//

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 3) - Rumah Tangga Serasi

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 3)

H.M.H. Al Hamid Al Husaini

Aswaja Mengisahkan tokoh kontroversi al imam ali ra dgn begitu objektif dan terukur, semoga dapat mengambil pelajaran dari kisah ini....

========================



Bab 3 Rumah Tangga Serasi


Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yang menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang lebih lima tahun sebelum bi'tsah.
Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah, di kala sedang gencar-gencarnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Ia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi'ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi'ib, datang pula pukulan batin atas diri Sitti Fatimah Azzahra r.a., berupa wafatnya bunda tercinta, Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.



Puteri Kesayangan


Rasul Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fatimah Azzahra r.a. adalah puteri bungsu yang paling disayang dan dikasihani junjungan kita Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w. merasa tak ada seorang pun di dunia yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling dekat disisinya selain puteri bungsunya itu.
Demikian besar rasa cinta Rasul Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a. demikian:
"Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyusahkan aku dan siapa yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku…"
Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi, melainkan suatu penegasan bagi umatnya, bahwa puteri beliau itu merupakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan di tengah ummatnya.
Di kala masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan sendiri cobaan yang dialami oleh ayah-bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, maupun penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Qureiys. Ia hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang kafir terhadap keluarga Nubuwaah, keluarga yang menjadi pusat iman, hidayah dan keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ketegasan orang-orang mukminin dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan Qureiys. Suasana perjuangan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sitti Fatimah Azzahra r.a. dan memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya, serta mempersiapkan kekuatan mental guna menghadapi kesukaran-kesukaran di masa depan.
Setelah ibunya wafat, Sitti Fatimah Azzahra r.a. hidup bersama ayahandanya. Satu-satunya orang yang paling dicintai. Ialah yang meringankan penderitaan Rasul Allah s.a.w. tatkala ditinggal wafat isteri beliau, Sitti Khadijah. Pada satu hari Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan ayahnya pulang dengan kepala dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Qureys, di saat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu menyaksikan kekejaman orang-orang Qureisy terhadap ayahnya.
Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Muhammad s.a.w. Guna menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad s.a.w., sambil membelai-belai kepala puteri bungsunya itu, berkata: "Jangan menangis..., Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-musuh agama dan risalah-Nya"
Dengan tutur kata penuh semangat itu, Rasul Allah s.a.w. menanamkan daya-juang tinggi ke dalam jiwa Sitti Fatimah r.a., dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta kepercayaan akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir Qureiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi Muhammad s:a.w. tetap melaksanakan tugas risalahnya.
Pada ketika lain lagi, Sitti Fatimah r.a. menyaksikan ayahandanya pulang dengan tubuh penuh dengan kotoran kulit janin unta yang baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke punggung Rasul Allah s.a.w. itu Uqbah bin Mu'aith, Ubaiy bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlumuran najis, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkannya dengan air sambil menangis.
Nabi Muhammad rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qureiys ini sudah keterlaluan. Karena itulah maka pada waktu itu beliau memanjatkan doa kehadirat Allah s.w.t.: "Ya Allah celakakanlah orang-orang Qureiys itu. Ya Allah, binasakanlah 'Uqbah bin Mu'aith. Ya Allah binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf"
Masih banyak lagi pelajaran yang diperoleh Sitti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya untuk menghadapi masa mendatang yang berat dan penuh cobaan. Kehidupan yang serba berat dan keras di kemudian hari memang memerlukan mental gemblengan.


Hijrah ke Madinah


Tepat pada saat orang-orang kafir Qureiys selesai mempersiapkan komplotan terror untuk membunuh Rasul Allah s.a.w., Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Beliau bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta dan sanak famili. Beliau berhijrah, seperti dahulu pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.
Di antara orang-orang yang ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri kesayangan beliau, Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yang diasuh dengan kasih sayang sejak kecil, yaitu Imam Ali r.a. yang selama ini menjadi pembantu terpercaya beliau.
Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad untuk melaksanakan tugas khusus: berbaring di tempat tidur beliau, guna mengelabui mata komplotan Qureiys yang siap hendak membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut, ia dipesan oleh Nabi Muhammad s.a.w. agar barang-barang amanat yang ada pada beliau dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w., segera menyusul berhijrah.
Imam Ali r.a. membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali r.a.), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy, ikut bergabung dalam rombongan.
Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari.
Imam Ali r.a., sebagai pemimpin rombongan, berangkat dengan semangat yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap berlawan tiap saat.
Mendengar rombongan Imam Ali r.a. berangkat, orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebih-lebih karena rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Imam Ali r.a. yang semacam itu sebagai tantangan terhadap mereka.
Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Qureiys itu, di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati rombongan Imam Ali r.a.
Setelah Imam Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan berkuda Qureiys, ia segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurunkan mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan pedang terhunus. Rupanya Imam Ali r.a. hendak berbicara dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan mereka.
Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka, gerombolan Qureiys itu berteriak-teriak menusuk perasaan: "Hai penipu, apakah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu? Ayo, kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi."
Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia bertanya: "Kalau aku tidak mau berbuat itu...?"
"Mau tidak mau engkau harus kembali," sahut gerombolan Qureiys dengan cepat.
Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Imam Ali r.a. menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak memukul Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sempat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Imam Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah menjadi dua, sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetarkan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali r.a. berkata: "Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyembah selain Allah Yang Maha Kuasa!"
Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. untuk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul saudaraku, putera pamanku, Rasul Allah. Siapa yang ingin kurobek-robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya, cobalah maju mendekati aku!"
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu segera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan agresi kafir Qureiys.
Di Dhajnan, rombongan Imam Ali r.a. beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anaknya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali r.a. Bersama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali r.a. beserta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan. Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera bertemu dengan Rasul Allah s.a.w.
Waktu itu Rasul Allah s.a.w. bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, Rasul Allah s.a.w. memberitahu, bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang.
Selama dalam perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendaraan sama sekali. Ia berjalan kaki-telanjang menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak. Akhirnya tibalah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul Allah s.a.w. menyambut kedatangan orang-orang yang disayanginya itu.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi karena kakinya membengkak, beliau merangkul dan memeluknya seraya menangis karena sangat terharu. Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan, lalu diusapkan pada kaki Imam Ali r.a. Konon sejak saat itu sampai wafatnya, Imam Ali r.a. tidak pernah mengeluh karena sakit kaki.
Peristiwa yang sangat mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak terlupakan selama-lamanya. Berhubung dengan peristiwa itu, turunlah wahyu Ilahi yang memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin, seperti terdapat dalam Surah Ali 'Imran:195.


Ijab-Kabul Pernikahan


Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat risalah yang dibawakan Nabi Muhammad s.a.w. sudah maju dengan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yang menggantungkan harapan ingin mempersunting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan, bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khatab r.a. dan Sa'ad bin Mu'adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau bertanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: "Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?"
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan tergopoh-gopoh dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian bertanya: "Anda datang membawa berita apa?"
Setelah duduk beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya: "Hai Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau adalah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau untuk dapat mempersunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya ditolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan puterinya diserahkan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga sekarang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu untukmu."
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. berlinang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Imam Ali r.a. berkata: "Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang semulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a., Abu Bakar r.a. berkata: "Hai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!"
Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. berhasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. untuk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian, Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yang ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: "Siapakah yang mengetuk pintu?" Rasul Allah s.a.w. menjawab: "Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!"
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: "Ya, tetapi siapakah dia itu?"
"Dia saudaraku, orang kesayanganku!" jawab Nabi Muhammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: "Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku terantuk-antuk. Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud, tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: "Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh dariku!"
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib untuk berkata: "Maafkanlah, ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul Allah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dengan dia?"

Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: "Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal maskawin?'' .
"Demi Allah", jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, "Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib, "engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah 'Azza wajalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!" Demikian versi riwayat yang diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: "Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu."
"Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik", jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.


Rumah Tangga Sederhana


Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta" perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang sebuah berisi ijuk kurma dan yang sebuah bulu kambing);
-empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air untuk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai 'aba-ah (semacam jubah);
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah Azzahra r.a.
Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka menemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman, Imam Ali r.a. menyampaikan keinginannya.
Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesudah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.
Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.


Suami-Isteri Yang Serasi


Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya harus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w.
Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tenaga sendiri.
Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau bersama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak"
Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?"
"Fatimah! " Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.
Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangganya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Rasul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah, yang akan mengumandangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan ditanya apa sebabnya. Bilal menjelaskan:
"Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggiling tepung. Al Hasan, puteranya yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya "Manakah yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung". Ia menyahut: "Aku kasihan kepada anakku". Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gandum. Itulah yang membuatku datang terlambat!"
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: "Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!"
Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran tentang kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotong-royong. Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa sederhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang dibangun oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itupun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.
Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a., ketiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.
Tak ada tauladan hidup sederhana yang lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri mengehendaki, kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau?
Tetapi sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tauladan, sebagai seorang yang menyerukan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan serta persamaan, sebagai orang yang hidup menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang, tiap pendidik, tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masing-masing supaya mengajar, memimpin dan mendidik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku utama, sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat dilihat dengan nyata, mempunyai pengaruh lebih besar, lebih berkesan dan lebih membekas dari pada sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang nyata, ajakan yang baik akan lebih terjamin keberhasilannya.
Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah mengeluh karena tapak-tangannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah s.a.w. Karena tidak berhasil, ia menemui Aisyah r.a. Kepadanya diceritakan maksud kedatangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang, beliau diberitahu oleh Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan seorang pembantu rumah-tangga. Rasul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata: "Kuberitahukan kalian tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta kepadaku. Sambil berbaring ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu yang akan melayani kalian."
Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar diberi pembantu, merupakan sebuah pelajaran penting tentang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah, yang akan sanggup menjadi pelopor dalam melaksanakan prinsip persamaan, kesederhanaan dan kebersihan pribadi dalam kehidupan ini.


Putera-puteri


Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera-puteranya bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w. dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucu-cucunya.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. mempunyai kedudukan tersendiri di dalam hati beliau. Dua orang cucunya itu beliau asuh sendiri. Kaum muslimin pada zaman hidupnya Nabi Muhammad s.a.w. menyaksikan sendiri betapa besarnya kecintaan beliau kepada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beliau menganjurkan supaya orang mencintai dua "putera" beliau itu dan berpegang teguh pada pesan itu.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yang jauh jangkauannya bagi umat Islam. Al Husein r.a. gugur sebagai pahlawan syahid menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah. Semangatnya terus berkesinambungan, melestarikan dan membangkitkan perjuangan yang tegas dan seru di kalangan ummat Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a. merupakan kekuatan penggerak yang luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.
Puteri beliau yang bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita muslim yang sangat cemerlang dan menonjol sekali peranannya, dalam pertempuran di Karbala membela Al Husein r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yang menimpa A1 Husein r.a. beserta segenap anggota keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai pameran keliling Kufah sampai ke Syam. Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Sitti Fatimah r.a. meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Sepeninggal Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah, hingga wafatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9 kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.
Wanita pertama yang dinikahi Imam Ali r.a. sepeninggal Siti Fatimah r.a. ialah Umamah binti Abil 'Ashiy. Ia anak perempuan iparnya sendiri, Zainab binti Muhammad s.a.w., kakak perempuan Sitti Fatimah r.a. Pernikahan dengan Umamah r.a. ini mempunyai sejarah tersendiri, yaitu untuk melaksanakan pesan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya sebelum ia wafat. Nampaknya pesan itu didasarkan kasih-sayang yang besar dari Umamah ra. kepada putera-puterinya.
Setelah nikah dengan Umamah r.a., Imam Ali r.a. nikah lagi dengan Khaulah binti Ja'far bin Qeis. Berturut-turut kemudian Laila binti Mas'ud bin Khalid, Ummul Banin binti Hazzan bin Khalid dan Ummu Walad. Isteri Imam Ali r.a. yang keenam patut disebut secara khusus, karena ia tidak lain adalah Asma binti Umais, sahabat terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang mendampingi Sitti Fatimah r.a. dengan setia dan melayaninya dengan penuh kasih-sayang hingga detik-detik terakhir hayatnya.
Isteri-isteri Imam Ali r.a. yang ke-7, ke-8 dan ke-9 ialah As-Shuhba, Ummu Sa'id binti 'Urwah bin Mas'ud dan Muhayah binti Imruil Qeis. Dari 9 isteri, di luar Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. mempunyai banyak anak. Jumlahnya yang pasti masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para penulis sejarah.
Al Mas'udiy dalam bukunya "Murujudz Dzahab" menyebut putera-puteri Imam Ali r.a. semuanya berjumlah 25 orang. Sedangkan dalam buku "Almufid Fil Irsyad" dikatakan 27 orang anak. Ibnu Sa'ad dalam bukunya yang terkenal, "Thabaqat", menyebutnya 31 orang anak, dengan perincian: 14 orang anak lelaki dan 17 orang anak perempuan. Ini termasuk putera-puteri Imam Ali r.a. dari isterinya yang pertama.


Bab 4 Peranan Kepahlawanan


Masih ada sementara penulis sejarah yang dengan berbagai dalih dan alasan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. bukan orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagai alasan dikatakan, bahwa hukum belum berlaku baginya, karena ketika ia memeluk Islam usianya masih sangat muda, malahan dikatakan "masih kanak-kanak".
Alasan seperti itu tampak sekali dicari-cari. Sebab, seorang remaja yang berusia 13 tahun, bukan seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah mampu berfikir membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Usia 13 tahun pada umumnya bisa dipandang sebagai tahap permulaan masa akil baligh. Dalam usia akil baligh itu orang sudah dapat menerima penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan tentang sesuatu dengan baik. Fikiran dan perasaannya pun sudah berada dalam tingkatan aktif, dapat membedakan mana hal-hal yang menyenangkan atau menyedihkan, mana yang mengagumkan dan mana yang memuakkan, mana yang masuk akal dan mana yang tidak.
Seperti diketahui, sejak Imam Ali r.a. berusia 6 tahun langsung diasuh, dibimbing dan dididik oleh Nabi Muhammad s.a.w. Menurut sistem pendidikan modern, tingkat usia 6 tahun itu justru yang paling tepat bagi seseorang anak memasuki sekolah dasar, yang akan berlangsung selama 6 tahun. Dari usia 6 tahun sampai 12 tahun dapatlah dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. telah mendapat "pendidikan dasar" dari seorang guru yang paling bijaksana.
Selama periode "pendidikkan dasar" itu, Imam Ali r.a. telah dipersiapkan oleh gurunya untuk menyongsong datangnya masa pancaroba yang akan menjadi ciri perobahan zaman. Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 13 tahun, terjadilah bi'tsah Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, yang akan menjungkir-balikkan masa jahiliyah dan menggantinya dengan kecerahan masa hidayah. Masa "pendidikkan dasar" dan persiapan yang sangat tepat waktunya itulah, yang kemudian mewarnai sikap hidup dan kepribadian Imam Ali r.a. sebagai orang yang teguh imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketika berlangsung blokade ekonomi dan pemboikotan sosial yang dilancarkan orang-orang kafir Qureiys terhadap semua keluarga Bani Hasyim, Imam Ali r.a. ikut langsung menghayati kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi akibatnya. Dengan mengikuti bimbingan serta tauladan Rasul Allah s.a.w. beserta Sitti Khadijah r.a., dengan tangguh, tabah dan sabar, Imam Ali r.a. ikut berjuang mempertahankan dan membela da'wah Islam.
Tidak hanya itu saja. Selama hampir empat tahun terkepung dalam Syi'ib, Imam Ali r.a. memperoleh kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menerima pendidikan tauhid dan ilmu-ilmu Ilahiyah, langsung dari Rasul Allah s.a.w. Satu kesempatan yang tidak pernah didapat oleh orang mukmin manapun. Dalam keadaan materiil serba kurang, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu fikirannya terbuka seterang-terangnya guna menerima hidayah llahi, dan dengan tuntunan Rasul Allah s.a.w. ia dapat mengenal hakekat kebenaran Allah 'Azza wa Jalla.
Tentang kedinian Imam Ali r.a. beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. sendiri pernah menegaskannya. Penegasan itu disaksikan oleh para sahabat dekat dan terkemuka, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khattab r.a. dan Abu Ubaidah r.a. Hal itu tercantum dalam Kitab "Kanzul Ummal", jilid VI, hlm. 393. Riwayatnya berasal dari Ibnu Abbas.
Umar Ibnul Khattab berkata: "....Aku, Abu Bakar dan Abu Ubaidah bersama beberapa orang sahabat Nabi lainnya pernah datang ke rumah Ummu Salmah. Setiba disana aku melihat Ali bin Abi Thalib sedang berdiri di pintu. Kami katakan kepadanya, bahwa kami hendak bertemu dengan Rasul Allah s.a.w. Ia menjawab, sebentar lagi beliau akan keluar. Waktu beliau keluar, kami segera berdiri. Kami lihat beliau bertopang pada Ali bin Abi Thalib dan menepuk-nepuk bahunya sambil berucap: "Engkau unggul dan akan tetap unggul, orang pertama yang beriman, seorang mukmin yang paling banyak mengetahui hari-hari Allah (hari-hari turunnya nikmat dan cobaan), paling setia menepati janji, paling adil dalam bertugas melakukan pembagian ghanimah, paling bercinta-kasih kepada rakyat, dan paling banyak menderita."


Membela Kebenaran


Di samping perjuangannya di bidang aqidah, ilmu dan pemikiran, Imam Ali r.a. juga terkenal sebagai seorang muda yang memiliki kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia mempunyai susunan jasmani yang sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah tentu, itu saja belum menjadi jaminan bagi seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Imannya yang teguh laksana gunung raksasa dan kesetiaannya yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama.
Imam Ali r.a. tidak pernah menghitung-hitung resiko dalam perjuangan suci menegakkan Islam. Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta iman yang kokoh dan mantap, Imam Ali r.a. benar-benar mempunyai syarat fisik-materiil dan mental-spiritual untuk menghadapi tahap-tahap perjuangan yang serba berat.
Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi yang kritis dan gawat, Imam Ali r.a. selalu tampil memainkan peranan menentukan. Selama hidup ia tak pernah mengalami hidup santai. Sejak muda remaja sampai akhir hayatnya, ia keluar masuk dari kesulitan ke kesulitan lain, dan dari pengorbanan ke pengorbanan yang lain. Namun demikian ia tak pernah menyesali nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, ia senantiasa siap menghadapi segala tantangan. Satu-satunya pamrih yang menjadi pemikirannya siang dan malam hanya ingin memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kesenangan hidup duniawi baginya bukan apa-apa dibanding dengan kenikmatan ukhrawi yang telah dijanjikan Allah s.w.t. bagi hamba-hamba-Nya yang berani hidup di atas kebenaran dan keadilan.
Berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Rasul Allah s.a.w. Tiap kali diuji, tiap kali itu juga lulus dengan meraih nilai yang amat tinggi. Ujian pertama yang maha berat ialah yang terjadi pada saat Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya berhijrah ke Madinah.
Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gulita, komplotan kafir Qureiys mengepung kediaman Rasul Allah s.a.w. dengan tujuan hendak membunuh beliau, bilamana beliau meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini Imam Ali r.a. memainkan peranan besar: Ia diminta oleh Rasul Allah s.a.w. supaya tidur di atas pembaringan beliau menutup tubuhnya dengan selimut beliau guna mengelabui mata orang-orang Qureiys. Tanpa tawar-menawar Imam Ali r.a. menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, melainkan karena ia khawatir atas keselamatan Rasul Allah s.a.w. yang saat itu berkemas-kemas hendak hijrah meninggalkan kampung halaman.
Melihat Imam Ali menangis, maka Rasul Allah bertanya: "Apa sebab engkau menangis, Apakah engkau takut mati?".
Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Tidak, ya Rasul Allah! Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran! Aku sangat khawatir terhadap diri anda. Apakah anda akan selamat, ya Rasul Allah?"
"Ya," jawab Nabi Muhammad s.a.w. dengan tidak ragu-ragu.
Mendengar kata-kata yang pasti dari Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. terus berkata: "Baiklah, aku patuh dan kutaati perintah anda. Aku rela menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya Rasul Allah!"
Imam Ali r.a. segera menghampiri pembaringan Rasul Allah s.a.w. Kemudian berselunjur mengenakan selimut beliau untuk menutupi tubuhnya. Saat itu orang-orang kafir Qureiys sudah mulai berdatangan di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. dan mengepungnya dari segala jurusan. Dengan perlindungan Allah s.w.t. dan sambil membaca ayat 9 Surah Yaa Sin, beliau keluar tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengintai. Orang-orang Qureiys itu menduga, bahwa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad s.a.w. Mereka yang mengepung itu mewakili suku-suku qabilah Qureiys yang telah bersepakat hendak membunuh Nabi Muhammad s.a.w. dengan pedang secara serentak. Dengan cara demikian itu, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut balas.
Imam Ali r.a. mengerti benar kemungkinan apa yang akan diperbuat orang-orang kafir Qureiys terhadap dirinya karena ia tidur di pembaringan Rasul Allah s.a.w. Hal itu sama sekali tidak membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa, ia berserah diri pada Allah s.w.t. Ia yakin, bahwa Dia-lah yang menentukan segala-galanya.
Menjelang subuh, Imam Ali r.a. bangun. Gerombolan Qureiys terus menyerbu ke dalam rumah. Dengan suara membentak mereka bertanya: "Mana Muhammad? Mana Muhammad?"
"Aku tak tahu di mana Muhammad berada!" jawab Imam Ali r.a. dengan tenang.
Gerombolan Qureiys itu segera mencari-cari ke sudut-sudut rumah. Usaha mereka sia-sia belaka. Gerombolan itu kecewa benar. Di dalam hati mereka bertanya-tanya: "Kemana ia pergi?" Dalam suasana gaduh Imam Ali r.a. bertanya: "Apa maksud kalian?"
"Mana, Muhammad? Mana Muhammad?" mereka mengulang-ulang pertanyaan semula.
"Apakah kalian mengangkatku menjadi pengawasnya?" ujar Imam Ali r.a. dengan nada memperolok-olok. "Bukankah kalian sendiri berniat mengeluarkannya dari negeri ini? sekarang ia sudah keluar meninggalkan kalian!"
Ucapan Imam Ali r.a. sungguh-sungguh menggambarkan ketabahan dan keberanian hatinya. Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, samasekali tidak dihiraukan, bahkan orang-orang Qureiys yang kalap itu dicemoohkan. Seandainya ada seorang saja dari gerombolan itu mengayunkan pedang ke arah Imam Ali r.a., entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak menghendaki hal itu.
Keesokan harinya, Imam Ali r.a. berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat membawa beberapa orang wanita Bani Hasyim, terutama Sitti Fatimah r.a., menyusul perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dalam hijrahnya ke Madinah.
Seperti telah diterangkan di muka, rombongan Imam Ali r.a. berangkat secara terang-terangan di siang hari. Setibanya di Dhajnan ia membuka babak konfrontasi bersenjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin.
Imam Ali r.a. yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan orang pertama yang menghunus pedang untuk mematahkan agresi bersenjata orang-orang kafir Qureiys. Terbelahnya tubuh Jenah menjadi dua dan larinya 7 orang pasukan berkuda Qureiys yang semula mengejar rombongan, merupakan tonggak sejarah yang menandai akan datangnya masa cerah bagi kaum muslimin dan masa suram bagi kaum musyrikin.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 3) - Rumah Tangga Serasi"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip