//

Ketika Ahlussunnah Menulis Kisah Ahlul Bayt

Ketika Ahlussunnah Menulis Kisah Ahlul Bayt



Mereka mencintai ahlul bayt oleh karena mereka mencintai kakek mereka, Rasulullah SAW.



Berbicara mengenai keluarga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, atau yang dikenal dalam khaza­nah Islam dengan sebutan “ahlul bayt” atau “al-qurba”, tidak bisa dilepas­kan dari sisi historis dan sisi dogmatis.

Secara historis, sangatlah panjang sejarah mereka yang memiliki pertalian dengan Rasulullah SAW ini. Mereka tidak saja dikenal sebagai pribadi-pribadi mus­lim yang sangat tangguh, namun juga pem­bela dakwah Nabi SAW, dan ber­pe­ran serta dalam dakwah pada pe­riode awal yang dirasakan paling berat. Peran kesejarahan inilah yang pada akhirnya diabadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala, pada sisi dogmatis, sebagai bentuk puji­an, penghormatan, dan ke­muliaan me­reka di sisi Allah SWT dan Rasul-Nya, Mu­hammad SAW. Bahkan dalam sejum­lah haditsnya, Rasulullah SAW meng­ingatkan hal keluarganya ini di hadapan umatnya.

Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT meng­abadikan kedudukan ahlul bayt ini dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilang­kan dosa darimu, hai ahlul bayt, dan membersih­kan­mu sebersih-bersihnya.” (QS Al-Ahzab: 33). Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatakan suatu hal kepada para sahabatnya, “Katakanlah, ‘Aku tidak me­minta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (QS Asy-Syura: 23).

Sedangkan dalam beberapa riwayat hadits, di antaranya hadits yang diri­wayat­kan Al-Hakim An-Naisaburi dari Sa’id bin Jubair RA dari Ibn Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Perumpa­maan ahlul baytku bagi kalian adalah seperti bahtera Nuh AS. Barang siapa menaikinya (meng­ikutinya), pasti ia selamat. Barang siapa berpaling darinya, pasti ia teng­gelam.”

Dalam konteks hadits, paling tidak ada empat hadits yang membicarakan ahlul bayt. Keempat hadits ini dikenal de­ngan nama hadits tsaqalain (dua pening­galan yang amat berharga), hadits safi­nah Nuh (bahtera Nuh AS), hadits kisa‘ (selimut yang dikerudungkan), dan hadits mahabbah (kecintaan).
Hadits-hadits ini disepakati dan di­jun­jung tinggi oleh kalangan Sunni mau­pun Syi’ah. Namun bedanya terdapat per­be­da­an pandangan tentang siapakah yang digolongkan dalam ahlul bayt, di luar Sayyidatina Fathimah Az-Zahra‘ RA, Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, dan ke­dua putra mereka: Al-Hasan RA dan Al-Husain RA.

Di kalangan a‘immah al-madzahib Sunni, perbedaan ini terletak pada se­kitar penyertaan Bani Hasyim dan Bani Muththallib. 

Imam Asy-Syafi’i me­nem­pat­kan Bani Hasyim dan Bani Muththallib  yang digolongkan ahlul bayt, sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah me­nempat­kan secara khusus pada Bani Hasyim. 

Adapun Syi’ah, terutama Syi’ah Itsna Asy’ariyyah, menempatkan dua be­las imam mereka dalam kumpul­an ahlul bayt.

Mayoritas muslimin berpegang pada tuntunan dan ajaran Nabi SAW. Mereka memberikan hak-hak ahlul bayt seperti yang diajarkan oleh Nabi SAW dan tidak melampaui batas. Mereka mencintai ahlul bayt oleh karena mereka mencintai kakek me­reka, Rasulullah SAW. Kecin­ta­an me­reka pada keluarga Nabi SAW ba­nyak yang melampaui kecintaan me­reka pada ke­luarga bahkan orangtua mereka sen­diri. Seperti pengakuan tulus Abu Bakar Ash-Shiddiq RA bahwa Islam-nya Abbas, paman Nabi, jauh lebih menggembira­kannya daripada Islam-nya Abi Quhafah, ayahnya sendiri.

Imam Syafi’i dan Ahlul Bayt
Kecintaan kepada ahlul bayt bukan­lah monopoli suatu kaum. Kalangan Ahlus­sunnah juga sangat menekankan bahwa hal itu sebagai bagian tak ter­pisahkan dari hakikat aqidah Ahlussun­nah. Khusus pengikut Madzhab Sya­fi’iyyah, kecintaan dan penghormatan ke­­pada keluarga dan dzurriyah Nabi SAW menjadi satu pe­gangan setiap pe­megang aqidah ini.

Di zaman Imam Asy-Syafi’i, banyak ka­langan yang masih belum dapat me­nyucikan diri mereka dari pengaruh buruk propaganda politik Bani Umayyah yang menghinakan dan memerangi keluarga Nabi SAW. Sehingga mereka segera akan menjulurkan lidah beracun mereka se­tiap kali melihat ada seorang yang mengutamakan Sayyidina Ali RA, kendati di antara sahabat dan tabi’in ada yang beri’tiqad seperti itu.

Menyaksikan penyimpangan itu dan menyaksikan sikap tidak adil dan ce­moohan orang yang menganggap me­ng­u­tamakan Sayyidina Ali RA itu se­bagai Rafdh (maksudnya, Syi’ah), Imam Asy-Syafi’i mengomentari bahwa hal itu hanya dilontarkan oleh orang-orang bodoh dan jahil. Beliau menyitir syairnya yang sangat terkenal:

Jika kami mengutamakan Ali
kami dituduh Rawafidh menurut orang yang jahil
Dan keutamaan Abu Bakar
bila kusebut aku dituduh nashibi ketika aku menyebutnya
Maka aku senantiasa di antara keduanya
rafdh dan nushb
Dengan mencintai keduanya
hingga aku dibaringkan di liang kubur

Di masa itu, dengan sekadar men­cintai ahlul bayt, seorang muslim akan dituduh Syi’ah atau Rafidhi. Seorang perawi yang meriwayatkan hadits keuta­maan ahlul bayt akan dicurigai bahkan juga dituduh sebagai Syi’ah.

Imam Asy-Syafi’i juga tidak selamat dari tuduhan yang bertujuan menghan­curkan kepribadian dan nama baiknya di tengah-tengah masyarakat Islam dewasa itu. Tetapi beliau tidak mem­pedulikan hal itu dan tetap tegar meng­hadapinya dan bahkan membongkar kejahatan para pe­nuduh itu, beliau mengabadikan tuduhan itu dengan bait-bait syair termasyhur beliau:

Mereka berkata:
Kamu telah berfaham Rafdh!
Aku berkata: Tidak!
Kerafidhian bukan agamaku
dan bukan keyakinanku
Akan tetapi aku tanpa ragu berwilayah
kepada sebaik-baik imam
dan sebaik-baik pemberi petunjuk
Jika mencintai washi itu kerafidhian
ketahuilah bahwa aku paling rafidhinya manusia
Jika mencintai keluarga Muhammad itu kerafidhian
hendaknya manusia dan jin menyaksikan
bahwa aku adalah seorang Rafidhi
(Yang dimaksud “washi” dalam syair di atas adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib).

Ungkapannya itu sama sekali tidak berarti bahwa Imam Asy-Syafi’i membe­narkan ajaran kelompok Rafidhah (ke­lom­pok yang menolak dengan ekstrem kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan penolakannya itu diklaim karena mencintai keluarga Nabi, yakni Ali, Al-Hasan, dan Al-Husain) tapi sebagai ungkapan kecintaannya yang mendalam hingga risiko apa pun yang harus diterima ia rela.

Ahlul Bayt dalam Karya Tulis
Bahwa ada anggapan kaum Syi’ah lebih dominan ketimbang kaum Sunni dalam menulis segala hal yang berkaitan dengan ahlul bayt, boleh jadi itu benar. Namun wacana ahlul bayt bukan berada pada wilayah hegemoni keilmuan salah satu madzhab. Kalangan tertentu boleh jadi lebih menekankan tendensi tertentu dalam penulisannya. Sebaliknya, ka­lang­an lain boleh jadi lebih memusatkan perhatiannya pada sudut pandang yang lain dan berbeda, baik berupa sumber data maupun analisis ilmiahnya. Jadi, siapa pun tokoh penulisnya, mereka te­lah memberikan sumbangsih yang amat berarti bagi khazanah karya tulis sejarah ahlul bayt.

Yang kami ingin tekankan dalam Khazanah edisi ini adalah bahwa karya-karya yang lahir dari ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bentuk mahabbah terhadap ahlul bayt. Ya, kesemua karya ini lahir dari rasa kecintaan dan ta’zhim bagi keluarga Rasulullah SAW dengan pijakan data yang tsiqah (kuat) dan analisis yang mutawassith (moderat). Sehingga, senarai karya ini sangat patut dijadikan marja’ (sandaran) dalam mengkaji peran sejarah perjuangan ahlul bayt untuk mengusung bendera ‘izzah (keagungan) Allah dan Rasul-Nya.

Imam Asy-Syafi’i (150-204 H/767-819 M), yang dikenal sebagai seorang mujtahid dan tokoh sentral Ahlussunnah wal Jama’ah, sangat gigih dalam mem­bela ahlul bayt.

Begitu pun dengan Imam As-Suyuthi (w. 911 H/1505 M), seorang pakar tafsir, hadits, dan fiqih dari kalangan Sunni. Secara khusus ia mengumpulkan hadits-hadits tentang keutamaan ahlul bayt Nabi SAW yang diberi judul Ihya al-Mayyit bi Fadhail Ahl al-Bayt.
Karya lainnya adalah kitab Dzakhair al-‘Uqba, karya Ibnu Jarir Ath-Thabari. Penulisnya adalah seorang pemuka mu­fassir Ahlussunnah, yang dalam penaf­sirannya menggunakan metode bir riwa­yah (membahas ayat dengan pendekat­an periwayatan hadits dan asbab nuzul-nya).

Begitu pula dengan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H/1567 M), seorang ulama yang dikenal sebagai pakar fiqih yang karyanya menjadi rujukan wajib bagi mufti-mufti Syafi’i setelahnya, men­jabar­kan secara panjang lebar ihwal ahlul bayt, meliputi keutamaan, kemulia­an, serta ke­utamaan mencintai dan ba­lasan memu­suhi mereka, dalam kitab­nya yang ber­judul Ash-Shawa’iq al-Muhriqah.

Kecintaan kepada keluarga Nabi SAW juga turut mendorong Sayyid Ah­mad Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyah di Mak­kah dan ulama yang sangat terpan­dang, membuat risalah tentang kesela­matan paman Nabi SAW, Abi Thalib, dari api ne­raka, dengan judul Asna Al-Mathalib fi Najah Abi Thalib. Begitu pula dengan Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani da­lam Asy-Syaraf al-Muabbad li Ali Muham­mad, Sayyid Muhammad bin Abubakar Asy-Syilli dalam Al-Masyra’ Ar-Rawi, dan lain-lain.

Mereka mengungkapkan segala ke­cintaan kepada keluarga Nabi Muham­mad SAW dengan berkarya nyata, baik dengan menukil silsilah periwayatan dan pengetahuan dari keluarga Nabi, yang merupakan ma’adin al-’ulum wa al-ja­wahir (sumber eksplorasi ilmu dan rang­kaian mutiaranya), maupun mereka yang menggali informasi seputar keluar­ga yang suci ini.
Mereka mencintai ahlul bayt oleh karena mereka mencintai kakek mereka, Rasulullah SAW.

Karamah Sayyidah Nafisah
Sedikit yang bisa disebutkan dari satu dari sekian karya yang disebut se­belum­nya adalah karya Asy-Syiblanji, Nur al-Abshar fi Manaqib Ali Bayt an-Nabiyy al-Mukhtar. Seperti disampaikan dalam mu­qaddimahnya, Asy-Syiblanji mengutara­kan bahwa karyanya lahir dari harapan ke­pada keberkahan dan keke­ramatan Sayyidah Nafisah, seorang ke­turunan dan ahlul bayt Nabi SAW yang juga guru Imam Asy-Syafi’i, yang dirasakannya.
Masih dalam pendahuluannya, Asy-Syiblanji menceritakan awal ketertarik­annya menulis kitab ini.
Alkisah, ia mengalami kebutaan penglihatan. Kemudian ia mendapat pe­tunjuk dari Allah SWT untuk melakukan ziarah ke makam Sayyidah Nafisah binti Sayyid Hasan Al-Anwar yang terletak di jantung Mesir. Sayyidah Nafisah adalah salah seorang dzurriyah Rasulullah SAW. Beliau putri Sayyid Hasan Al-Anwar bin Zaid Al-Ablaj bin Al-Hasan putra Imam Ali bin Abi Thalib RA dan Sayyidah Fa­thimah binti Muhammad Rasulullah SAW.
Di makam itu Asy-Syiblanji memo­hon kesembuhan kepada Allah SWT. Ia pun ber­nadzar, jika dirinya mendapatkan ke­­sembuhan, ia akan menghimpun tulis­an dengan topik biografi keluarga Nabi Mu­hammad SAW. Allah mengijabah seru­an doanya dalam tempo tidak ter­lampau lama. Beberapa waktu setelah ziarah ke makam Sayyidah Nafisah itu, Allah mem­berikan kesembuhan baginya dan me­ngembalikan penglihatannya seperti se­dia kala.
Saat bersyukur memuji Allah dan mengingat akan karamah Sayyidah Nafisah, Asy-Syiblanji teringat pula akan nadzar yang pernah diucapkannya di depan pusara Sayyidah Nafisah. Maka ia pun berupaya menepati janji yang sa­ngat baik itu. Namun ia menghadapi ken­dala yang tidak sedikit, seperti minimnya pengetahuan sejarah keluarga Nabi SAW. Keadaan ini sempat membuatnya goyah dan kehilangan minat, lantaran ia menyadari akan kemampuannya (sekali­pun itu diutarakan Asy-Syiblanji karena ketawadhu’an dan kehati-hatian). Na­mun ia juga menyadari akibat atas orang yang tidak menepati janji atau nadzar.
Teman-teman sesama ulama Al-Azhar banyak menyokongnya dan mem­berikan masukan-masukan yang sangat berharga, di antaranya perluasan bahas­an dengan memasukkan sejarah dan bio­grafi Khulafaur Rasyidin, empat pemuka Madzhab Sunni, dan para awliya’ aqthab al-arba’ah (empat wali yang diyakini se­bagai poros utama kewalian) seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i, Sayyid Abdul Qadir Al-Jubaili Al-Jilani, Sayyid Ahmad Al-Badawi, dan Sayyid Ibrahim Ad-Dasuki Al-Qurasyi Al-Hasyimi, serta penambah­an dari mana­qib Sayyid Abi Al-Hasan Asy-Syadzili berikut petuah-petuah me­reka.

Dorongan dan masukan rekan-rekan itu membuatnya kembali bergairah untuk meneruskan penulisan, bahkan sekali­pun diimbuhi dengan pelbagai bahasan yang lain, seperti yang diminta oleh re­kan-rekannya. Hingga pada akhirnya karya­nya ini dapat terselesaikan peng­garapan­nya pada hari Kamis, 26 Rajab 1290 H/20 September 1873 M. Asy-Syiblanji menerakan judul pada karya­nya ini dengan nama Nur al-Abshar fi Manaqib Ali Bayt an-Nabiyy al-Mukhtar (Cahaya Penglihatan tentang Manaqib Keluarga Nabi yang Terpilih).

Bahasan dalam kitab tersebut di­susun dalam empat bab. Bab pertama mengetengahkan perjalanan hidup Ra­sulullah SAW dan para khalifah yang empat: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Bab kedua menyebutkan manaqib Al-Hasan dan Al-Husain serta keturun­annya yang dijadikan imam oleh kalang­an Syi’ah Imamiyah atau Syi’ah Itsna Asy’ariyah. Bab ketiga mendeskripsikan sekelompok ahlul bayt yang terdapat di Mesir beserta peninggalan-peninggalan mereka seperti bangunan-bangunan masjid dan tempat-tempat ziarah yang terkemuka. Bab ke­empat membahas empat imam madzhab Sunni, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Memungkasi karyanya ini, Asy-Syiblanji mengimbuhkan dengan mana­qib sejum­lah awliya’ pemuka kaum sufi sebagai­mana telah disebut di atas.
Asy-Syiblanji banyak menukil riwayat yang ma’tsur (bersambung dan bersum­ber kepada Nabi SAW) lagi tsiqah (kuat dan dapat dipercaya), sehingga karya­nya ini memenuhi aspek ilmiah. Tidak seperti kebanyakan penulisan manaqib kala itu, yang pengisahannya banyak dibumbui imajinasi sang pengarang atau riwayat-riwayat yang ghair mu’tamad (tidak layak menjadi sandaran atau hujjah), sehingga adakalanya isinya lebih pengkultusan belaka.

Uniknya lagi, Asy-Syiblanji mema­par­kan tokoh-tokoh yang di dalam dok­trin Syi’ah Imamiyah diakui dan diyakini se­bagai imam-imam mereka. Dalam hal ini, Asy-Syiblanji sering kali men­da­patkan lontaran-lontaran pedas bahwa dirinya seorang Syi’i, padahal jelas para ulama Mesir menggolongkannya se­bagai pe­muka Madzhab Syafi’i abad ke-13 H/19 M. Sedangkan kaum Syi’ah menjadikan karya Asy-Syiblanji ini sebagai rujukan, sekalipun mereka menolak sebagian tu­lisannya mengenai kekhilafahan Abu Ba­kar, Umar, dan Utsman. Beberapa penu­lis Syi’ah sering mengomentari dan me­mu­ji karya Asy-Syiblanji dengan perkata­an, “Inilah sebuah pandangan hebat se­orang ulama Sunni tentang imam-imam kami.”
Karya Asy-Syiblanji ini dihiasi oleh catatan pinggir berupa karya Syaikh Muhammad bin Ali Ash-Shabban, Is’af ar-Raghibin fi Sirah al-Musthafa wa Fadhail Ahli Baytihi Ath-Thahirin, yang diselesai­kan penulisnya pada Selasa, sepuluh ma­lam setelah berlalunya bulan Ramadhan 1185 Hijriyyah.
Tentang karya ini, isinya membahas keutamaan ahlul bayt Nabi yang hidup dan wafat di Mesir, Sayyidah Sukainah binti Sayyidah Ruqayyah, Sayyidah Nafi­sah, ayah dan paman Sayyidah Nafisah yaitu Sayyid Hasan Al-Anwar dan Sayyid Muhammad Al-Anwar, Sayyidah Aisyah binti Ja’far Ash-Shadiq, dan lain-lain.
Pengetahuan akan eksistensi keluar­ga Nabi di Mesir dan sekitarnya menjadi khazanah tersendiri bagi mereka yang suka berziarah dan mencari keberkahan kepada mereka yang memiliki pertalian nasab kepada Baginda Nabi SAW. Dan kitab ini tentunya bisa menjadi panduan bagi mereka yang hendak bepergian ke Mesir, Negeri Sejuta Menara dan pusat keilmuan.

Kitab ‘Allimu
Karya lain yang berisi kecintaan ke­pada ahlul bayt adalah ‘Allimu Awlada­kum Mahabbah Al Bayt Rasulillah SAW. Ini adalah salah satu karya besar Dr. Muhammad Abduh Yamani. Penulisnya, sekalipun bukan dikenal sebagai ulama, melainkan mantan pejabat pemerintah Arab Saudi, telah menempatkan dirinya sebagai salah seorang penulis Sunni produktif yang “muhibbin”.
Usamah bin Hamzah ‘Ajlan Al-Ha­zimi, seorang ulama dan penulis ke­islam­­an di Saudi, mengatakan, “Dua karya Syaikh Yamani ini (yakni dua karya ber­tajuk Allimu), sudah cukup menjelas­kan bagaimana kecintaan dan peng­agungan Syaikh Yamani bagi kekasih­nya dan kekasih kita semua, Rasulullah SAW. Bila Sayyidina Umar bin Khath­thab RA ketika tunduk hatinya dan sem­purna imannya mengungkapkan cinta­nya kepada Nabi SAW dengan deraian air mata, begitu pula Dr. Muhammad Abduh Yamani. Ia ambil penanya dan menulislah ia dengan penuh kecintaan. Semoga menjadi sim­panan kebaikannya kelak di hadapan Rasul.”
Keprihatinan Syaikh Muhammad Abduh Yamani terhadap mengikisnya pengetahuan umat akan sosok Nabi Mu­hammad SAW dan keluarganya mem­buatnya mencari sumber-sumber yang dapat dipercaya, lalu ditelaahnya dan menjadi sumber bagi karya-karyanya tersebut.
Ia khawatir, jika sedari dini anak-anak dan generasi muda Islam tidak dikenal­kan dan berusaha mengenal Nabi SAW dan akhlaqnya,  kaum mus­limin akan ter­perosok ke dalam lubang kejahilan yang pekat dan kezhaliman, yang mengancam masa depan agama ini.
Yang juga patut disebut di sini adalah karya An-Nabhani, Asy-Syaraf al-Mu‘ab­bad li Ali Muhammad. Karyanya cukup di­perhitungkan dalam khazanah kalang­an Sunni. Penulisnya adalah seorang ulama besar Lebanon, yang ka­dung cinta kepada kesufian berkat ma­habbah kepada Rasulullah SAW dan keluarga­nya.
Sebagaimana dikemukakan dalam muqaddimahnya, karya ini lahir lewat penelitian sumber selama 11 tahun! Baru pada bulan Syawwal 1309 H/1892 M, karya ini pertama kali diterbitkan. Penulisnya bermujahadah dengan panjang, demi menghadirkan sebuah tulisan yang berkualitas, menjadi bacaan mereka yang merindukan sosok-sosok keluarga Nabi SAW yang suci ini....

2013@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ketika Ahlussunnah Menulis Kisah Ahlul Bayt"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip