//

Habib Muhsin bin Ahmad Al-Attas

Dakwah Anti Maksiat, Anti Pemurtadan, Anti Korupsi 






Ada sebuah kaidah yang mengatakan almuhafazhatu bil qadimishshalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, kita melestarikan hal-hal baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Kaidah ini juga kita terapkan dalam perjuangan dakwah kita.

Habib Muhsin bin Ahmad Al-Attas, figur kita kali ini, lahir di Desa Gerabak, Magelang, 1963. Sebagaimana anak-anak sebayanya, ia memulai pendidikan formalnya dari SD dan SLTP di sekitar tempat tinggalnya. Selepas SLTP, ia masuk KMI (Kulliyatul Mu’allimin Islamiyyah) Pesantren Gontor, Ponorogo,, Jawa Timur. Beberapa tahun kemudian, ia pun berkesempatan menimba ilmu ke Timur Tengah.

Seabrek aktivitas dakwah kini ia jalani secara intens. Di FPI, yang terbilang sebagai basis organisasinya sejak awal, di MUI kota Depok, di FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), bahkan kini ia menjadi panglima sebuah organisasi yang bergerak dalam usaha-usaha menentang tindak pidana korupsi.

FPI: Bukan Penegak Hukum

Dalam muktamar FPI terakhir sekitar dua tahun silam, ayah empat anak ini dipercaya menjadi ketua Dewan Majelis Syura, sebelum akhirnya posisinya digantikan oleh K.H. Abdul Hamid Baidlowi dari Lasem, salah seorang kiai sepuh dalam lingkungan NU.

Saat berbincang-bincang dengan alKisah, Habib Muhsin banyak bertutur tentang kiprah FPI di tengah-tengah umat, sekaligus menjawab sejumlah pandangan miring tentang FPI. Berikut sebagian penuturannya:

Seiring dengan gerakan reformasi yang membawa angin segar pada perubahan yang semakin membuka lebar ruang kebebasan dalam berserikat, ditambah adanya keprihatinan dengan merebaknya kezhaliman, FPI pun berdiri. Sejak awal berdirinya, Agustus 1998, respons dari berbagai pihak terasa cukup baik.

“Kita sempat dituduh underbouw Soeharto. Sampai Soeharto wafat, FPI tetap berdiri tegak. Kita juga dianggap binaan parpol atau militer, misalnya isu-isu yang santer yang mengatakan bahwa FPI itu binaan Wiranto.

Kenyataannya, ketika mereka semua telah lengser, FPI tetap berjalan di jalannya secara istiqamah tanpa terpengaruh sedikit pun dengan pergolakan di panggung perpolitikan atau pergantian jabatan yang terjadi di kalangan militer. Nyata sudah, semuanya tak terbukti, masyarakat pun dapat menilai dengan terus berputarnya waktu.”

Sebagai organisasi kemasyarakatan resmi, FPI membuka lebar-lebar pintu interaksi dengan siapa pun: pemerintah, aparat hukum, politisi, dan sebagainya. FPI tidak dekat dengan mereka, dalam artian tidak selalu memiliki kaitan emosional yang searah dengan mereka semua itu, tapi jauh pun, dalam artian berseberangan di segala hal, juga tidak. Semuanya serba situasional, berdasarkan garis perjuangan dakwah FPI.

Sewaktu Milad I FPI di Ciputat, 1999, waktu itu panglima TNI Wiranto hadir, sehingga semua jajaran di bawahnya ikut hadir, termasuk SBY, yang saat itu masih aktif di militer. Kejadian itu acap dijadikan bumbu gosip tak sedap di balik berdirinya FPI.

Setelah Wiranto turun dari jabatannya, FPI tak terpengaruh apa-apa, bahkan semakin melebarkan sayap dakwahnya. Kini saat SBY sudah menjadi presiden, FPI pun kerap berseberangan pandangan dengannya.

“Saat peringatan Milad I FPI itu, Kapolda DKI Jakarta juga hadir saat itu. Tak masalah, karena kita memang selalu berusaha menjalin hubungan baik dengan pihak kepolisian. Kita undang mereka. Tapi kalau karena itu kita dikatakan binaan polisi, nyatanya dalam beberapa kesempatan kita pun berseberangan keras dengan mereka.”

Harus dipahami, FPI memang bergerak dalam wilayah penegakan hukum, tapi FPI tidak memposisikan diri sebagai penegak hukum. Aparat penegak hukum, itu domain pemerintah, penegak hukumnya, seperti kepolisian dan instansi-instansi penegak hukum lainnya.

FPI adalah gerakan masyarakat yang ingin agar penguasa menegakkan hukum dengan sebenarnya. Sehingga dalam sepak terjangnya, FPI selalu berupaya dengan mengingatkan, mengimbau, menyurati, dan seterusnya. Ini adalah bentuk penekanan masyarakat untuk penegakan hukum itu sendiri. Yang sering kali terjadi, ketika penegakan hukum terasa lemah, akhirnya masyarakatlah yang turun.

Sebenarnya, kalau penegakan hukumnya kuat, masyarakat tak perlu bereaksi. Ini semacam hukum asap dan api. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api.

“Suatu ketika, FPI pernah menggerebek gedung tempat perjudian, kemudian semua barang buktinya kita serahkan ke kepolisian. Itu pun setelah sebelumnya kita melewati proses yang panjang, lewat pelaporan, pelampiran bukti-bukti awal, dan sebagainya. Karena tidak juga bergerak, entah karena alasan apa, masyarakat yang akhirnya bergerak. Ini kan semestinya harus dilihat sebagai bentuk partisipasi masyarakat untuk membantu polisi dalam menegakkan hukum.

FPI memiliki hubungan yang intens dengan para ulama, terutama para ulama sepuh. Contohnya, dengan Kiai Abdullah Faqih (alm.) dari Langitan, yang baru wafat beberapa bulan silam. Hubungan FPI sangat hangat dengan beliau. Semasa hidupnya, beliau terus memberi spirit perjuangan untuk FPI, terutama ketika FPI dicoba digembosi oleh beberapa oknum warga nahdliyin yang aktivis liberal yang menuduh bahwa FPI itu Wahabi. Atas masukannya pula, K.H. Hamid Baidlowi Lasem kini menjadi ketua Dewan Syura di DPP FPI. FPI pun menyambut baik masukan dari ulama sepuh kita ini.”

FPI menyadari, hidup dan bergerak di tengah-tengah masyarakat membuat mereka dari waktu ke waktu harus terus membangun interaksi dengan berbagai pihak. Adanya berbagai komunikasi lintas sektoral yang dilakukan FPI itulah yang kerap disalahartikan dan bahkan dijadikan bahan isu-isu yang tak berdasar oleh sementara pihak yang tak menyukai sepak terjang dakwah FPI.

Mengenai adanya oknum-oknum dalam tubuh FPI, pengurus pusat sangat terbuka untuk menerima masukan dan laporan dari masyarakat, yang penting ada bukti otentik. Jangan hanya laporan lisan. Kalau ada bukti, pengurus akan cepat memprosesnya secara tegas dan profesional, berdasarkan aturan main internal organisasi FPI.

Arimatea: Imunisasi Pemikiran bagi Umat

Meski sangat intens terlibat di FPI, Habib Muhsin juga aktif dalam berbagai aktivitas dakwah lainnya. Di antaranya, ia sempat menjadi ketua Forum Arimatea, sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan umat dalam membendung arus pemurtadan. Tentang Arimatea dan garis perjuangannya, berikut penuturan yang disampaikannya kepada alKisah:

Pilihan garis perjuangan yang diambil Arimatea sangat dibutuhkan bagi umat. Dalam Al-Qur’an disebutkan, wa lan tardha ‘ankal yahud wa lan nashara hatta tattabi’a millatahum (sekali-kali tidaklah kaum Yahudi dan Nasrani itu akan ridha denganmu hingga kamu mengikuti millah mereka). Kata-kata millah di sini bermakna umum, bukan hanya agama, tapi juga pola pikir, adat-istiadat, gaya hidup, perilaku sosial, dan sebagainya.

Ini harus dipahami masyarakat, mengapa ayat itu menggunakan kata millatahum (millah mereka), bukannya dinahum, agama mereka. Kalau pada masalah din, berarti cakupan penekanannya hanya masalah aqidah. Tapi kalau millah, lebih luas dari itu.

“Di sinilah garis perjuangan Arimatea, yang ingin berkiprah di tengah masyarakat, baik lewat diskusi-diskusi, pelatihan-pelatihan, penyebaran media digital, maupun yang lainnya. Arimatea membuat program imunisasi bagi masyarakat, yaitu imunisasi pemikiran bagi umat dari virus-virus pemurtadan. Aktivis dakwah pada bidang ini memang masih relatif kurang. Kita juga mendorong agar di pesantren-pesantren ada satu sub materi kurikulum khusus tentang perbandingan agama.”

LAKI P45: Mengatasi Kebobrokan Moral Bangsa
Lima belas tahun sudah Habib Muhsin berkiprah di FPI, bersama-sama dengan para ulama dan komponen umat lainnya berjuang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Semua pengalaman yang didapatkannya menjadi pelajaran berharga baginya untuk semakin menata langkah perjuangan ke depan.
Setelah berbicara panjang lebar tentang sepak terjang FPI dan Arimatea, Habib Muhsin menuturkan sejumlah permasalahan umat dalam lingkup yang lebih luas, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang selama ini ia dapatkan. Berikut penuturannya:

“Dalam pergerakan dakwah selama ini, kita terus belajar, menerima berbagai masukan, berhitung dengan berbagai kekurangan yang ada, mengevaluasi perjalanan selama ini. Kita berpikir, terjadinya berbagai kemaksiatan di tengah bangsa ini adalah ekses dari kebijakan undang-undang, korupsi, dan sebagainya. Sehingga nahi munkar yang dijalani FPI saat ini kemudian melirik pula pada wilayah kebijakan. Kita mulai intens mengkritisi pemerintah di wilayah tersebut. Ini merupakan perjuangan pada pos yang strategis.

Contohnya, bersama berbagai elemen masyarakat lainnya, kita telah lama mendorong pemerintahan di berbagai daerah di seluruh pelosok Nusantara untuk menerbitkan perda anti miras. Ada sekitar 300 perda di seluruh Indonesia yang sudah diterbitkan.

Sayangnya, perda yang telah kita perjuangkan bertahun-tahun, beberapa waktu lalu hendak dianulir oleh selembar kertas surat edaran Mendagri RI yang mengimbau agar setiap kepala daerah mencabut perda anti miras. Di sinilah kita kembali berjuang agar surat edaran Mendagri itu tidak sampai mementahkan perjuangan umat.

Alhamdulillah, surat edaran Mendagri itu  tak sampai terealisasi di lapangan. Di sinilah kita mempelajari bahwa muara dari berbagai kemaksiatan adalah kebijakan.”

Terjadinya pengepungan pada sejumlah pengurus DPP FPI di Bandara Palangkaraya, Kalimantan Tengah, beberapa waktu yang lalu, ada sementara pihak yang tak ingin kejahatannya terbongkar merekayasa seakan-akan masyarakat menolak kehadiran FPI. Setelah kejadian itu terbukti, sebagian orang yang menjadi motor gerakan itu ternyata pihak-pihak yang sudah dijatuhi vonis bersalah pada tindak pidana korupsi.

Sebelum peristiwa di Palangkaraya itu, FPI pun turun langsung ke lapangan di Mesuji, Lampung. Berbagai langkah advokasi FPI dilakukan untuk membela rakyat yang lemah. Tak hanya itu, di Mesuji juga FPI aktif terlibat dalam pengajaran dan pembinaan masyarakat, yang notabene 60% penduduknya adalah non-muslim.

“Kebobrokan hukum di Indonesia yang saat ini terasa semakin parah, tidak terlepas dari karakter kepemimpinan yang lemah, tidak tegas. Berangkat dari keprihatinan seperti itu, saya bersama teman-teman mengumpulkan para tokoh nasional yang memiliki keprihatinan yang sama, untuk bergerak dalam sebuah barisan untuk mendorong pemerintah dalam penegakan hukum, khususnya di bidang korupsi. Di antara tokoh yang bergabung adalah Permadi, Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, dan banyak lagi. Maka kemudian didirikanlah LAKI P45 (Laskar Anti Korupsi Pejuang 45), yang dideklarasikan di kantor KPK sekitar setahun silam.

“Ketika para tokoh nasional itu mulai dekat dengan kita lewat institusi ini, mereka pun semakin mengenal kita. Mereka juga semakin kenal dengan Habib Rizieq, yang menjadi ketua dewan pembinanya, sementara saya dipercaya menjadi presidennya. Mereka baru tahu bahwa ternyata FPI itu NKRI banget.

Sejumlah kasus telah kita angkat. Kita bawa bukti-bukti konkret ke KPK. Sebagiannya telah diproses. Sejumlah orang pun telah diringkus karena terbukti terlibat kasus korupsi.”

Saatnya Bersatu

Desa kelahiran Habib Muhsin berdekatan dengan Desa Mangli, Magelang, Jawa Tengah, yang terkenal dengan ketokohan Kiai Hasan Asy’ari, atau termasyhur dengan Mbah Mangli. Seminggu sekali, di waktu kecilnya itu, tiap Ahad pagi ia bersama ayahnya menghadiri pengajian Kiai Mangli. Perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki sekitar lima sampai enam kilometer, karenanya sebelum subuh ia harus sudah berangkat. Ribuan orang hadir saat itu. Suasana ruhaniyah di majelis yang bertempat di areal pegunungan yang tinggi itu sangat terasa indah baginya.

Putra kelima dari enam saudara sekandung putra pasangan Ibu Zahriyah dan Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas ini menamatkan pendidikan enam jenjang kelasnya di Gontor selama lima tahun. Lepas dari Gontor, ia ikut mengajar pada salah satu madrasah di kampung kelahirannya, yang didirikan salah seorang pamannya dari ibu, yang lulusan Madinah.

Semangat belajarnya yang ingin meneruskan pelajaran hingga ke Timur Tengah membawa langkah kakinya hingga ia berangkat ke Jakarta untuk mencari beasiswa kuliah di sana. “Di sela-sela usaha saya ingin mendapatkan beasiswa dari King Saud University Riyadh, saya pun mengambil diploma satu pengajaran bahasa Arab di LIPIA selama satu tahun. Setelah itu barulah saya mendapat panggilan dari Arab Saudi, sekitar akhir 1989 atau awal 1990.”

Di sana pendidikan ia jalani selama lima tahun, setahun pertama untuk mengikuti matrikulasi persamaan kurikulum sebelum efektif masuk kuliah di Fakultas Pendidikan jurusan Agama Islam.

Universitas di Riyadh ini merupakan perguruan tinggi yang umum, tidak sebagaimana di Universitas Islamiyah di Madinah, yang cenderung doktriner ala paham Wahabi. Sehingga justru ketika mengambil penjurusan, mahasiswa dipersilakan untuk memilih kajian berbagai madzhab yang ada di dunia Islam. Karenanya, saat mengambil mata kuliah ushul fiqh, misalnya, ia memilih kelas Dr. Husein Turturi asal Palestina, yang bermadzhab Syafi’i.

Di akhir perbincangan dengan alKisah, Habib Muhsin menyampaikan sejumlah harapannya seputar dunia dakwah saat ini.

“Saya kira, kini sudah saatnya umat Islam, terutama para tokohnya, merapatkan barisan demi persatuan umat yang kokoh. Umat harus diajak berpikir cerdas untuk dapat memilah perbedaan-perbedaan, mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Di sinilah peran para tokohnya agar dapat berlapang dada dalam menerima berbagai perbedaan dan memberikan edukasi yang tepat di tengah masyarakat tentang perbedaan yang prinsip dan tidak prinsip dan menjadi teladan dalam mempersatukan umat. Tak jarang, karena masalah-masalah furu’ (cabang), yang tidak prinsip, kita bertikai.”

Dalam kaitannya dengan dakwah di lingkungan habaib, para dzuriyah Rasulullah SAW, ia menuturkan, para ajdad (leluhur) mendapat penghormatan sedemikian rupa di tengah masyarakat Nusantara, bahkan dunia, bukan karena mereka memintanya, tapi karena keluhuran akhlaqnya, ketinggian ilmunya, bakti ikhlasnya di tengah umat. “Ketika ada kebencian kepada habaib, jangan mudah menyalahkan. Hendaknya kita introspeksi, mungkin ini karena kita tidak lagi menapaktilasi jalan akhlaq, jalan ilmu, jalan khidmahnya habaib tempo dulu,” ujarnya.

“Habaib tempo dulu itu berperilaku dengan akhlaq yang mengesankan semua pihak. Namun perlu diingat, perjuangan dalam dakwah itu dijalani dengan halnya, sesuai dengan kondisinya. Sekarang, misalnya, kezhaliman sudah merajalela di mana-mana, apa kita harus berdiam diri terus menyikapi itu semua? Bukankah tak sedikit pula tokoh habaib di Hadhramaut terdahulu yang pernah masuk penjara, apa lalu itu disalahkan? Tidak, mereka masuk penjara justru karena menyuarakan yang haq. Jadi, cara kita berjuang itu tergantung situasinya,” katanya.

“Ada sebuah kaidah yang mengatakan almuhafazhatu bil qadimishshalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, kita melestarikan hal-hal baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Kaidah ini juga kita terapkan dalam perjuangan dakwah kita,” katanya memungkasi wawancara dengan alKisah.

Kini, selain menjabat ketua bidang dakwah DPP FPI, penasihat MUI kota Depok Komisi Kerukunan Umat, ketua FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) kota Depok, presiden Laskar Anti Korupsi Pejuang 45 (LAKI P45), ia juga aktif membina sejumlah majelis ta’lim di beberapa tempat, seperti Majelis Ta’lim, Dzikir, dan Shalawat Baabul Khoiroot Lilmuhibbina, Kampung Bojong, Kemang, Bogor, yang saat ini tengah dirintis dan dibinanya secara langsung

abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Habib Muhsin bin Ahmad Al-Attas"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip