//

Kewenangan Wali Dalam Pernikahan


Kewenangan Wali Dalam Pernikahan                                      

Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang waras dan dewasa dapat melaksanakan semua aqad kecuali aqad nikah, dan juga dapat mewakilkannya kepada siapa yang dikehendakinya tanpa ada hak sanggah bagi siapapun terhadapnya. Mereka sepakat pula bahwa aqad nikah wanita merdeka yang baligh dan berakal, apabila dilaksanakan oleh walinya menurut hukum syara' dengan persetujuan wanita yang bersangkutan, adalah sah dan langsung tanpa tergantung pada sesuatu yang lain.

Adapun apabila wanita sendiri yang melaksanakannya atau mewakilkan kepada orang lain yang melaksanakannya, maka para ulama berbeda pendapat tentang sahnya. Abu Hanifah, Abu Yusuf menurut lahir riwayat dan Zufar berpendapat bahwa nikah itu sah, hanya wali mempunyai hak sanggah, selama belum melahirkan atau belum hamil yang nyata, apabila perkawinan itu dilangsungkan dengan tidak sekufu'.

Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf pendapat bahwa nikah itu hanya sah kalau dengan yang sekufu' saja dan batal kalau bukan dengan yang sekufu'. Sedangkan Daud dan orang-orang yang sefaham dengan dia mengambil dalil dengan hadits:
الثيب احق بنفسها من وليها
"Wanita tsayyib (janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada walinya".

Mengenai perbedaan hukum antara wanita perawan dan wanita janda, terdapat hadits:
ليس للولي مع الثيب امر
"Tidak ada urusan wali mengenai wanita janda".

Mereka mengatakan: Kedua hadits ini adalah tegas mengenai seluruh urusan wanita janda terserah kepadanya sendiri, dan di antaranya ialah aqad nikah. Dan kedua hadits itu juga jelas menunjukkan perintah minta izin wanita perawan. Maka dengan demikian, si perawan tidak ada haknya kecuali memberi izin mengenai nikahnya, dan hal itu menunjukkan bahwa yang menguasai nikah adalah orang lain dari pada dia, yaitu walinya yang meminta izin kepadanya.

Abu Tsaur mengambil dalil dengan hadits Asiyah Ayyuma imra-atin dan selanjutnya mengenai syarat hanyalah izin wali saja. Hadits itu menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh wanita sendiri hanya batal apabila walinya tidak mengizinkan. Apabila ia mengawinkan dirinya dengan seizin walinya, maka nikah itu sah. Muhammad berpegang pada hadits ini juga mengenai pendapatnya bahwa sahnya aqad itu tergantung pada izin wali. As-Sya'bi dan Az-Zuhry mengambil dalil tentang aqad itu sah kalau sekufu dan tidak sah kalau tidak sekufu.

Malik, Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan kebanyakan para ulama berpendapat bahwa nikah tidak sah dengan dilaksanakan oleh wanita sendiri atau wakilnya. Jumhur ulama kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa salah satu syarat sahnya pernikahan adalah wali. Adapun alasan tersebut berdasarkan pada ayat 32 Surat An-Nuur:
وأنكحوا الأيامى منكم
"Nikahkanlah orang-orang yang tidak bersuami/tidak beristeri dari padamu".

Ayat tersebut ditujukan kepada wali di mana mereka diminta supaya menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau orang-orang yang belum beristri. Ini menunjukkan bahwa urusan pernikahan adalah urusan wali. Kalau tidak demikian halnya, tentulah khitab ayat tersebut tidak ditujukan kepada mereka (para wali).

Hal ini diperkuat oleh hadits yang datang mengenai sebab turun ayat itu. Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab sahihnya, juga Abu Daud, dan Turmudzy telah mensahihkannya, dari Ma'qal bin Yassar bahwa ayat itu turun mengenai dia. Ia berkata: Aku telah mengawinkan saudara perempuan, kemudian suaminya menceraikannya. Sesudah habis iddahnya bekas suaminya datang meminang nya lagi, maka aku katakan kepadanya: Aku telah mengawinkanmu, telah kuberi tempat kepadamu dan telah aku muliakanmu, tetapi kamu menceraikannya, kemudian kamu datang meminangnya lagi. Tidak, demi Allah, ia tidak boleh kembali kepadamu selama-lamanya.

Bekas suami itu adalah seorang laki-laki dimana bekas istrinya ingin kembali kepadanya. Allah mengetahui hajat laki-laki itu kepada bekas isterinya dan hajat perempuan itu kepada bekas suaminya, maka Allah swt menurunkan ayat: وإذا طلّقتم النساء dan seterusnya. Maka aku berkata: Sekarang saya kerjakan Ya Rasulullah. Ia berkata bahwa: ia mengawinkannya kepada bekas suaminya.

Mereka mengatakan: Kalaulah wanita dapat mengawinkan dirinya, tentulah saudara perempuan Ma'qal telah melakukannya, karena ia suka kepada bekas suaminya. Dan berdasarkan ini, maka jauhlah pendapat yang mengatakan bahwa khitab dalam ayat itu ditujukan kepada suami.

Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Turmuzy dan Ibnu Majah:
لا نكاح إلا بولي
"Tidak ada pernikahan melainkan dengan wali".

Dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruqutny dan Baihaqy dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw:
لا تزوّج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها فإن الزّانية هي التى تزوج
"Wanita tidak dapat mengawinkan wanita dan ia tidak dapat mengawinkan dirinya, maka sesungguhnya wanita penzinalah yang mengawinkan dirinya".

Adapun dalil secara logika ialah bahwa nikah mempunyai maksud yang bermacam-macam, sedang nikah itu adalah ikatan antara keluarga. Wanita dengan kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih lagi karena wanita itu tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kemaslahatan. Maka untuk menghasilkan tujuan-tujuan ini dengan cara yang lebih sempurna, maka dilaranglah wanita mencampuri langsung aqad nikah.

Menurut riwayat yang masyhur Imam Malik berpendapat serupa dengan Imam Syafii, tetapi yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Qasim dari beliau, bahwa mengenai wanita yang tidak mempunyai kedudukan (wanita biasa) dapat menikahkan dirinya sendiri dan aqad nikah wanita yang mempunyai kedudukan (wanita bangsawan) yang dilakukan oleh seorang muslim yang tidak berfungsi sebagai wakil wali, sahnya akad nikah tersebut tergantung kepada restu wali atau qadhi.

Mengenai janda yang sah mengucapkan sighat ijab aqad nikahnya bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Thabari. Thabari berkata: Tentang riwayat Hafsah, ketika ia dalam status janda diaqadkan oleh Umar dan bukan yang berkepentingan mengaqadkan dirinya sendiri. Peristiwa ini membatalkan pendapat yang menyatakan bahwa wanita yang sudah dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri dapat mengawinkan dan mengaqadkan dirinya sendiri tanpa wali. Andaikata memang demikian, tentu Rasulullah saw meminang Hafsah secara pribadi (langsung) saja karena ia lebih berhak atas dirinya daripada ayahnya dan beliau tidak usah melamar lewat orang lain yang tak berhak mengurus persoalannya serta mengaqadkan nikahnya.

Di dalam kitab Usdu al-Ghabah diterangkan berita dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib, katanya: Pada waktu Umu Kulsum telah menjadi janda sepeninggalan Umar bin Khattab, Imam Ali berkata kepada Umu Kulsum: Anakku, sebenarnya Allah swt sudah menetapkan bahwa engkau sekarang ini berhak memilih jodohmu, namun saya ingin sekali kalau engkau menyerahkan pilihan itu kepadaku. Umu Kulsum menjawab: Ayah! Saya ini hanyalah wanita biasa, yang tentunya menginginkan apa yang biasa diinginkan oleh kaum wanita. Saya ingin memilih sendiri siapa yang akan menjadi jodoh saya. Imam Ali ra menjawab: Tidak! Demi Allah, wahai anakku, sungguh ini bukan buah pikiranmu sendiri!. Hasan dan Husein berkata: Dik Umu Kulsum! Serahkanlah urusan jodohmu itu kepada Ayah kita. Umu Kulsum menjawab: Ya ayah! Saya mengikuti apa yang ayah katakan tadi. Kemudian Imam Ali berkata: Ya, baiklah! Sekarang aku menikahkan engkau dengan ‘Aun bin Ja'far bin Abi Thalib.


2012@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kewenangan Wali Dalam Pernikahan"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip