//

WAHABI ATAU SUNNI, PENGIKUT AL-QUR’AN HADITS? Bongkar Dusta Buku Manhaj Salafi Imam Syafi’i (part 4)


Oleh Muhammad Idrus Ramli





WAHABI: Dalam beragama, Anda harus mengikuti al-Qur’an dan hadits, jangan mengikuti ilmu kalam.

SUNNI: Kita memang harus mengikuti al-Qur’an dan hadits. Tetapi untuk memahami al-Qur’an dan hadits secara benar dan mendalam, kita membutuhkan perangkat. Untuk menggali hukum-hukum fiqih dalam al-Qur’an dan hadits, perangkatnya disebut ilmu ushul fiqih. Untuk mengetahui hadits yang shahih dan yang tidak shahih, perangkatnya disebut ilmu hadits. Untuk mendalami al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan akidah dan keimanan, perangkatnya disebut ilmu kalam. Untuk membaca al-Qur’an dengan benar, perangkatnya disebut ilmu tajwid. Tanpa perangkat tersebut, pengetahuan kita terhadap al-Qur’an dan hadits menjadi dangkal dan kering, seperti yang terjadi pada kaum Wahabi.

WAHABI: Ilmu kalam itu justru bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits, karena landasannya hanya dalil akal saja.

SUNNI: Anda harus tahu, bahwa mayoritas ahli tafsir dan ahli hadits mengikuti madzhab Asya’irah dan Maturidiyah. Jika Anda tidak tahu, silahkan Anda baca kitab Naqdu Manhaj al-Asya’irah fi al-‘Aqidah halaman 5, karya ulama Wahabi, Dr Safar al-Hawali, yang mengakui bahwa mayoritas ulama, ahli tafsir dan ahli hadits pengikut Asya’irah, yang menjadi bukti bahwa ilmu kalam itu juga memiliki dasar dalam al-Qur’an dan hadits. Tentu memiliki dasar, menurut orang yang benar-benar belajar secara mendalam ilmu tafsir dan hadits, bukan yang belajar secara sepotong dan dalam waktu yang cukup singkat seperti Wahabi.

WAHABI: Mana dasarnya, bahwa akal dan ilmu kalam diakui sebagai dalil dalam al-Qur’an?

SUNNI: Silahkan Anda baca artikel berikut ini. Kalau Anda tidak setuju, tulis bantahan secara ilmiah.
DASAR TEORI ILMU KALAM DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS

Prolog
Apabila ada kelompok menolak penggunaan metodologi rasional dalam bidang ilmu akidah, kita pantas bertanya kepadanya, bagaimana Anda dapat mengetahui kebenaran agama tanpa akal? Atau dengan kata lain, bagaimana Anda percaya dengan isi al-Qur’an dan hadits tanpa berkonsultasi dan merujuk kepada akal? Bukankah Allah SWT telah berfirman?

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً. (الإنسان 3).

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insan : 3).

Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ. (الملك 10).

Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. al-Mulk : 10).

Dalam kedua ayat tersebut, al-Qur’an memperhatikan peran akal dalam mengantar seseorang menuju keimanan dan amal yang baik ketika di dunia. Oleh karena itu, al-Imam Abu Hanifah radhiyallaahu ‘anhu berkata tentang fungsi akal yang diberikan oleh Allah kepada mereka:

وجعل لهم عقلاً فخاطبهم وأمرهم بالإيمان ، ونهاهم عن الكفر والكفران ، فأقرُّوا له بالربوبية ، فكان ذلك منهم إيماناً ، فهم يولدون على تلك الفطرة ، ومن كفر بعد ذلك فقد بدَّل وغيَّر ، ومن آمن وصدَّق ثبت عليه ودام

Allah menciptakan akal buat mereka, lalu Dia berbicara kepada mereka, memerintahkan mereka dengan keimanan dan melarang mereka dari kekufuran, maka mereka mengakui ketuhanan kepada-Nya. Maka hal itulah yang disebut keimanan bagi mereka. Mereka dilahirkan dalam fitrah tersebut. Maka barangsiapa yang kufur setelah itu, maka ia berarti telah merubah fitrahnya. Dan barangsiapa yang beriman dan membenarkan, berarti ia masih kokoh dan tetap dalam fitrahnya. (Al- al-Qari, Minah al-Raudh al-Azhar fi Syarh al-Fiqh al-Akbar, hlm 146-148).


Dasar-Dasar Metodologi Ilmu Kalam

Dalam teori ilmu kalam, penggunaan dalil-dalil rasional lebih dimaksimalkan daripada penggunaan dalil-dalil naqli (al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’). Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalil naqli dijadikan petunjuk awal dalam mencari kebenaran dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah. Sedangkan akal dijadikan sarana dalam membuktikan kebenaran hal-hal yang telah ditunjukkan dalil naqli tersebut. Hal ini bukan berarti bahwa teori rasional ilmu kalam tidak memiliki dasar-dasar dalam dalil naqli. Justru teori rasional ilmu kalam memiliki dasar yang kuat dan original dalam dalil naqli.


DALIL TAMANU’ DAN TAWARUD

Dalam pokok-pokok ketauhidan, dalil-dalil rasional ilmu kalam diambil dari beberapa ayat al-Qur’an berikut ini:

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا. (الأنبياء 22).

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiya’ : 22)

Ayat di atas sangat lugas dan ringkas dalam menyampaikan dalil ‘aqli tentang keesaan Tuhan, bahwa Allah itu Maha Esa tanpa ada sesuatu yang menjadi sekutu-Nya. Allah SWT juga berfirman:

مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِن وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذاً لَّذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ.) المؤمنون 91).

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. (QS. al-Mu’minun : 91).

Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:

أم جَعَلُواْ لِلّهِ شُرَكَاء خَلَقُواْ كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ. (الرعد 16).

Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka? (QS. al-Ra’d : 16).

Ayat-ayat di atas adalah rujukan para ulama ahli ilmu kalam dalam berhujjah tentang ketauhidan Allah. Demikian pula pembicaraan mereka tentang rincian cabang-cabang persoalan tauhid dan keadilan Tuhan, juga merujuk dan diambil dari al-Qur’an.
DALIL SETIAP PERKARA BARU ADA PERMULAANNYA

Para ulama ahli kalam memperbincangkan, bahwa semua perkara yang baru ini pasti ada permulaannya. Mereka juga membantah terhadap kaum ateis yang mengatakan bahwa setiap gerakan pasti didahului oleh gerakan sebelumnya, dan setiap hari pasti didahului oleh hari sebelumnya, serta terhadap mereka yang berpendapat bahwa setiap bagian pasti dapat dibagi menjadi dua tanpa ada batas akhirnya. Argumentasi para ahli kalam tersebut didasarkan pada hadits shahih berikut ini:

عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه أنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : (لا عدوى ولا صفر ولا هامة. فقال أعرابي : يا رسول الله. فما بال الإبل تكون في الرمل كأنها الظباء ، فيجيء البعير الأجرب فيدخل فيها فيجربها كلها ؟ قال : فمن أعدى الأول ؟ فسكت الأعرابيُ. رواه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit yang menular, tidak ada sial di bulan Safar, dan tidak ada hammah”. Lalu seorang a’rabi bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan unta sehat berkumpul dengan unta kudisan kulitnya, sehingga unta tersebut menjadi kudisan pula?” Beliau menjawab: “Lalu siapa yang menularkan (kudis) pada unta yang kudisan pertama?” Lalu orang a’rabi itu diam. (HR. Muslim [2220]).

Hadits di atas sangat tegas, bagi setiap kejadian ada permulaannya.
DALIL BATALNYA TASALSUL DAN ANALOGI

Para ulama ahli kalam juga membantah terhadap mereka yang berasumsi bahwa setiap gerakan pasti didahului oeh gerakan sebelumnya. Menurut ahli kalam, seandainya setiap gerakan pasti didahului oleh gerakan sebelumnya tanpa ada batasnya, tentu gerakan tersebut tidak pernah terjadi. Karena sesuatu (makhluk) yang tidak terbatas memang tidak pernah terjadi. Dalam teori ilmu kalam, hal ini disebut dengan istilah tasalsul, mata rantai yang tidak terbatas. Bantahan ahli kalam didasarkan pada hadits berikut ini:

عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه أنه قال : جاء رجل من بني فزارة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : إن امرأتي ولدت غلاماً أسود فقال النبي صلى الله عليه وسلم : هل لك من إبل ؟ قال : نعم ، قال : فما ألوانها ؟ قال : حمر قال : هل فيها من أورق ؟ قال : إن فيها لورقاً ، قال : فأنى أتاها ذلك ؟ قال : عسى أن يكون نزعه عرق ، قال : وهذا عسى أن يكون نزعه عرق.

Abu Hurairah RA berkata: “Seorang laki-laki dari Bani Fazarah datang kepada Nabi SAW, lalu berkata: “Sesungguhnya istriku telah melahirkan seorang anak laki-laki yang berkulit hitam.” Nabi SAW berkata: “Apakah kamu mempunyai unta?” Ia menjawab: “Iya.” Beliau bertanya: “Apa warna unta-untamu?” Ia menjawab: “Merah-merah.” Beliau bertanya lagi: “Adakah yang berwarna hitam keabu-abuan?” Ia menjawab: “Iya, ada yang berwarna hitam keabu-abuan.” Beliau bertanya: “Dari mana untamu yang berwarna seperti itu?” Ia menjawab: “Barangkali menyerupai unta asalnya.” Beliau berkata: “Barangkali anakmu juga menyupai asalnya (nenek moyangnya)”. (HR. Muslim, [1500]).

Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW mengajarkan kita agar menganalogikan sesuatu dengan padanannya. Apabila unta-unta yang merah dapat melahirkan anak yang berwarna hitam keabu-abuan, maka tidak menutup kemungkinan, seorang suami-istri yang berkulit putih melahirkan anak yang berkulit hitam. Hadits di atas menjadi dalil para ulama ahli kalam dalam menganalogikan hukum sesuatu dengan padanannya atau yang menyerupainya.
DALIL TERBAGINYA BENDA PADA JISIM DAN JAUHAR

Para ulama ahli kalam juga berpendapat bahwa benda (jisim) itu ada batasnya dan sampai pada bagian yang tidak terbagi lagi (juz’ la yanqasim) yang disebut dengan jauhar. Pendapat ini didasarkan pada ayat al-Qur’an:

وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ. (يس 12).

Dan segala sesuatu Kami himpun dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuz). (QS. Yasin : 12).

Ayat di atas menegaskan, bahwa segala sesuatu yang ada telah dicatat dan dihimpun dalam kitab induk yang nyata yang disebut dengan lauh mahfuzh. Hal ini membuktikan bahwa semua makhluk yang ada ini terbatas. Sangat mustahil, sesuatu yang tidak terbatas dihimpun dan dikumpulkan menjadi satu.
DALIL BAHWA TUHAN BERSIFAT IRADAH DAN MAMPU MENCIPTAKAN

Tuhan yang menciptakan alam, wajib memiliki sifat iradah, yaitu melakukan sesuatu berdasarkan kehendak dan pilihan-Nya, bukan karena terpaksa. Dalil tentang sifat tersebut adalah ayat berikut ini:

أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ ، أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ. (الواقعة 58 – 59).

Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kami kah yang menciptakannya? (QS. al-Waqi’ah : 58-59).

Ayat di atas memberikan penjelasan, bahwa seorang laki-laki yang memancarkan spermanya ke rahim istrinya, belum tentu bisa memciptakan anak, meskipun ia sangat mendambakannya. Hal ini mengingatkan, bahwa Tuhan itu adalah Dzat yang mudah menciptakan makhluk sesuai dengan rencana dan kehendaknya.
DALIL BAHWA TENGGELAM DAN BERGESER MENJADI BUKTI KETIDAK ABADIAN 

Bacalah kisah Nabi Ibrahim AS, ketika melihat, berfikir dan merenungkan bintang-bintang, matahari dan bulan. Ketika ia bermaksud membatalkan asumsi kaumnya yang mempertuhankan selain Allah, ia berpikir secara rasional bahwa bintang-bintang, matahari dan bulan tersebut selalu berubah, tenggelam, bergerak dan berpindah dari satu kondisi ke kondisi yang lain, dan demikian itu menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak boleh terjadi pada Tuhan. Allah SWT berfirman:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ. (الأنعام 76).

Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". (QS. al-An’am : 76).

Ayat di atas memberikan pengertian, bahwa perubahan bintang dari kelihatan, kemudian tenggelam, membuktikan bahwa bintang itu bukan Tuhan. Karena bergeser dan tenggelam bukanlah sifat Tuhan, akan tetapi sifat makhluk yang baru. Orang-orang Arab dulu meyakini bahwa Matahari itu berputar mengelilingi bumi dan terbenam dengan sendirinya. Tenggelamnya Matahari yang mereka saksikan adalah gerakan yang mereka namakan aful (tenggelam), karena tenggelam berarti bergerak dan lenyap. Demikian penafsiran ulama salaf terhadap ayat tersebut. Al-Imam Qatadah bin Du’amah al-Sadusi (w. 118 H) berkata:

ذكر لنا نبي الله إبراهيم صلى الله عليه وسلم بعدما أراه الله ملكوت السماوات .... علم أن ربه دائم لا يزول

Nabi Ibrahim SAW menyebutkan kepada kita, setelah Allah memperlihatkan kerajaan langit padanya, maka ia meyakini bahwa Tuhannya kekal dan tidak lenyap. (Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 4 hlm 1329 [7515], al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, juz 9 hlm 356 dan Tafsir Ibnu Katsir hlm 700). Qatadah juga menafsirkan lafal afilin dengan makna lenyap. (Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 4 hlm 1329 [7516]).

Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh ulama salaf yang lain. Al-Imam al-Akhfasy al-Ausath (w. 215 H), pakar gramatika Arab, berkata:

وإنما هذا مثل ضربَه لهم ليعرفوا إذا هو زال : لا ينبغي أن يكون مثله إلهاً ، وليدلهم على وحدانية الله ، وأنه ليس مثله شيء

Ucapan Nabi Ibrahim di atas hanyalah perumpamaan yang dibuat oleh beliau kepada kaumnya, agar mereka mengetahui apabila bintang tersebut lenyap dan tenggelam, maka hal yang seperti itu tidak layak menjadi Tuhan. Ia bermaksud menunjukkan kepada mereka tentang keesaan Allah dan tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengan Allah. (Ma’ani al-Qur’an, hlm 306 [398]).

Ibnu Qutaibah al-Dinawari (w. 276 H) juga berkata:

أراهم النقص الداخل على النجم بالأفول لأنه ليس ينبغي لإله أن يزول ولا أن يغيب واعتبر مثل ذلك في الشمس والقمر حتى تبين للقوم ما أراد من غير جهة العناد والمبادأة بالتنقص والعيب.

Nabi Ibrahim AS memperlihatkan kepada kaumnya tentang kekurangan yang terdapat pada bintang berupa tenggelam. Karena tenggelam dan lenyap tidak layak bagi tuhan. Demikian pula matahari dan bulan, sehingga apa yang dikehendaki Ibrahim menjadi jelas bagi kaumnya tanpa menentang mereka dan memulai dengan mengurangi dan mencela. (Ibnu Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, hlm 336).

Pakar bahasa yang hidup pada masa salaf, al-Imam al-Zajjaj al-Hanbali (w. 310 H) juga berkata:

لا أحب من كانت حالته أن يطلع ويسير على هيئة يتبين معها أنه محدث منتقل من مكان إلى مكان ، كما يفعل سائر الأشياء التي أجمعتم معي على أنها ليست بآلهة أي لا أتخذ ما هذه حاله إلهاً ، كما أنكم لا تتخذون كل ما جرى مجرى هذا من سائر الأشياء آلهة

Aku tidak suka sesuatu yang keadaanya terbit dan berjalan dengan cara yang menampakkan bahwa ia sebenarnya perkara baru yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, sebagaimana terjadai pada benda-benda yang kalian sepakati bersama bahwa hal itu bukanlah tuhan-tuhan. Yakni, aku tidak menganggap hal-hal tersebut sebagai tuhan. Sebagaimana kalian tidak menganggap hal-hal yang berlaku demikian sebagai tuhan. (Al-Zajjaj, Ma’ani al-Qur’an wa I’rabuhu, juz 2 hlm 266).

Pemimpin Ahlussunnah, Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) juga berkata:

فأما الحركة والسكون والكلام فيهما فأصلهما موجود في القرآن وهما يدلان على التوحيد ، وكذلك الاجتماع والافتراق ، قال الله تعالى مخبراً عن خليله إبراهيم صلوات الله عليه وسلامه : (فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ) الأنعام 76 في قصة أفول الكوكب والشمس والقمر وتحريكها من مكان إلى مكان ما دلَّ على أن ربه عز وجل لا يجوز عليه شيء من ذلك ، وأن من جاز عليه الأفول والانتقال من مكان إلى مكان فليس بإله.

Adapun bergerak dan diam dan pembicaraan mengenai keduanya, maka dasarnya terdapat dalam al-Qur’an, dan keduanya (bergerak dan diam) menunjukkan pada keesaan Tuhan, demikian pula bekumpul dan berpisah. Allah SWT telah berfirman menceritakan tentang kekasih-Nya, Nabi Ibrahim SAW: “Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". (QS. al-An’am : 76), dalam kisah tenggelamnya bintang, matahari dan bulan, serta pergerakannya dari satu tempat ke tempat lain, yang menunjukkan bahwa hal tersebut tidak boleh terjadi pada tuhan. Dan bahwa sesuatu yang boleh tenggelam dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bukanlah tuhan. (Al-Asy’ari, Risalah fi Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm al-Kalam, hlm 45).

Al-Imam Abu Bakar al-Sijistani (w. 330 H) juga berkata:

القيوم : هو القائم الدائم الذي لا يزول ، وليس من قيام على رِجْل

Al-Qayyum adalah yang Maha Berdiri lagi Maha Kekal yang tidak lenyap, dan bukan berdiri di atas kaki. (Nuzhah al-Qulub, hlm 158).

Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) berkata:

وأيضاً محاجة إبراهيم قومه في النجوم ، وما ذكر بالأفول والغيبة ، ولم يحاجهم بأن لا يحب رباً يُرى ، ولكن حاجهم بأن لا يحب رباً يأفل ، إذ هو دليل عدم الدوام.

Perdebatan Nabi Ibrahim terhadap kaumnya tentang bintang-bintang serta apa yang ia sebutkan berupa tenggelam dan lenyap. Ia tidak mendebat mereka bahwa ia tidak senang pada Tuhan yang bisa dilihat, akan tetapi mendebat mereka bahwa ia tidak senang pada tuhan yang tenggelam, karena hal itu menjadi bukti ketidak abadian. (Al-Maturidi, al-Tauhid hlm 142).

Al-Imam al-Baihaqi (w. 458 H) berkata:

فلما رأى أفولها - أي الشمس - وزوالها ، وتبيّن له كونها محل الحوادث والتغيرات ، تبرَّأ منها كلها ، وانقطع عنها إلى رب هو خالقها ومنشئها ، لا تعترضه الآفات ، ولا تحله الأعراض والتغيرات

Setelah Nabi Ibrahim melihat tenggelam dan bergesernya Matahari, dan jelas baginya bahwa Matahari tersebut tempatnya banyak kejadian dan perubahan, maka ia melepaskan diri dari semuanya, dan kembali sepenuhnya kepada Tuhan yang menciptakan dan mengadakannya, yang tidak pernah didatangi penyakit dan tidak ditempati kejadian dan perubahan. (Al-Baihaqi, al-Asma’ wa al-Shifat, hlm 270).

Demikian pernyataan para ulama salaf yang saleh dan pengikut mereka dari kalangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang menafsirkan argumentasi Nabi Ibrahim AS dengan tenggelam dan bergesernya bintang, Matahari dan bulan sebagai bukti ketidak abadiannya. Tuhan Yang Maha Kekal pasti tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Allah menamakan argumentasi Nabi Ibrahim tersebut dengan hujjah yang diakui oleh-Nya dalam firman-Nya:

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ. (الأنعام 83)

Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. (QS. al-An’am : 83).

Nabi Ibrahim AS juga berkata kepada kaumnya:

قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ. (الأنعام 78).

Dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (QS. al-An’am : 78).

Dengan demikian, kita wajib mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS dan berdalil dengan akal kita sebagaimana yang telah dilakukannya, agar kita sampai pada keyakinan bahwa Allah itu tidak menyerupai apapun dari makhluk-Nya dan tidak ada apapun yang menyerupai-Nya. Berdalil dengan akal tentang adanya Allah termasuk asas-asas metodologi yang islami menurut semua para nabi. Oleh karena itu golongan Maturidiyah mensyaratkan setiap orang harus ma’rifat kepada Allah dengan dalil ‘aqli, meskipun dengan satu dalil. Demikian ini bukan berarti umat Islam harus menggunakan ilmu filsafat sebagaimana asumsi sebagian orang, akan tetapi maksudnya menggunakan dalil apapun yang realistis yang mengantar pada keyakinan tentang adanya Allah, seperti halnya al-Imam al-Syafi’i berdalil dengan daun besaran atas adanya Allah.

Paparan di atas memberikan kesimpulan, bahwa dalil-dalil rasional yang digunakan oleh para ulama ahli kalam memiliki dasar dalam al-Qur’an dan hadits. Wallahu a’lam.

WAHABI: Owh, ternyata konsep ilmu kalam itu memiliki dasar yang kuat ya dalam al-Qur’an dan hadits. Luar biasa.

SUNNI: Saya mau bertanya kepada Anda, percayakan Anda bahwa konsep akidah Wahabi tentang ketuhanan, sama buruknya dengan konsep Mu’tazilah dan Syiah, atau justru lebih buruk?

WAHABI: Saya tidak percaya, Anda pasti ngarang.

SUNNI: Tunggu catatan berikutnya. Insya Akan saya buktikan bahwa konsep akidah Wahabi tentang ketuhanan lebih buruk daripada Mu’tazilah dan Syiah.

WAHABI: Baik, akan saya tunggu.

abdkadiralhamid@2015

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "WAHABI ATAU SUNNI, PENGIKUT AL-QUR’AN HADITS? Bongkar Dusta Buku Manhaj Salafi Imam Syafi’i (part 4)"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip