumnya, mempelajari al-Qur’an, sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ilmu-ilmu lainnya , tidak dengan bersemedi atau bermimpi, tidak dengan sekedar merenung dan berkhayal.
  1. Teladan para imam ahlussunnah wal jamaah untuk mempelajari ilmu agama langsung dari seorang guru dan tidak mencukupkan dengan tulisan baik kitab, laman internet, blog atau yang lainnya, karena banyak faedah yang akan didapati seseorang dari keteladanan yang tidak didapati hanya melalui membaca. Karena banyak blog-blog atau laman-lama website itu menipu, pandai bersilat lidah, ternyata orang-orang di belakangnya orang-orang bejat yang tidak menaruh pemuliaan terhadap al-Qur’an, tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, dan para imam ahlussunnah. Mereka orang-orang bejat yang tidak punya ilmu agama dan akhlak, tidak punya ketakwaan, tidak beramal shalih, tidak menjauhi kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan, tidak wara’, tidak mengajak orang ke jalan Allah tetapi ke kelompoknya atau pribadinya atau gagasan atau idenya. Bahkan di antara mereka terbiasa dengan dusta dan rakus mengambil harta orang lain dengan cara tanpa hak. Kita berlindung kepada Allah dan perilaku seperti itu.
Imam Syafii telah menghafal kitab al-Muwaththa Imam Malik, tetapi beliau tetap mendatangi beliau untuk mempelajari ilmu hadits dan fikih dan lainnya.
  1. Teladan mencari ilmu agama walaupun dengan mengorbankan waktu, tenaga dan biaya. Meskipun menempuh jarak yang jauh guna menemui seorang ulama, guru yang bertakwa yang berilmu.
Imam Syafii pergi meninggalkan keluarga di Mekkah ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik.
  1. Pelajaran bagi kita untuk tidak ta’ashshub (fanatik) pada orang tertentu atau kelompok tertentu, tidak pada madzhab tertentu. Selama mereka ulama ahlussunnah kita mengambil ilmu dari mereka. Tidak mengatakan: “Ini madzhab maliki, ini madzhab syafii. Aku mengikuti pendapat ini karena ini madzhab ini.” Atau “Aku loyal kepada orang-orang yang mengikuti madzhab ini, dan benci dari orang-orang yang mengikuti madzhab itu.” Selama mereka semua adalah ulama ahlussunnah. Kita memilih pendapat para ulama selama sesuai dengan dalil yang shahih.
Di kisah ini, Imam Syafii sangat dekat  dan berguru dengan Imam Malik. Sedangkan orang sekarang banyak pengikut madzhab merasa tidak suka atau benci bila mendengar pendapat imam yang selain madzhabnya, bahkan membenci Imam Malik misalnya karena dia madzhabnya Syafii atau membenci Imam Syafii karena dia madzhabnya maliki, atau membenci Imam Ahmad bin Hambal padahal beliau juga merupakan murid mulia Imam Syafii.
Ini adalah musibah, yang menyebabkan kaum muslimin terpecah belah karena perkara yang keliru.
  1. Setiap bidang itu ada ahlinya. Jika orang berbicara tidak pada keahliannya akan banyak salahnya. Hendaknya seorang mempelajari sesuatu kepada ahlinya. Mempelajari ilmu kedokteran pada ahlinya. Mempelajari ilmu agama kepada ahlinya. Sehingga kita tidak tertipu dengan orang yang belagak pintar dalam masalah agama, padahal dia tidak membidanginya. Dia bukanlah ulama yang telah mendalami dan mengamalkan ilmu agama yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia juga bukan seorang thallabul ilmi yang benar-benar mempelajari ilmu agama dan pengamalannya. Jangan tertipu dengan berbagai gelar kesarjanaan bila dia kosong dari ilmu agama dan tidak punya ketakwaan.
Wallahu a’lam

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Biografi Al-Imam Asy-Syafii, Muhammad bin Idris (150-204 H)"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip