//

JENIS AIR DAN HUKUM PENGGUNAANNYA

BAB THAHARAH (BERSUCI)

MUKADIMAH

Secara bahasa, thaharah berasal dari akar kata thahara yathhuru yang berarti bersih, baik bersih dari kotoran yang bersifat materi, seperti najis, maupun dari kotoran maknawi, seperti sombong dan dengki.
Adapun definisi thaharah menurut istilah para ahli fikih adalah menghilangkan hadas atau membersihkan najis dengan cara tertentu.
Thaharah memiliki empat macam tata cara pelaksanaan, yaitu wudhu (untuk hadas kecil), mandi (untuk hadas besar), tayammum (untuk hadas kecil dan besar) dan menghilangkan najis.
Dan pelaksanaannya thaharah menggunakan empat sarana, yaitu air (dalam wudhu dan mandi), debu (dalam tayammum), samak (untuk membersihkan najis pada kulit hewan) dan batu (dalam istinja’/cebok).
Oleh karena itu, najis tidak dapat dinyatakan hilang dengan dijemur dibawah matahari, dianginkan, dicuci dengan cairan kimia, dibersihkan dengan debu (tanah), dan lain sebagainya, meskipun wujudnya sudah tidak ada.


A. A I R

a. Macam-macam air
Ditinjau dari hukum pemakaiannya, air dapat dibagi menjadi tiga jenis:
  1. Air suci dan mensucikan (air mutlak/air murni)
Yaitu air yang masih dalam keadaan penciptaan awalnya. Inilah satu-satunya air yang dapat digunakan untuk bersuci.
Dilihat dari asal (penciptaannya), air dapat dibagi menjadi dua: pertama, air dari langit, yaitu air hujan, air salju dan air embun. Dan kedua, air dari bumi, yaitu air laut, air sungai, air sumur dan air mata air.
Tidaklah mempengaruhi kesucian air tersebut jika terjadi perubahan karena sesuatu yang tidak dapat dihindarinya, seperti tempat yang mewadahinya, tempat yang dialirinya, lumut, tanah dan dibiarkan dalam waktu yang lama.

air wudhu

Allah SWT berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرُكَمْ بِهِ
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” (Al-Anfaal: 11)

Nabi SAW pernah ditanya oleh seorang sahabat yang pergi berlayar sementara tidak membawa cukup air apakah boleh berwudhu dengan air laut, lalu beliau menjawab:

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Ia (air laut) airnya mensucikan dan bangkainya halal.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Majah dan Ahmad).
  1. Air suci tapi tidak mensucikan.
Yaitu air yang suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci karena telah hilang daya penyuciannya disebabkan pernah dipakai atau berubah sifatnya. Air ini terbagi menjadi dua yaitu:
  • Air musta’mal (air bekas pakai). Yaitu air yang telah dipakai untuk membersihkan hadas –yaitu basuhan pertama dalam wudhu atau mandi– atau menghilangkan najis.
Rasulullah SAW bersabda:

لاَ يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
“Janganlah seorang diantara kalian mandi di air yang tergenang sementara dia junub.” (HR. Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa air yang pernah dipakai seseorang yang berhadas (junub) tidak dapat lagi dipakai untuk bersuci lagi.
  • Air berubah sifatnya karena tercampur benda suci secara sengaja dan tidak dapat dipisahkan kembali. Seperti air kopi, air sabun, air bunga, dan lain sebagainya. Air ini tidak dapat mensucikan lagi karena air tersebut tidak lagi disebut dengan air mutlak (murni).
  1. Air najis atau ternajisi.
Yaitu air yang terkena benda najis sehingga kesuciannya menjadi hilang. Air ini dibagi menjadi dua:
  1. Air sedikit, yaitu yang kurang dari dua qulah (+ 217 liter). Jika air sedikit ini terkena najis, baik sedikit maupun banyak, maka air itu menjadi najis sehingga tidak dapat dijadikan untuk bersuci baik dari hadas maupun untuk membersihkan najis.
  2. Air banyak, yaitu yang berjumlah dua qulah atau lebih. Jika terkena najis, air banyak ini tidak menjadi najis kecuali berubah satu dari salah satu sifatnya, yaitu bau, warna atau rasanya.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW ditanya tentang air di padang terbuka yang kadang didatangi binatang buas. Beliau menjawab:

إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ، وفي رواية: فَإِنَّهُ لاَ يَنْجُسُ
“Jika suatu air mencapai ukuran dua qulah maka ia tidak membawa najis.” Dalam riwayat lain: “Maka ia tidak najis.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Majah dan Ahmad).

Mafhum dari hadis ini menunjukkan bahwa air yang kurang dari dua qulah jika terkena najis maka menjadi najis meskipun tidak berubah sifat airnya. Ini dikuatkan oleh hadits:

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحُدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِيْ اْلإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلاَثاً، فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
“Jika salah seorang diantara kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia memasukkan tangannya dalam bejana air hingga mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu dimanakah tangannya bermalam.” (HR. Muslim).


b. Cara mensucikan air najis

Air daur ulang

Air yang hilang kesuciannya karena tercampur benda najis dapat disucikan kembali dengan tiga cara, yaitu:
  1. Suci dengan sendirinya dengan dibiarkan lama di tempatnya dengan syarat jumlah airnya tidak kurang dari dua kulah.
  2. Menyucikan dengan menambahkan air bersih padanya sehingga menjadi dua kulah atau lebih dan sifat air kembali normal.
  3. Menyucikan dengan mengurangi airnya sampai sifatnya kembali seperti semula dan tidak kurang dari dua kulah.

c. Perubahan air berdasarkan taksiran
Yaitu menghukumi suci atau tidaknya air berdasarkan penaksiran (perkiraan) meskipun secara kasat mata air itu tampak suci. Penaksiran ini memiliki dua keadaan:
  1. Jika terdapat najis yang jatuh ke air dan memiliki sifat seperti sifat air itu. Misalnya, air kencing yang sudah hilang baunya. Maka kesucian air tersebut dinilai dengan cara menaksir jika air itu kemasukan benda yang memiliki sifat yang paling tinggi (pekat) sebanyak benda najis yang terjatuh itu. Seperti tinta (untuk menilai perubahan warna air), minyak kasturi (menilai bau air), atau cuka (menilai rasa air). Jika sifat air berubah setelah dimasukkan benda-benda tersebut maka air itu dihukumi najis, tapi jika tidak berubah maka dihukumi suci.Keadaan ini hanya dilakukan pada air yang berjumlah dua kulah atau lebih. Karena jika air itu kurang darinya maka langsung dihukumi najis. Hukum melakukan penaksiran ini adalah wajib.
  1. Jika terdapat benda suci yang jatuh ke dalam air dan memiliki sifat seperti sifat air. Misalnya, air bunga mawar yang sudah hilang baunya, atau air musta’mal.Maka kesucian air tersebut dinilai dengan memasukkan benda yang memiliki sifat sedang sebanyak benda yang jatuh itu. Yaitu seperti warna sari buah, rasa buah delima dan bau liban. Jika sifat air itu berubah dengan masuknya benda-benda tersebut maka air itu dihukumi tidak suci.Penaksiran ini dilakukan pada air sedikit (kurang dari dua kulah) dan air banyak (dua kulah atau lebih). Hukum melakukan penaksiran ini adalah dianjurkan (sunah).

wallahu a’lam.

Sumber : http://ahmadghozali.com

abdkadiralhamid@2016

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "JENIS AIR DAN HUKUM PENGGUNAANNYA"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip