//

Sunni Vs Wahabi : Tanda-Tanda Aliran Sesat Menurut Al-Syathibi


MENURUT AL-SYATHIBI

Tanda-Tanda Aliran Sesat

 


Pada  beberapa  waktu  yang  lalu,  Majlis  Ulama  Indonesia  (MUI)  mengeluarkan fatwa  tentang  sesatnya  aliran  Ahmadiyah.  Terdapat  sekian  banyak  dalil  yang diajukan  oleh  MUI  sebagai  bukti-bukti  kesesatan  Ahmadiyah.  Dalam  sebuah pertemuan di Surabaya saya mengemukakan bahwa aliran Wahhabi atau Salafi juga  termasuk  aliran  sesat.  Mendengar  pernyataan  ini  salah  seorang  peserta diskusi  mengajukan  pertanyaan,  apa  bukti-bukti  atau dalil-dalil  kesesatan Wahhabi?

Menjawab  pertanyaan  tersebut,  saya  menjelaskan,  bahwa  al-Imam  Abu  Ishaq Asy-Syathibi telah menguraikan dalam kitabnya, al-I’tisham tentang tanda-tanda ahli bid’ah atau aliran sesat. Menurut beliau ada dua macam tanda-tanda aliran sesat.  (1)  tanda-tanda  terperinci,  yang  telah  diuraikan  oleh  para  ulama  dalam kitab-kitab  yang  menerangkan  tentang  sekte-sekte  dalam  Islam  seperti  al-Milal wa al-Nihal, al-Farq bayna al-Firaq dan lain-lain. (2) tanda-tanda umum. Menurut Asy-Syathibi, secara umum tanda-tanda aliran sesat itu ada tiga.

  

Perpecahan dan Perceraiberaian


Pertama,  terjadinya  perpecahan  di  antara  mereka.  Hal  tersebut  seperti  telah diingatkan  dalam  firman  Allah  subhanahu  wa  ta’ala:  “Dan  janganlah  kamu menyerupai  orang-orang  yang  bercerai  berai  dan  berselisih  sesudah  datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105). “Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64). 


Dalam  hadits  shahih,  melalui  Abu  Hurairah  radhiyallahu  anhu,  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “SesungguhnyaAllah ridha pada kamu tiga perkara  dan  membenci  tiga  perkara.  Allah  ridha  kamu menyembah-Nya  dan janganlah  kamu  mempersekutukannya,  kamu  berpegang  dengan  tali  (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai...”

Kemudian  Asy-Syathibi  mengutip  pernyataan  sebagian  ulama,  bahwa  para sahabat  banyak  yang  berbeda  pendapat  sepeninggal  Nabi  shallallahu  alaihiwasallam,  tetapi  mereka  tidak  bercerai  berai.  Karena  perbedaan  mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari alQur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya. 

Jadi,  setiap  persoalan  yang  timbul  dalam  Islam,  lalu  orang-orang  berbeda pendapat  mengenai  hal  tersebut  dan  perbedaan  itu  tidak  menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut  masuk  dalam  koridor  Islam.  Sedangkan  setiap  persoalan  yang  timbul dalam  Islam,  lalu  menyebabkan  permusuhan,  kebencian,  saling  membelakangi dan  memutus  hubungan,  maka  hal  itu  kami  yakini  bukan  termasuk  urusan agama.  Persoalan  tersebut  berarti  termasuk  yang  dimaksud  oleh  Rasulullah shallallahu  alaihi  wasallam  dalam  menafsirkan  ayat  berikut  ini.  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud  dalam  ayat,  “Sesungguhnya  orang-orang  yang memecah  belah agamanya  dan  mereka  menjadi  bergolongan,  tidak  ada  sedikitpun  tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihiwasallam bersabda: “Mereka adalah  golongan  yang  mengikuti  hawa  nafsu,  ahli  bid’ah  dan  aliran  sesat  dari umat ini.” Demikian uraian Asy-Syathibi.

Setelah  menguraikan  demikian,  kemudian  Asy-Syathibi mencontohkan  dengan aliran  Khawarij.  Di  mana  Khawarij  memecah  belah  umat  Islam,  dan  bahkan sesama  mereka  juga  terjadi  perpecahan.  Mereka  sebenarnya  yang  dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Mereka akan membunuh orangorang Islam, tetapi membiarkan para penyembah berhala.”

Berkaitan dengan aliran Wahhabi, agaknya terdapat kemiripan antara Wahhabi dengan Khawarij, yaitu menjadi pemecah belah umat Islam dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah dibeberkan oleh  Syaikh  Abdul  Muhsin  bin  Hamad  al-‘Abbad  al-Badr,  dosen  di  Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, yang telah diterjemahkan ke dalam  bahasa Indonesia oleh Ali Mushri.

Ada  kisah  menarik  berkaitan  dengan  perpecahan  di  kalangan  Wahhabi.  AD, salah seorang teman saya bercerita pengalaman pribadinya kepada saya. “Pada April  2010  saya  mengikuti  daurah  (pelatihan)  tentang  aliran  Syi’ah  di  Jakarta yang  diadakan  oleh  salah  satu  ormas  Islam  di  Indonesia.  Daurah  itu dilaksanakan  di  Gedung  LPMP  Jakarta  Selatan  dengan  peserta  dari  berbagai daerah  di  seluruh  Indonesia.  Dalam  daurah  tersebut, salah  seorang  pemateri yang beraliran Salafi berkata, “Aliran Syi’ah itu pecah belah menjadi 300 aliran lebih.  Antara  yang  satu  dengan  yang  lain,  saling  membid’ahkan  dan  bahkan saling  mengkafirkan. Jadi,  itulah  tanda-tanda  ahli  bid’ah,  sesama  kelompoknya saja  saling  membid’ahkan  dan  saling  mengkafirkan.  Kalau  Ahlussunnah  WalJama’ah  tidak  demikian.  Tidak  saling  membid’ahkan,  apalagi  saling mengkafirkan.” Demikian kata pemateri Salafi itu.

Setelah sesi dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi dan bertanya,“Ustadz,  Anda  tadi  mengatakan  bahwa  tanda-tanda  ahli  bid’ah  itu,  sesama kelompoknya terjadi perpecahan, saling membid’ahkandan saling mengkafirkan.

Sedangkan  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah  tidak  demikian.  Ustadz,  saya  sekarang bertanya,  siapa  yang  dimaksud  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah  menurut  Ustadz?

Bukankah sesama ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah Wal-Jama’ah, juga terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan.

Misalnya Abdul Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat).

Al-Albani  juga  memvonis  tokoh  Wahhabi  di  Saudi  Arabia  yang  mengkritiknya, sebagai  musuh  tauhid  dan  sunnah.  Komisi  fatwa  Saudi Arabia  yang beranggotakan  al-Fauzan  dan  al-Ghudyan,  serta  ketuanya  Abdul  Aziz  AlusSyaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama Wahhabi yang tinggal di Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij.

Kemudian Husain Alus-Syaikh yang tinggal  di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid’ahkan al-Halabi adalahahli-bid’ah dan bahwa al-Fauzan  telah  berbohong  dalam  fatwanya  tentang  al-Halabi.  Al-Halabi  pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin Yahya al-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi  Arabia,  memvonis  al-Huwaini  dan  al-Mighrawi  yang  tinggal  di  Mesir mengikuti  faham  Khawarij.  Falih  al-Harbi  dan  Fauzi  al-Atsari  dari  Bahrain menuduh  Rabi’  al-Madkhali  dan  Wahhabi  Saudi  lainnya mengikuti  faham Murji’ah. Dan Banyak pula ulama Wahhabi yang hampirsaja menganggap Bakar Abu  Zaid,  ulama  Wahhabi  yang  tinggal  di  Riyadh,  keluar  dari  mainstream Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif al-Nas baina al-Zhann wa al-Yaqin.

Dengan  kenyataan  terjadinya  perpecahan  di  kalangan  ulama  Salafi  seperti  ini,menurut  Ustadz,  layakkah  para  ulama  Salafi  tadi  disebut  Ahlussunnah  WalJama’ah?” Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab:

“Wah, kalau begitu, saya tidak tahu juga ya”. Demikian jawaban Ustadz Salafi itu

yang tampaknya kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.

Beberapa  bulan  sebelumnya,  ketika  data-data  perpecahan  di  kalangan  ulama Salafi  di  Timur  Tengah  tersebut  disampaikan  kepada  Ustadz  Ali  Musri,  tokoh Wahhabi  dari  Sumatera  yang  sekarang  tinggal  di  Jember,  Ustadz  Ali  Musri langsung  mengatakan:  “Data  ini  fitnah.  Di  kalangan  ulama  Salafi  tidak  ada perpecehan.” Demikian jawaban Ustadz Ali Musri padawaktu itu.

Namun  tanpa  diduga  sebelumnya,  beberapa  hari  kemudian,  Ustadz  Ali  Musri membagi-bagikan beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember.

Ketika  saya  mengajar  di  STAIN  Jember,  sebagian  mahasiswa  yang  menerima buku-buku  tersebut,  meminjamkannya  kepada  saya.  Dan ternyata,  di  antara buku  tersebut  ada  yang  berjudul,  Rifqan  Ahl  al-Sunnah  bi-Ahl  al-Sunnah, karangan  Dr.  Abdul  Muhsin  bin  Hamad  al-‘Abbad  al-Badar,  dosen  Ustadz  Ali Musri  ketika  kuliah  di  Jami’ah  Islamiyah,  Madinah  al-Munawwaroh.  Ternyata dalam  kitab  Rifqan  Ahl  al-Sunnah  bi-Ahl  al-Sunnah,  Dr.  Abdul  Muhsin membeberkan terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah dan sampai klimaks, sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa, memutus  hubungan  dan  sebagainya.  Subhanallah,  kesesatan  suatu  golongan dibeberkan oleh orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya”, (QS. 12 : 26).





Mengikuti Teks Mutasyabihat


Kedua, mengikuti teks mutasyabihat, seperti yang diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Adapun orang-orang yang dalamhatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah  untuk  mencari-cari  ta’wilnya”.  (QS.  3  :  7).  Ayat  ini  menegaskan  bahwa orang-orang  sesat  selalu  mengikuti  ayat-ayat  mutasyabihat  dalam  al-Qur’an.

Mereka suka mengikuti teks yang mutasyabih, bukan yang muhkam.

Menurut Asy-Syathibi, yang dimaksud mutasyabih di sini adalah teks yang samar maknanya  dan  belum  dijelaskan  maksudnya.  Menurutnya,  mutasyabih  itu  ada dua; (1) mutasyabih haqiqi seperti lafal-lafal yang mujmal (global) dan ayat-ayat yang secara literal menunjukkan keserupaan Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk. Dan (2) mutasyabih relatif (idhafi), yaituayat yang membutuhkan dalil eksternal  untuk  menjelaskan  makna  yang  sebenarnya,  meskipun  secarasepintas,  teks  tersebut  memiliki  kejelasan  makna,  seperti  ketika  orang-orang Khawarij  berupaya  membatalkan  arbitrase  mengambil  dalil  dari  ayat,  “ini  alhukmu  illa  lillah  (hukum  hanya  milik  Allah)”.  Secara  literal,  ayat  tersebut  dapat dibenarkan  menjadi  dalil  mereka.  Tetapi  apabila  dikaji  lebih  mendalam,  ayat tersebut  masih  membutuhkan  penjelasan.  Berkaitan  dengan  hal  ini  Ibn  Abbas memberikan penjelasan, bahwa hukum Allah subhanahu wa ta’ala itu terkadang terjadi  tanpa  proses  arbitrase,  karena  ketika  Allah subhanahu  wa  ta’ala memerintahkan  kita  melakukan  arbitrase,  maka  hukum  yang  menjadi keputusannya juga dianggap sebagai hukum Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikian pula pernyataan Khawarij yang menyalahkan Sayidina Ali radhiyallahu anhu. Menurut Khawarij, “Ali telah memerangi musuhnya, tetapi tidak melakukan penawanan.”  Di  sini  kaum  Khawarij  membatasi  logika  mereka  pada  satu  sisi saja, yaitu kalau memang kelompok ‘Aisyah dan Muawiyah itu boleh diperangi, mengapa  mereka  tidak  dijadikan  tawanan  oleh  Ali  sebagaimana  Rasulullah shallallahu  alaihi  wasallam  menawan  musuh-musuhnya  dalam  peperangan?

Dalam  logika  berpikir  ini,  Khawarij  telah  meninggalkan  sisi  lain,  yaitu  sisi  yang dijelaskan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dan  jika  ada  dua  golongan  dari  orang-orang  mu’min  berperang  maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya  terhadap  golongan  yang  lain,  maka  perangilah golongan  yang  berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. 49 : 9).

Ayat  tersebut  menjelaskan  tentang  peperangan  tanpa  operasi  penawanan

sesudahnya  terhadap  pihak  yang  kalah.  Hal  ini  yang  tidak  disadari  oleh  kaum Khawarij.  Akan  tetapi  dalam  perdebatan  dengan  Khawarij,  Ibn  Abbas mengingatkan  mereka  pada  aspek  yang  lebih  mematahkan,  yaitu  bahwa  jika dalam  peperangan  Ali  radhiyallahu  anhu  terjadi  operasi  penawanan,  maka sebagian  mereka  akan  mendapat  bagian  Ummul  Mu’minin ‘Aisyah  sebagai tawanannya.  Dengan  demikian,  pada  akhirnya  mereka  akan  menyalahi  alQur’an, yang mereka klaim berpegang teguh dengannya.

Berkaitan  dengan  aliran  Wahhabi,  kita  dapati  mereka selalu  berpegangan

dengan ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya ketika kaumWahhabi membaca ayat al-Qur’an,  “Kami  tidak  menyembah  mereka  melainkan  supaya  mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”, (QS. 39 : 3), maka mereka  mengatakan  bahwa  orang  yang  berdoa  kepada  Allah  subhanahu  wa ta’ala melalui  perantara  (tawassul)  orang  yang  sudah  wafat, berarti  telah  syirik dan  kafir.  Kaum  Wahhabi  lupa,  bahwa  di  samping  mereka  tidak  memahami makna  ibadah  secara  benar,  mereka  juga  tidak  menyadari  bahwa  bertawassul dengan para nabi dan orang-orang saleh, telah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi  wasallam,  para  sahabat,  tabi’in  dan  generasi penerusnya.  Sehingga dengan  pemahaman  yang  dangkal  terhadap  ayat  tersebut,  Wahhabi  akhirnya terjerumus pada pengkafiran terhadap kaum Muslimin.Dan jika diamati dengan seksama, dalam setiap pendapat yang keluar dari mainstream kaum Muslimin, kaum  Wahhabi  biasanya  mengikuti  teks-teks  literal  yang  tidak  dipahami maknanya  secara  benar.  Al-Imam  Asy-Syathibi  berkata dalam  kitabnya  alI’tisham yang sangat populer:

“Renungkanlah,  logika  berpikir  mengikuti  ayat-ayat  mutasyabihat,  dapat membawa seseorang pada kesesatan dan keluar dari jamaah. Oleh karena itu

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian melihat orangorang  yang  mengikuti  ayat-ayat  mutasyabihat,  maka  merekalah  orang-orang yang  disebutkan  oleh  Allah  (sebagai  orang-orang  yang  sesat).  Hati-hatilah

dengan mereka”.





Mengikuti Hawa Nafsu


Ketiga,  mengikuti  hawa  nafsu  sebagaimana  diingatkan oleh  firman  Allah

subhanahu wa ta’ala, “Adapun orang-orang yang dalamhatinya condong pada

kesesatan  (zaigh)”,  (QS.  3  :  3).  Kesesatan  (zaigh)  adalah  lari  dari  kebenaran karena  mengikuti  hawa  nafsu.  Dalam  ayat  lain,  “Dan  siapakah  yang  lebih sesat dari  pada  orang  yang  mengikuti  hawa  nafsunya  dengan  tidak  mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (QS. 28 : 50).


Ada  kisah  menarik  berkaitan  dengan  mengikuti  hawa  nafsu  ini.  Ketika  orangorang  Khawarij  mengasingkan  diri  dan  menjadi  kekuatan  oposisi  terhadap Khalifah  Ali  bin  Abi  Thalib  radhiyallahu  anhu,  Ali  selalu  didatangi  orang-orang yang  memberinya  saran:  “Wahai  Amirul  Mu’minin,  mereka  melakukan  gerakan melawan Anda.” Ali radhiyallahu anhu hanya menjawab: “Biarkan saja mereka.

Aku tidak akan memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti  melakukannya.”  Sampai  akhirnya  pada  suatu  hari,  Ibn  Abbas mendatanginya sebelum waktu zhuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon  shalat  zhuhur  agak  diakhirkan,  aku  hendak  mendatangi  mereka (Khawarij)  untuk  berdialog  dengan  mereka.”  Ali  radhiyallahu  anhu  menjawab:

“Aku  khawatir  mereka  mengapa-apakanmu.”  Ibn  Abbas  berkata:  “Tidak  perlu khawatir.  Aku  laki-laki  yang  baik  budi  pekertinya  dan  tidak  pernah  menyakiti orang.”  Akhirnya  Ali  radhiyallahu  anhu  merestuinya. Lalu  Ibn  Abbas  memakai pakaian yang paling bagus produk negeri Yaman.

Ibn Abbas berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada  waktu  terik  matahari.  Setelah  aku  mendatangi  mereka,  aku  tidak  pernah melihat  orang  yang  lebih  bersungguh-sungguh  dari  pada  mereka.  Pada  dahi mereka tampak sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah.

Lalu  aku  mengucapkan  salam  kepada  mereka.  Mereka  menjawab:  “Selamat datang Ibn Abbas. Apa keperluanmu?”

Aku menjawab: “Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka.

Mereka  lebih  mengetahui  maksud  al-Qur’an  dari  pada  kalian.  Lalu  sebagian mereka  berkata,  “Jangan  berdebat  dengan  kaum  Quraisy,  karena  Allah subhanahu  wa  ta’ala  berfirman:  “Sebenarnya  mereka  adalah  kaum  yang  suka bertengkar”. (QS. 43 : 58). Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog dengan Ibn Abbas.” Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka.  Setelah  Ibn  Abbas  berhasil  mematahkan  argumentasi  mereka,  maka 2000  orang  Khawarij kembali  kepada  barisan  Sayidina Ali  bin  Abi  Thalib radhiyallahu anhu. Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya.

2000 orang tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan  hawa  nafsu  mereka.  Sementara  yang  lainnya,  telah  dikalahkan oleh hawa nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.

Kita  seringkali  melihat  atau  mendengar  kisah  perdebatan  para  ulama

Ahlussunnah  Wal-Jama’ah  dengan  tokoh-tokoh  ahli  bid’ah,  misalnya  orang Syi’ah,  Wahhabi,  atau  lainnya.  Akan  tetapi  meskipun mereka  berulangkali dikalahkan  dalam  perdebatan,  dengan  dalil-dalil  al-Qur’an,  Sunnah  dan pandangan ulama salaf, mereka tidak pernah kembali kepada kebenaran, karena hawa nafsu telah mengalahkan mereka.

 

Tidak Mengetahui Posisi Sunnah


Al-Imam  Asy-Syathibi  dalam  kitabnya  al-I’tisham  membuat  sebuah  pertanyaan yang  dijawabnya  sendiri,  mengapa  seseorang  itu  mengikuti  hawa  nafsu  dan kemudian pendapat-pendapatnya menjelma dalam bentuksebuah aliran sesat?

Hal  tersebut  ada  kaitanya  dengan  latar  belakang  lahirnya  aliran-aliran  sesat, yang  sebagian  besar  berangkat  dari  ketidaktahuan  terhadap  Sunnah.  Hal  ini seperti diingatkan oleh sebuah hadits shahih, “Manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin”.

Menurut  Asy-Syathibi,  setiap  orang  itu  mengetahui  terhadap  dirinya  apakah ilmunya  sampai  pada  derajat  menjadi  mufti  atau  tidak.  Ia  juga  mengetahui apabila  melakukan  introspeksi  diri  ketika  ditanya  tentang  sesuatu,  apakah  ia berpendapat  dengan  ilmu  pengetahuan  yang  terang  tanpa  kekaburan  atau bahkan  sebaliknya.  Ia  juga  mengetahui  ketika  dirinya  meragukan  ilmu  yang dimilikinya.  Oleh  karena  itu,  menurut  Asy-Syathibi, seorang  alim  apabila keilmuannya  belum  diakui  oleh  para  ulama,  maka  kealimannya  dianggap  tidak ada, sampai akhirnya para ulama menyaksikan kealimannya.

Kaitannya dengan aliran Wahhabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sang pendiri  aliran  Wahhabi  sendiri,  termasuk  orang  yang tidak  jelas  kealimannya.

Tidak  seorang  pun  dari  kalangan  ulama  yang  semasa  dengan  Syaikh

Muhammad, yang mengakui kealimannya. Bahkan menurutSyaikh Ibn Humaid dalam  al-Suhub  al-Wabilah,  kitab  yang  menghimpun  biografi  para  ulama madzhab Hanbali, Syaikh Muhammad sering dimarahi ayahnya, karena ia tidak rajin  mempelajari  ilmu  fiqih  seperti  para  pendahulu dan  orang-orang  di

daerahnya. Pernyataan Syaikh Ibn Humaid, diperkuat dengan pernyataan Syaikh Sulaiman  bin  Abdul  Wahhab,  kakak  kandung  Syaikh  Muhammad  bin  Abdul Wahhab al-Najdi, yang mengatakan dalam kitabnya al-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi alRadd ‘ala al-Wahhabiyyah:

 “Hari  ini  manusia  mendapat  ujian  dengan  tampilnya  seseorang  yang

menisbatkan dirinya kepada al-Qur’an dan al-Sunnah  dan menggali hukum dari ilmu-ilmu  al-Qur’an  dan  Sunnah.  Ia  tidak  peduli  dengan  orang  yang  berbeda dengannya.  Apabila  ia  diminta  membandingkan  pendapatnya  terhadap  para ulama,  ia  tidak  mau.  Bahkan  ia  mewajibkan  manusia  mengikuti  pendapat  dan konsepnya.  Orang  yang  menyelisihinya,  dianggap  kafir.  Padahal  tak  satu  pun dari  syarat-syarat  ijtihad  ia  penuhi,  bahkan  demi  Allah,  1  %  pun  ia  tidak memiliknya. Meski demikian pandangannya laku di kalangan orang-orang awam.

Inna lillah wa inna ilayhi raji’un.” 
(Syaikh Sulaiman, al-Shawaiq al-’Ilahiyyah, hal.5).

Dewasa ini, para pengikut aliran Wahhabi atau Salafi, sebagian besar memang orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan agama yang memadai. Ada kisah  menarik  berkaitan  hal  ini.  Bahrul  Ulum,  teman saya  yang  tinggal  di Surabaya, bercerita kepada saya.

“Suatu  hari  saya  mendatangi  Ustadz  Mahrus  Ali  yang  populer  dengan  mantan kiai  NU,  di  rumahnya,  Waru  Sidoarjo.  Ternyata  Ustadz  Mahrus  Ali  sedang menulis  buku  yang  isinya  mengharamkan  ayam.  Melihat tulisan  tersebut,  saya segera  membuka  Shahih  al-Bukhari,  dan  di  situ  ada  sebuah  hadits  yang menerangkan  bahwa  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wasallam  pernah  makan ayam.  Saya  tunjukkan  kepada  Ustadz  Mahrus  Ali,  hadits  dalam  Shahih  alBukhari  itu  sambil  menyerahkan  kitabnya.  Ternyata,  di  luar  dugaan,  Ustadz Mahrus  Ali  bilang,  “Hadits  ini  hanya  diriwayatkan  oleh  seorang  sahabat  saja.”

Mendengar  jawaban  tersebut,  saya  terkejut.  Ternyata Ustadz  Mahrus  Ali

mengikuti logika orientalis, menolak otoritas hadits ahad.” Demikian cerita Bahrul Ulum.

Menurut  saya,  sebenarnya  Mahrus  Ali  itu  bukan  bermaksud  mengikuti  logika orientalis.  Ia  hanya  bermaksud  menutupi  rasa  malunya  saja  dengan  alasan bahwa  hadits  tersebut  hanya  diriwayatkan  oleh  seorang  sahabat  saja.  Sebab dalam  logika  Wahhabi,  kedudukan  hadits  ahad  (kebalikan  hadits  mutawatir) sama dengan hadits mutawatir, sama-sama menjadi pedoman dalam akidah danhukum.

Sekitar dua tahun yang lalu, saya sering mendapat pertanyaan, mengapa LBM

NU Jember tidak menulis bantahan terhadap buku-bukuMahrus Ali yang baru.

LBM hanya membantah buku Mahrus Ali yang pertama. Kami dari tim LBM NU Jember  memang  tidak  menulis  bantahan  terhadap  buku-buku  Mahrus  Ali  yang baru,  karena  disamping  buku-buku  yang  baru,  dalil  dan  argumentasinya  sama dengan  buku  yang  pertama,  juga  dalam  buku-buku  yang baru,  pendapatpendapatnya banyak yang berangkat dari ketidaktahuan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terdapat dalam kitab-kitab hadits.

Misalnya dalam buku kedua, Mahrus Ali mengatakan, “Kini, saya tidak mau lagi mencium tangan guru-guru saya, karena saya tidak pernah melihat para sahabat mencium  tangan  Nabi  shallallahu  alaihi  wasallam.”  Pernyataan  ini  jelas menyingkap  siapa  sebenarnya  Mahrus  Ali.  Bukankah  hadits-hadits  yang menerangkan  bahwa  para  sahabat  mencium  tangan  Nabi  shallallahu  alaihi wasallam terdapat dalam kitab standart yang enam. Bahkan sebagian ulama ahli hadits  dari  generasi  salaf,  yaitu  al-Imam  al-Hafizh Abu  Bakr  Ibn  al-Muqri’  alAshbihani, menulis kitab khusus tentang mencium tangan berjudul Juz’ fi Taqbil al-Yad.  Tetapi  Ustadz  Mahrus  Ali,  seperti  kebiasaan kaum  Wahhabi,  memang sangat  mudah  mendistribusikan  vonis  bid’ah  dan  syirik  terhadap  hal-hal  yang tidak disetujuinya, tanpa mengetahui dalil-dalil yang semestinya.





Menghujat Generasi Salaf


Menurut al-Imam Asy-Syathibi, dari ketiga tanda-tanda aliran sesat di atas, tanda yang  pertama  diterangkan  dalam  hadits-hadits  iftiraq  (yang  menerangkan tentang  perpecahan  umat  Islam).  Sedangkan  tanda-tanda  kedua  dan  ketiga, yaitu  mengikuti  teks  mutasyabihat  dan  hawa  nafsu,  tidak  diterangkan  dalam hadits-hadits iftiraq, akan tetapi disebutkan dalamayat al-Qur’an (QS. 3 : 7).

Selain hal tersebut, Asy-Syathibi juga menerangkan  bahwa ciri khas ahli bid’ah dapat diketahui dari awal pembicaraan. Yaitu setiap bertemu orang lain, ia akan membeberkan  kejelekan  orang-orang  terdahulu  yang  dikenal  alim,  saleh  dan menjadi  panutan  umat.  Sebaliknya  ia  akan  menyanjung setinggi  langit,  orangorang yang berbeda dengan para tokoh panutan tersebut.

Dalam  hal  ini  Asy-Syathibi  memberikan  contoh  bagi  kita,  bagaimana  kaum Khawarij  mengkafirkan  para  sahabat  Nabi  shallallahualaihi  wasallam.  Padahal para sahabat telah dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an dan dipuji oleh Rasulullah shallallahu  alaihi  wasallam  dalam  hadits-hadits  shahih.  Sebaliknya,  kaum Khawarij  justru  memuji  Abdurrahman  bin  Muljam  al-Muradi  karena  telah membunuh Sayidina Ali radhiyallahu anhu.

Perbuatan  serupa  juga  dilakukan  oleh  orang-orang  Syi’ah.  Syi’ah  telah menghujat  dan  mengkafirkan  para  sahabat.  Menurut  Syiah,  seperti  dalam riwayat al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, sesudah Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat, semua sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang saja, yaitu Salman alFarisi, Abu Dzarr al-Ghifari dan Miqdad bin al-Aswad.

Sementara kaum Wahhabi, secara ekslpisit tidak mengkafirkan para sahabat dan generasi  salaf.  Namun  dari  pandangan  mereka  yang  membid’ahkan  dan mengkafirkan beberapa amaliah generasi salaf sejak  masa sahabat, tabi’in dan generasi  penerusnya,  seperti  amaliah  tawassul,  istighatsah,  tabarruk  dan  lainlain,  sebagian  ulama  menganggap  kaum  Wahhabi  telah  membid’ahkan  dan mengkafirkan  generasi  salaf  secara  implisit.  Bukankah  amaliah  tawassul, tabarruk, istighatsah dan lain-lain yang menjadi isu-isu kontroversi antara kaum Sunni  dengan  Wahhabi,  telah  diajarkan  oleh  kaum  salaf,  generasi  sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya. Sebaliknya, kaum W ahhabi justru menganggap orang-orang  Musyrik  seperti  Abu  Jahal,  Abu  Lahab  dan  lain-lain  lebih  mantap tauhidnya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul.

Belakangan, dari kaum Wahhabi kontemporer tidak sedikit terlontar pernyataan tokoh-tokoh mereka yang menistakan generasi salaf secara parsial (juz’i). Syaikh Abdul  Aziz  bin  Abdullah  bin  Baz,  misalnya  menganggap  sahabat  Bilal  bin  alHarits al-Muzani radhiyallahu anhu telah musyrik, dalam komentarnya terhadap kitab  Fath  al-Bari  Syarh  Shahih  al-Bukhari  karena  melakukan  istighatsah  di makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada masa Khalifah Umar bin alKhaththab radhiyallahu anhu. Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam fatwanya, menganggap al-Imam al-Nawawi dan al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani bukan pengikut Ahlussunnah.

Syaikh Nashir al-Albani dalam fatwanya mengkafirkan al-Imam al-Bukhari karena melakukan  ta’wil  terhadap  ayat  mutasyabihat  dalam  al-Qur’an.  Dalam  kitab  alTawassul  Ahkamuhu  wa  Anwa’uhu,  al-Albani  juga  mencela  Sayyidah  ‘Aisyah, dan menganggapnya tidak mengetahui kesyirikan. Syaikh Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan al-Ghamidi, menganggap al-Imam al-Hafizh al-Lalika’i, pengarang kitab Syarh  Ushul  I’tiqad  Ahl  al-Sunnah  wa  al-Jama’ah,  tidak  bersih  dari  kesyirikan.

Demikian  sekelumit  contoh  penistaan  tokoh-tokoh  Wahhabi  terhadap  generasi salaf dan para ulama terkemuka secara parsial.





Sulit Diajak Dialog Terbuka


Pada  bulan  Maret  2008,  tim  LBM  NU  Jember  mengajak  Mahrus  Ali  untuk berdialog dan berdebat secara terbuka di IAIN SunanAmpel Surabaya. Hasilnya, dengan berbagai alasan Mahrus Ali tidak siap datang. Sesudah itu, beberapa kali ia  diajak  dialog  di  Universitas  Diponegoro  Semarang,  kemudian  di  Universitas Brawijaya Malang, ia juga tidak siap. Dan terakhir  dia diajak dialog di masjid di sebelah  rumah  tempat  tinggalnya,  ternyata  ia  tidak  datang.  Sepertinya  ia  tidak berani  berdialog  terbuka  dengan  para  ulama,  karena  ia  merasa  yakin  bahwa dalil-dalil yang dimilikinya sangat lemah sekali dan tidak akan mampu bertahan di arena perdebatan ilmiah. 

Al-Imam  Asy-Syathibi  menjelaskan  dalam  al-I’tisham, bahwa  sebagian  besar kaum  ahli  bid’ah  dan  pengikut  aliran  sesat  tidak  suka  berdialog  dan  berdebat dengan  pihak  lain.  Menurut  Asy-Syathibi,  mereka  tidak  akan  membicarakan pendapatnya  dengan  orang  yang  alim,  khawatir  kelihatan  kalau  pendapat mereka  tidak  memiliki  landasan  dalil  syar’i  yang  otoritatif.  Sikap  yang  mereka tampakkan  ketika  bertemu  dengan  orang  alim  adalah  sikap  pura-pura.  Tetapi ketika mereka bertemu dengan orang awam, mereka akan mengajukan sekian banyak  kritik  dan  sanggahan  terhadap  ajaran  dan  amaliah  umat  Islam  yang sesuai dengan syari’at. Sedikit demi sedikit, mereka masukkan ajaran bid’ahnya kepada kalangan awam.

Dalam beberapa kali diskusi dengan kaum Wahhabi, seperti awal Agustus 2010 di  Sampang,  beberapa  bulan  sebelumnya  di  Yogyakarta dan  Juli  2010  di Denpasar,  tidak  sedikit  dari  kalangan  Wahhabi  yang  melontarkan  pernyataan kepada saya, “Kita tidak perlu berdialog soal-soal khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi. Ini sama sekali tidak penting. Musuh kita  orang-orang kafir, Amerika, Zionis  dan  lainnya  yang  dengan  rapi  berupaya  menghancurkan  umat  Islam.”

Begitulah kira-kira ucapan mereka.

Tentu  saja  ucapan  itu  mereka  lontarkan  ketika  posisi  mereka  terdesak  dalam arena  perdebatan  dan  diskusi  ilmiah  yang  disaksikan oleh  publik.  Mereka merasa  khawatir,  pandangan-pandangan  mereka  yang  keluar  dari mainstream kaum Muslimin akan terbongkar kelemahan dan kerapuhannya. Terbukti, mereka sendiri  ketika  berbicara  di  hadapan  orang  awam,  tidak  pernah  berhenti membid’ahkan dan mengkafirkan umat Islam di luar golongan mereka. Bahkan selama  ini,  kelompok  mereka  sangat  agresif  membicarakan  dan  menyebarkanisu-isu  khilafiyah  antara  Sunni  dengan  Wahhabi,  maupun  dengan  lainnya.  AlImam Asy-Syathibi berkata dalam al-I’tisham:

“Jangan berharap mereka (ahli bid’ah) akan berdialog dengan seorang alim yang pakar dalam ilmunya.”

Sumber  :
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi"

2014@abdkadiralhamid
 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sunni Vs Wahabi : Tanda-Tanda Aliran Sesat Menurut Al-Syathibi"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip