//

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 8) - Delapan Hari Tanpa Khalifah

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 8)

H.M.H. Al Hamid Al Husaini

Aswaja Mengisahkan tokoh kontroversi al imam ali ra dgn begitu objektif dan terukur, semoga dapat mengambil pelajaran dari kisah ini....

========================


Bab 9 Delapan Hari Tanpa Khalifah



Dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. tidaklah terselesaikan persoalan-persoalan gawat yang dihadapi oleh kaum muslimin. Malahan muncul krisis politik yang sifatnya lebih gawat, yang menuntut penanggulangan secara tepat dan bijaksana. Beberapa waktu lamanya kehidupan kaum muslimin tanpa pimpinan tertinggi dan situasi pemerintahan menjadi kosong.


Duniawi kontra Zuhud



Dalam situasi mengandung berbagai kemungkinan buruk itu, tokoh-tokoh Bani Umayyah yang selama ini memperoleh kepercayaan penuh dari Khalifah Utsman r.a., justru tidak mengambil tindakan apa pun juga. Marwan bin Al-Hakam dan kawan-kawannya lari meninggalkan Madinah. Amr bin Al-Ash, pada saat-saat Khalifah Utsman r.a. dikepung kaum muslimin yang memberontak, cepat-cepat pergi ke Palestina. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan sendiri, tidak juga mengambil inisiatif apa pun. Begitu pula Abdullah bin Abi Sarah yang sedang menjadi penguasa daerah Mesir. Semuanya diam, seolah-olah tak pernah terjadi suatu peristiwa politik yang besar dan gawat.
Orang bertanya-tanya: Mengapa para penguasa Bani Umayyah yang berkuasa di Mesir dan di Syam tidak segera memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman r.a.? Kemudian setelah Khalifah Utsman r.a. terbunuh, mengapa mereka tak segera mengirimkan pasukan untuk bertindak tegas terhadap kaum pemberontak dan menangkap oknum-oknum yang merencanakan dan melaksanakan pembunuhan atas diri Khalifah itu? Kenapa mereka berpangku tangan, padahal mereka mempunyai kekuatan cukup untuk melakukan tindakan hukum, sebelum Khalifah yang baru di angkat?
Pertanyaan-pertanyaan serupa itu adalah wajar. Sebab, para penguasa Bani Umayyah dan tokoh-tokohnya bukan orang-orang yang baru dilahirkan kemarin. Mereka cukup makan garam politik, terutama pada waktu mereka dulu mengorganisasi dan memimpin orang-orang kafir Qureiys melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Rasul Allah s.a.w. dan kaum muslimin. Nampaknya mereka bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan lain.
Pada masa itu tokoh Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi sejarah keislamannya tidak memungkinkan dirinya dapat dipilih sebagai Khalifah pengganti Khalifah Utsman bin Affan r.a. Ia memeluk Islam setelah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Ia masuk Islam kurang lebih dua tahun sebelum wafatnya Rasul Allah s.a.w. Sebelum itu ia sangat gencar memerangi kaum muslimin dalam usaha memukul Islam.
Dengan kata lain, selama masih ada sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w. yang sejak dulu sampai sekarang masih gigih membela kebenaran agama Allah, seperti Imam Ali r.a. dan lain-lain, harapan bagi Muawiyah untuk dapat dibai'at sebagai Khalifah penerus Utsman r.a. tidak mungkin dapat terlaksana.
Usaha merebut atau mewarisi kekhalifahan Utsman r.a. lebih dipersulit lagi oleh dua kenyataan:
1. Khalifah Utsman r.a. wafat akibat terjadinya konflik politik yang gawat dengan rakyatnya sendiri.
2. Ia wafat meninggalkan warisan situasi pemerintahan yang sudah tidak disukai oleh kaum muslimin.
Konflik politik dan warisan situasi yang tidak menguntung kan orang-orang, Bani Umayyah itu perlu "dibenahi" lebih dulu untuk dapat meraih kedudukan sebagai pengganti Khalifah Utsman r.a.


Muawiyah harus dapat menciptakan situasi baru, di mana konflik politik yang sedang panas itu bisa dialihkan kepada sasaran baru. Untuk ini harus pula dicari "kambing hitam" yang "tepat". Dalam hal ini ialah orang yang mempunyai kemungkinan paling besar akan dibai'at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah. Imam Ali r.a. merupakan seorang tokoh yang paling banyak mempunyai syarat untuk dibai'at. Ia bukan hanya anggota Ahlu-Bait Rasul Allah s.a.w., melainkan juga ia seorang genial, ilmuwan dan pahlawan perang.
Sudah sejak dulu, tokoh-tokoh Bani Umayyah selain Utsman r.a. memandang Imam Ali r.a. dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa banyaknya korban kafir Qureiys, termasuk sanak famili mereka, yang mati di ujung pedang Imam Ali r.a. dalam pertempuran-pertempuran antara kaum musyrikin dan kaum muslimin di masa lalu.
Mereka juga tahu, bahwa di masa Khalifah Utsman r.a. masih hidup, Imam Ali r.a. satu-satunya orang yang selalu mengingatkan Khalifah tentang besarnva bahaya yang akan timbul akibat permainan para pembantunya yang terdiri dari orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a. jugalah yang selalu menasehati Khalifah Utsman r.a. supaya mencegah berlarut-larutnya pacuan memperebutkan harta kekayaan secara tidak sah, yang sedang terjadi di kalangan sementara lapisan ummat lslam. Bahkan Imam Ali r.a. jugalah yang bila perlu melancarkan kritik-kritik secara terbuka dan jujur terhadap kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a.
Tokoh-tokoh Bani Umayyah tahu benar, bahwa Imam Ali r.a. adalah juru bicara yang paling mustahak mewakili jeritan sebagian besar kaum muslimin, yang ingin dipulihkan kembali suasana kehidupan seperti yang pernah terjadi pada zaman hidupnya Rasul Allah s.a.w.
Golongan Bani Umayyah memandang Imam Ali r.a. sebagai penghambat dan selalu menjadi perintang bagi mereka dalam usaha meraih kedudukan dan keuntungan-keuntungan materil. Seandainya Khalifah Utsman r.a. sebelum wafatnya berwasyiat supaya Imam Ali r.a. dibai'at sebagai Khalifah penggantinya, golongan Bani Umayyah sudah pasti tidak akan melaksanakannya.
Pertentangan antara Muawiyah dan pendukung-pendukungnya dengan Imam Ali r.a. dan pendukung-pendukungnya, pada hakekatnya bukanlah pertentangan antar-golongan, melainkan pertentangan antara kehidupan yang terangsang oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dengan kehidupan zuhud. Hal ini akan terbukti kebenarannya pada babak-babak terakhir dari proses pertentangan antara keduabelah fihak.

Mencari Calon Pengganti



Dalam situasi tidak menentu, kaum pemberontak dan penduduk Madinah berpendapat, bahwa hanya salah seorang di antara 5 orang sahabat dekat Rasul Allah s.a.w. yang patut dibai'at sebagai Khalifah pengganti. Mereka itu ialah yang dulu bersama-sama Utsman bin Affan r.a. pernah dicalonkan oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. sebelum wafatnya. Namun dari yang 5 orang itu, hanya 4 orang saja yang masih hidup. Abdurrahman bin A'uf sudah tiada.
Tragedi pembunuhan Khalifah Utsman r.a. sangat menggoncangkan dan memilukan Sa'ad bin Abi Waqqash. Karena sebelum itu, Khalifah Umar r.a. juga mati terbunuh, sungguhpun pembunuhnya bukan seorang muslim (tetapi majusi) dan terjadinya bukan akibat konflik politik di antara sesama kaum muslimin. Oleh karena itu Sa'ad bin Abi Waqqash mengambil keputusan untuk menjauhkan diri sama sekali dari kegiatan politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Ia tidak mau melibatkan diri atau dilibatkan dalam proses pembai'atan seorang Khalifah baru. Dengan demikian dari 4 orang sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang masih hidup, kini hanya tinggal 3 orang saja yang dapat dicalonkan.
Jalan menuju terbai'atnya Khalifah ke 4 ternyata tidak selicin seperti yang diperkirakan orang. Dalam proses permulaan saja sudah menghadapi kesukaran berat. Karena ketiga orang calon tersebut sudah tidak ada yang bersedia dibai'at sebagai Khalifah. Usaha pendekatan yang dilakukan oleh kaum muslimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a. sukar diterima oleh tiga orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu. Kemacetan berlangsung selama 8 hari. Sedangkan kaum muslimin, baik yang tinggal di kota Madinah maupun yang di daerah-daerah, cemas-cemas gelisah menantikan adanya pimpinan yang baru.
Tragedi pembunuhan kejam terhadap Khalifah Utsman r.a., dikuasainya ibukota oleh kaum pemberontak, macetnya pemilihan Khalifah baru, semuanya merupakan kerawanan yang amat berbahaya. Pasukan-pasukan muslimin yang sedang bertugas di luar daerah dengan gelisah menunggu adanya instruksi-instruksi baru. Jika krisis itu berlarut-larut, mereka sangat khawatir kalau-kalau musuh Islam akan memanfaatkan krisis kepemimpinan itu sebagai peluang yang baik untuk melancarkan serangan-serangan.
Di Mesir, seorang Kepala Daerah yang tidak disukai oleh penduduk dan dituntut pemberhentiannya (Abdullah bin Abi Sarah) masih tetap berkuasa. bersama dengan itu, seorang Kepala Daerah yang terkenal cakap dan erat hubungannya dengan Khalifah Utsman r.a., yakni Muawiyah, hanya sibuk dalam kegiatan meningkatkan kedudukannya.
Kaum pemberontak menyadari, tanpa kerjasama dan bantuan aktif kaum Muhajirin dan Anshar, mereka tidak akan berhasil menentukan pengganti Khalifah Utsman r.a. Setelah mengadakan pembahasan secara mendalam tentang situasi gawat yang akan timbul akibat tidak adanya pemerintahan pusat, dan dengan dukungan kaum Muhajirin dan Anshar, para sahabat Rasul Allah s.a.w., sepakat untuk secepat mungkin mengadakan pemilihan seorang calon, yang akan dibai'at sebagai Khalifah baru. Calon itu ialah Imam Ali r.a.


Imam Ali r.a. di Bai`at



Menurut penuturan Abu Mihnaf, sebagaimana tercantum dalam Syarh Nahjil Balaghah, jilid IV, halaman 8, dikatakan, bahwa ketika itu kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan harap-harap cemas mereka menunggu berita tentang siapa yang akan menjadi Khalifah baru. Masjid yang menurut ukuran masa itu sudah cukup besar, penuh sesak dibanjiri orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin yang menonjol tampak hadir Ammar bin Yasir, Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu Ayub bin Yazid. Mereka bulat berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a. lah tokoh yang paling mustahak dibai'at.
Diantara mereka yang paling gigih berjuang agar Imam Ali r.a. dibai'at ialah Ammar bin Yasir. Dalam mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar mengemukakan rasa syukur karena kaum Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman r.a.
Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak mengkesampingkan kepentingan mereka sendiri, maka yang paling baik ialah membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar, mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling dini memeluk Islam.
Kepada kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian sudah mengenal betul siapa Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan kelebihan-kelebihannya lebih panjang lebar lagi. Kita tidak melihat ada orang lain yang lebih tepat dan lebih baik untuk diserahi tugas itu!
Usul Ammar secara spontan disambut hangat dan didukung oleh yang hadir. Malahan kaum Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang satu-satunya orang yang paling afdhal!"
Setelah tercapai kata sepakat, semua yang hadir berdiri serentak, kemudian berangkat bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a. Di depan rumahnya mereka beramai-ramai minta dan mendesak agar Imam Ali r.a. keluar. Setelah Imam Ali r.a. keluar, semua orang berteriak agar ia bersedia mengulurkan tangan sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin.
Pada mulanya Imam Ali r.a. menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus terang ia menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir yang membantu daripada menjadi seorang Amir yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at sebagai Khalifah, akan kuterima dengan rela. Ingatlah, kita akan menghadapi banyak hal yang menggoncangkan hati dan fikiran."
Jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu tak dapat diterima sebagai alasan oleh banyak kaum muslimin yang waktu itu datang berkerumun di rumahnya. Mereka tetap mendesak atau setengah memaksa, supaya Imam Ali r.a. bersedia dibai'at oleh mereka sebagai Khalifah. Dengan mantap mereka menegaskan pendirian: "Tidak ada orang lain yang dapat menegakkan pemerintahan dan hukum-hukum Islam selain anda. Kami khawatir terhadap ummat Islam, jika kekhalifahan jatuh ketangan orang lain…"
Beberapa saat lamanya terjadi saling-tolak dan saling tukar pendapat antara Imam Ali r.a. dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar mengemukakan alasannya masing-masing tentang apa sebabnya mereka mempercayakan kepemimpinan tertinggi kepada Imam Ali r.a. Betapapun kuat dan benarnya alasan yang mereka ajukan Imam Ali r.a. tetap menyadari, jika ia menerima pembai'atan mereka pasti akan menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan gawat.
Baru setelah Imam Ali r.a. yakin benar, bahwa kaum muslimin memang sangat menginginkan pimpinannya, dengan perasaaan berat ia menyatakan kesediaannya untuk menerima pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang mendorong Imam Ali r.a. bersedia dibai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan kepentingan kaum muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas terpeliharanya nilai-nilai peninggalan Rasul Allah s.a.w., membuatnya siap menerima tanggung jawab berat di atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia tidak pernah lengah, bahwa situasi yang ditinggalkan oleh Khalifah Utsman r.a. benar-benar merupakan tantangan besar yang harus ditanggulangi.
Keputusan Imam Ali r.a. untuk bersedia dibai'at sebagai Amirul Mukminin disambut dengan perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar kaum muslimin.
Kepada mereka Imam Ali r.a. meminta supaya pembai'atan dilakukan di masjid agar dapat disaksikan oleh umum. Kemudian Imam Ali r.a. juga memperingatkan, jika sampai ada seorang saja yang menyatakan terus terang tidak menyukai dirinya, maka ia tidak akan bersedia dibai'at. Mereka dapat menyetujui permintaan Imam Ali r.a., lalu ramai-ramai pergi menuju masjid.
Setibanya di Masjid, ternyata orang pertama yang menyatakan bai'atnya ialah Thalhah bin Ubaidillah. Menyaksikan kesigapan Thalhah itu, seorang bernama Qubaisah bin Dzuaib Al Asadiy menanggapi: "Aku Khawatir, jangan-jangan pembai'atan Thalhah itu tidak sempurna!" Ia mengucapkan tanggapannya itu karena tangan Thalhah memang lumpuh sebelah. Orang lain membiarkan komentar itu lewat begitu saja.
Zubair bin Al-'Awwam segera mengikuti jejak Thalhah menyatakan bai'at kepada Imam Ali r.a. Sesudah itu barulah kaum Muhajirin dan Anshar menyatakan bai'atnya masing-masing. Yang tidak ikut menyatakan bai'at ialah Muhammad bin Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik.
Tata cara pembai'atan dilakukan menurut prosedur sebagaimana yang lazim berlaku atas diri Khalifah-khalifah sebelumnya. Sesuai dengan tradisi pada masa itu, sesaat setelah dibai'at Amirul Mukminin Imam Ali r.a. menyampaikan amanatnya yang pertama. Antara lain mengatakan:
"Sebenarnya aku ini adalah seorang yang sama saja seperti kalian. Tidak ada perbedaan dengan kalian dalam masalah hak dan kewajiban. Hendaknya kalian menyadari, bahwa ujian telah datang dari Allah s.w.t. Berbagai cobaan dan fitnah telah datang mendekati kita seperti datangnya malam yang gelap-gulita. Tidak ada seorang pun yang sanggup mengelak dan menahan datangnya cobaan dan fitnah itu, kecuali mereka yang sabar dan berpandangan jauh. Semoga Allah memberikan bantuan dan perlindungan.
"Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada kalian, dan berhentilah pada apa yang menjadi larangan-Nya. Dalam hal itu janganlah kalian bertindak tergesa-gesa, sebelum kalian menerima penjelasan yang akan kuberikan.
"Ketahuilah bahwa Allah s.w.t. di atas 'Arsy-Nya Maha Mengetahui, bahwa sebenarnya aku ini tidak merasa senang dengan kedudukan yang kalian berikan kepadaku. Sebab aku pernah mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berkata: "Setiap waliy (penguasa atau pimpinan) sesudahku, yang diserahi pimpinan atas kaum muslimin, pada hari kiyamat kelak akan diberdirikan pada ujung jembatan dan para Malaikat akan membawa lembaran riwayat hidupnya. Jika waliy itu seorang yang adil, Allah akan menyelamatkannya karena keadilannya. Jika waliy itu seorang yang dzalim, jembatan itu akan goncang, lemah dan kemudian lenyaplah kekuatannya. Akhirnya orang itu akan jatuh ke dalam api neraka…"


Demikianlah tutur Abu Mihnaf yang uraian riwayatnya tidak berbeda jauh dari versi sejarah yang ditulis oleh beberapa penulis lain. Lebih jauh Abu Mihnaf mengatakan, bahwa orang-orang yang tidak ikut serta menyatakan bai'at, diminta oleh Imam Ali r.a. supaya menemuinya secara langsung pada lain kesempatan.
Pada suatu hari ketika Abdullah bin Umar diminta pernyataan bai'atnya, ia menolak. Ia baru bersedia membai'at Imam Ali r.a., kalau semua orang sudah menyatakan bai'atnya. Melihat sikap Abdullah yang sedemikian itu, Al Asytar, seorang sahabat setia Imam Ali r.a. dan terkenal sebagai pahlawan perang, tidak dapat menahan kemarahannya. Kepada Imam Ali r.a., Al-Asytar berkata: "Ya Amiral Mukminin, pedangku sudah lama menganggur. Biar kupenggal saja lehernya!"
"Aku tidak ingin ia menyatakan bai'at secara terpaksa," ujar Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi ucapan Al-Asytar. "Biarkanlah!"
Setelah Abdullah, datanglah Sa'ad bin Abi Waqqash atas panggilan Imam Ali r.a. Ketika diminta pernyataan bai'atnya, ia menjawab supaya dirinya jangan diganggu dulu. "Kalau sudah tidak ada orang lain kecuali aku sendiri, barulah aku akan membai'at anda."
Mendengar keterangan Sa'ad itu, Imam Ali r.a. berkata kepada seorang sahabatnya: "Sa'ad bin Abi Waqqash memang tidak berdusta. Biarkan saja dia!" Imam Ali r.a. kemudian memperbolehkan Sa'ad meninggalkan tempat.
Waktu tiba giliran Usamah bin Zaid, ia mengatakan: "Aku ini kan maula anda. Aku sama sekali tidak mempunyai persoalan atau niat hendak menentang anda. Pada saat semua orang sudah menjadi tenang kembali aku pasti akan menyatakan bai'at kepada anda."
Usamah lalu diperbolehkan meninggalkan tempat. Tampaknya Usamah bin Zaid merupakan orang terakhir yang dipanggil untuk menyatakan bai'at. Sebab, setelah itu tidak ada orang lain lagi yang dipanggil untuk diminta bai'atnya.
Delapan hari sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan r.a., kini kaum muslimin telah mempunyai Khalifah baru. Menurut catatan sejarah, jangka waktu 8 hari itu merupakan waktu terpanjang dalam usaha penetapan seorang Khalifah. Satu keadaan yang cukup menggambarkan betapa resahnya fikiran kaum muslimin pada saat itu. Delapan hari lamanya kaum muslimin hidup tanpa pimpinan.
Kota Madinah yang sejak masa hidupnya Rasul Allah s.a.w. menjadi pusat kepemimpinan agama dan pemerintahan, selama delapan hari itu berada dalam keadaan serba tak menentu. Tidak ada kemantapan dan tidak ada ketertiban hukum. Kaum pembangkang yang datang dari luar Madinah, banyak yang berusaha mengadakan kegiatan pengacauan di kota tersebut. Beberapa kelompok kaum Muhajirin dan Anshar mengalami berbagai hambatan dalam menentukan sikap.
Sedangkan pemuka-pemuka Bani Umayyah, secara diam-diam mulai "mengkambing-hitamkan" Imam Ali r.a. Mereka melancarkan tuduhan, bahwa Imam Ali r.a. lah yang "membunuh Utsman" atau "melindungi kaum pemberontak". Dengan tuduhan itu mereka mengharap Imam Ali r.a. akan ditinggalkan oleh para pendukungnya dan dengan demikian ia bisa terguling dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin.

Bab 10 Benih-benih Peperangan Saudara



Tidak berapa lama sesudah Imam Ali r.a. mengucapkan amanatnya yang pertama, muncullah persoalan baru. Waktu itu banyak orang sedang berkerumun untuk menerima pembagian harta ghanimah dari Baitul Mal.
Kepada seorang jurutulis, Ubaidillah bin Abi Rafi', Amirul Mukminin memerintahkan supaya pembagian dimulai dari kaum Muhajirin, dengan masing-masing diberi 3 dinar. Kemudian menyusul kaum Anshar. Semuanya mendapat jumlah yang sama, yaitu 3 dinar.
Waktu itu, seorang bernama Sahl bin Hanif bertanya: apakah dua budaknya yang baru dimerdekakan hari itu, juga akan menerima jumlah yang sama? Dengan tegas Imam Ali r.a. mengatakan, bahwa semua orang menerima hak yang sama yaitu 3 dinar.
Ketika pembagian ghanimah berlangsung, beberapa orang tokoh penting tidak hadir. Di antara yang tidak hadir itu ialah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al-'Awwam, Abdullah bin Umar, Said bin Al-Ash.


Perobahan Drastis



Beberapa waktu setelah pembagian ghanimah dilaksanakan, timbullah ketegangan antara Imam Ali r.a. dengan sekelompok orang-orang Qureiys. Peristiwanya terjadi di masjid Madinah, sehabis shalat subuh. Selesai mengimami shalat, Amirul Mukminin duduk seorang diri. Kemudian ia didekati oleh Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu'aith.
Atas nama teman-temannya (termasuk yang tidak hadir pada saat pembagian ghanimah) ia mengatakan kepada Imam Ali: "Ya Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali ra.), hati kami semua sudah pernah anda sakiti. Tentang aku sendiri, ayahku telah anda tewaskan dalam perang Badr, tetapi aku tetap dapat bersabar. Lalu dalam peristiwa lain, anda tidak mau menolong saudaraku. Tentaug Sa'id, dalam perang Badr juga ayahnya telah anda tewaskan. Sedang mengenai Marwan, anda juga pernah menghina ayahnya di depan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika Marwan diangkat sebagai pembantunya."
Setelah berhenti sejenak untuk mengubah gaya duduknya, Al-Walid melanjutkan: "Mereka itu semuanya adalah kaum kerabat anda sendiri dan di antara mereka itu bahkan terdapat beberapa orang terkemuka dari Bani Abdi Manaf. Sekarang kami telah membai'at anda, tetapi kami mengajukan syarat. Yaitu agar anda tetap memberikan kepada kami jumlah pembagian ghanimah yang selama ini sudah diberikan oleh Khalifah Utsman kepada kami."
Setelah berfikir sejenak, Al-Walid meneruskan: "Selain itu, anda harus dapat menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang telah membunuh Utsman bin Affan. Ketahuilah, jika kami ini merasa takut kepada anda, tentu anda sudah kami tinggalkan dan kami bergabung dengan Muawiyah di Syam."
Kalimat yang terakhir ini jelas merupakan intimidasi politik yang dapat dikaitkan dengan rencana gelap Muawiyah bin Abi Sofyan di Syam.
Tanpa ragu-ragu Imam Ali r.a. secara terus terang menjawab intimidasi politik Al-Walid itu. Ia berkata: "Tentang tindakan-tindakan yang kalian sebut sebagai menyakiti hati kalian, sebenarnya kebenaran Allah-lah yang menyakiti hati kalian. Tentang jumlah pembagian harta yang selama ini kalian terima dari Khalifah Utsman, kutegaskan, bahwa aku tidak akan mengurangi atau menambah hak yang telah ditetapkan Allah bagi kalian dan bagi orang-orang lain. Adapun mengenai keinginan kalian supaya aku menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang membunuh Utsman, jika aku memang wajib membunuhnya, tentu sudah kubunuh sejak kemarin-kemarin. Jika kalian takut kepadaku, akulah yang akan menjamin keselamatan kalian. Tetapi jika aku yang takut kepada kalian, kalian akan kusuruh pergi!"
Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang begitu tegas, Al-Walid beranjak meninggalkan tempat, kemudian mendekati teman-temannya yang sedang bergerombol di sudut lain dalam masjid. Kepada mereka Al-Walid menyampaikan apa yang baru didengarnya sendiri dari Amirul Mukminin. Tampaknya mereka tidak mempunyai persamaan pendapat tentang bagaimana cara menunjukkan sikap menentang Imam Ali r.a. dan bagaimana cara menyebarkan rasa permusuhan terhadapnya.
Perbedaan pendapat di antara kelompok Al-Walid itu didengar oleh Ammar bin Yasir, yang kemudian segera menyampaikannya kepada teman-temannya. Ammar mengajak beberapa orang temannya untuk menentukan tindakan sendiri terhadap kelompok Al-Walid, guna membuktikan kesetiaannya kepada Imam Ali r.a. Akan tetapi setelah dipertimbangkan masak-masak, akhirnya mereka berpendapat lebih baik melaporkan kejadian itu kepada Amirul Mukminin.
Bersama-sama dengan Abul Haitsam, Abu Ayub bin Hanif dan beberapa orang lainnya lagi, Ammar bin Yasir mendatangi Imam Ali r.a. Setelah melaporkan apa yang didengarnya, ia mendorong agar Imam Ali r.a. cepat bertindak untuk memperkokoh kepemimpinannya. Kata Ammar kepada Imam Ali r.a.
"Marahilah kaum anda itu. Mereka itu ialah orang-orang Qureiys yang telah menciderai janji setia kepada anda. Secara diam-diam mereka membisikkan supaya kami melawan anda. Mereka tidak menyukai anda, hanya karena anda menjalankan kebijaksanaan sesuai dengan tauladan yang telah diberikan Rasul Allah s.a.w. Mereka merasa kehilangan sesuatu yang selama ini dirasakan enak dan menguntungkan mereka. Pada saat anda memperlakukan mereka sama dengan orang-orang lain, mereka menentang. Kemudian mereka mengadakan hubungan-hubungan dengan musuh-musuhmu dan memuji-mujinya. Secara terang-terangan mereka telah mengambil sikap yang berlainan dengan orang banyak. Mereka ikut-ikut menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Mereka bersekongkol dengan orang-orang sesat. Sekarang bagaimana sikap anda?"
Mendengar apa yang dikatakan Ammar dan kawan-kawannya, Imam Ali r.a. langsung keluar menuju masjid. Dengan menyandang pedang dan bertongkat busur, ia naik ke mimbar menghadapi orang banyak yang sedang berkumpul. Setelah mengucap syukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah s.w.t., Amirul Mukminin memperingatkan kepada semua yang hadir, bahwa nikmat yang diterima oleh manusia dari Al Khalik sekaligus juga merupakan ujian: apakah kita bersyukur atau berkufur.
Barang siapa bersyukur, kata Imam Ali r.a., akan memperoleh tambahan nikmat lebih banyak lagi. Sedang siapa yang berkufur, ia pasti akan mendapat siksa berat. Orang yang paling mulia di sisi Allah dan yang terdekat hubungannya dengan Dia, ialah orang yang paling taqwa dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya, yang paling setia kepada-Nya, yang paling ikhlas mengikuti Sunnah Rasul-Nya dan yang paling teguh melaksanakan Kitab-Nya.
Di antara kita, kata Imam Ali r.a. seterusnya, tidak ada orang yang memperoleh kelebihan dan keutamaan, kecuali mereka yang paling taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Untuk memperkuat kata-katanya itu Imam Ali r.a. memperingatkan hadirin kepada bunyi Surah Al-Hujurat ayat 13, yang artinya: "Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita, kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu."
Selanjutnya dengan nada keras Amirul Mukminin memperingatkan kelompok-kelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang sudah tergiur oleh harta kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ia menegaskan, bahwa masalah pembagian harta ghanimah, kepada seorang tidak akan diberikan lebih banyak dari yang lain. Dikatakannya juga: "Allah telah mengizinkan harta tersebut dibagi-bagi. Harta itu adalah milik Allah, sedang kalian adalah hamba-hamba-Nya yang berserah diri kepada-Nya."
Seusai menjelaskan prinsip kebijaksanaannya, Amirul Mukminin memerintahkan Ammar bin Yasir dan Abdurrahrnan bin Hazal Al-Qureysiy supaya memanggil Thalhah dan Zubair yang waktu itu duduk agak jauh. Sambil memandang tajam kepada kedua orang tersebut, setelah berada dekatnya, Imam Ali r.a. berkata: "Katakan terus terang, bukankah kalian telah membai'atku dan berjanji setia kepadaku? Bukankah kalian telah minta kepadaku agar aku bersedia dibai'at, padahal waktu itu aku sendiri tidak berminat?"
"Ya, benar," jawab kedua orang itu.
"Benarkah waktu itu kalian tidak dipaksa oleh siapa pun? Bukankah dengan pernyataan bai'at kalian itu, kalian telah menyatakan janji setia dan taat kepadaku?" tanya Imam Ali r.a. lagi.
"Ya, benar," jawab kedua orang itu pula.
"Lantas, sesudah semuanya itu apakah yang membuat kalian sampai bersikap seperti yang kuketahui itu?" tanya Imam Ali r.a. lagi untuk mendapat jawaban pasti.
"Kami membai'atmu dengan syarat," jawab kedua orang itu. "Bahwa anda tidak akan mengambil keputusan atau tindakan tanpa persetujuan kami, dan anda akan selalu mengajak kami bermusyawarah, serta tidak akan memaksakan sesuatu kepada kami. Sebab sebagaimana anda ketahui, kami ini mempunyai kelebihan dibanding dengan orang lain. Tetapi anda melaksanakan pembagian harta ghanimah berdasarkan keputusan sendiri tanpa bermusyawarah dan tanpa sepengetahuan kami."
"Kalian sebenarnya dendam karena soal yang amat kecil dan mengharapkan sesuatu yang sangat besar,"
kata Amirul Mukminin sambil menekan perasaan, menanggapi jawaban Thalhah dan Zubair tadi. "Mohonlah pengampunan kepada Allah, Dia akan mengampuni kalian! Bukankah dengan ucapan itu kalian bermaksud hendak mengatakan, bahwa aku ini telah menghapus hak kalian dan aku berlaku dzalim terhadap kalian mengenai hal itu? Apakah aku meremehkan atau menutup muka terhadap hukum atau terhadap sesuatu yang sudah menjadi hak kaum muslimin?"
"Na'udzubillah," sela Thalhah dan Zubair.
"Lantas, apa sebab kalian tidak menyukai perintahku dan mempunyai pendirian lain?" tanya Imam Ali r.a. pula sebelum meneruskan penjelasannya. "Kami tidak sependapat dengan anda," ujar kedua orang itu, "karena anda tidak melaksanakan pembagian seperti yang telah dilakukan oleh Utsman bin Affan.Hak kami anda samakan saja dengan hak orang lain. Kami ini anda sama-ratakan dengan orangorang yang tidak seperti kami, sedang kami ini adalah orang-orang yang sudah berjuang dengan pedang, tombak dan senjata-senjata lainnya. Kami telah berjuang sampai da'wah risalah berhasil ditegakkan dan dimenangkan. Kami telah berhasil pula menundukkan mereka yang tidak menyukai Islam…"
Demikian tangkisan dua orang itu, terhadap desakan pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Imam Ali r.a. Dengan tidak menanggapi secara langsung pembicaraan tentang jasa-jasa mereka, Imam Ali r.a. berkata lebih jauh:
"Setelah kepemimpinan itu kuterima, aku selalu berpegang dan tidak pernah berpaling dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kujalankan dan kuikuti apa saja yang ditunjukkan oleh kedua-duanya. Apa yang sudah ditunjukkan oleh Allah dan Rasul-Nya, aku tidak memerlukan pendapat kalian. Jika ada masalah hukum yang tidak kutemui penjelasannya, baik di dalam Kitab Allah maupun dalam Sunnah Rasul-Nya, dan hal itu memang perlu dimusyawarahkan, kalian tentu kuajak bermusyawarah.
"Tentang pembagian harta ghanimah secara merata, bukan aku yang mula-mula menetapkan hukumnya. Aku dan kalian berdua sama-sama menyaksikan bahwa Rasul Allah s.a.w. sendirilah yang menetapkannya. Kitab Allah juga menyebutkan hal itu, yaitu Kitab Suci yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun, baik secara terang maupun samar.
"Adapun pernyataan kalian yang mengatakan kalian berhak menerima pembagian lebih banyak dari orang lain, karena kalian telah berjuang dengan pedang dan tombak, ketahuilah…, bahwa sebelum kalian sudah ada orang-orang yang memeluk Islam lebih dahulu. Mereka pun berjuang membela Islam dengan pedang dan tombak. Walaupun demikian, Rasul Allah s.a.w. tidak memberi kepada mereka jumlah yang lebih banyak daripada orang lain. Rasul Allah s.a.w. tidak memberi keistimewaan kepada mereka hanya karena memeluk Islam lebih dini. Allah sendirilah pada hari kiyamat kelak akan melimpahkan pahala kepada mereka."
Penjelasan Imam Ali r.a. yang dramatis itu didengarkan oleh semua yang berada di dalam masjid. Mengakhiri penjelasannya, Imam Ali r.a. berkata: "Kalian berdua dan juga orang lain, dari aku tidak akan memperoleh lebih dari yang sudah menjadi hak masing-masing. Semoga Allah s.w.t. berkenan membuka hatiku dan hati kalian untuk dapat menerima kebenaran. Semoga pula Ia melimpahkan kesabaran kepadaku dan kepada kalian. Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang setelah mengetahui kebenaran lalu bersedia membelanya, dan yang setelah mengetahui kedzaliman lalu bersedia menolaknya…"
Dialog tersebut kami kutip dari tulisan salah seorang tokoh kaum Mu'tazilah, Abu Ja'far Al-Iskafiy, yang berasal dari Bagdad. Dalam tanggapannya, Al-Iskafiy mengungkapkan, bahwa pembagian harta ghanimah yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. itu sama seperti yang dahulu dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Al-Iskafiy bertanya: Mengapa Thalhah dan kawan-kawannya itu dulu tidak pernah menolak? Perbedaan apakah yang mereka tentang sekarang ini? Al-Iskafiy kemudian menjawab pertanyaan sendiri:
"Apa yang dulu dilakukan oleh Abu Bakar r.a. sepenuhnya sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya. Tetapi pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, ia melaksanakan pembagian yang berbeda. Yaitu memberi kepada segolongan orang lebih banyak daripada yang diberikan kepada golongan lain. Dengan demikian mereka yang menerima lebih banyak itu menjadi terbiasa dimanjakan, sampai lupa kepada cara pembagian sebelumnya.
"Masa pemerintahan Umar r.a. relatif lama, sehingga fikiran orang-orang itu cukup terpengaruh oleh kesenangan akan harta yang mendatangkan kenikmatan duniawi. Sementara itu orang lain yang menerima lebih sedikit, menjadi terbiasa pula menerima apa adanya. Tidak ada di antara dua golongan itu yang menduga bakal dikembalikannya sistim pembagian seperti yang dulu dilakukan oleh Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar r.a. Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, ia melaksanakan sistim pembagian sama seperti yang dilaksanakan Khalifah Umar. Oleh karena itu kaum muslimin bertambah yakin tentang benarnya sistim pembagian yang dilaksanakan oleh Umar dan Utsman r.a.
"Dengan mengembalikan sistim pembagian seperti yang berlaku pada masa Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar, sama artinya Imam Ali telah menghapuskan sistim pembagian yang dilakukan Khalifah Umar dan Khalifah Utsman. Sebagaimanan diketahui, kurun waktu yang memisahkan antara kekhalifahan Abu Bakar dan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ialah 22 tahun. Jadi hampir satu generasi! Itulah sebabnya mengapa perubahan drastis yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. sangat menyentak hati mereka yang sudah terbiasa menerima pembagian lebih banyak selama 22 tahun."
Masalah pembagian harta ghanimah tersebut, ternyata telah mencuramkan jurang pertentangan antara Imam Ali r.a. di satu fihak dengan Thalhah Zubair dan kawan-kawannya di fihak lain. Perselisihan mengenai hal itu kemudian berkembang menjadi pertentangan politik, sehingga meningkat sedemikian rupa tajamnya, sampai membahayakan keutuhan persatuan ummat Islam. Terutama setelah perselisihan itu ditunggangi oleh Muawiyah bin Abu Sufvan dari Syam, yang berhasil mengalihkan persoalan dari masalah sistim pembagian harta ghanimah, menjadi menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a.


Pertentangan terbuka



Kehidupan kenegaraan dan tata kemasyarakatan yang ditinggalkan Khalifah Utsman bin Affan r.a. memang berada dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah. Sejak sebelum dibai'at, Imam Ali r.a. sudah membayangkan adanya kesulitan-kesulitan besar yang bakal dihadapi. Berbagai macam problema sosial, politik dan ekonomi ternyata muncul dalam waktu yang bersamaan.
Langkah pertama untuk membenahi keadaan yang serba tak mantap, tentu saja memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota, Madinah. Ribuan kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil dihimbau dan dijinakkan sampai mereka berhasil dipulihkan kembali ke dalam kehidupan normal. Bagi Imam Ali r.a. tidak ada kemungkinan untuk bertindak terhadap ribuan kaum pemberontak yang telah mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Bertindak terhadap mereka, berarti menyulut api perang saudara.
Bagi Imam Ali r.a. memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada bermusuhan dengan kaum muslimin yang menuntut terlaksananya kebenaran dan keadilan, lebih baik berhadap hadapan dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah, betapa pun besarnya resiko yang akan dipikul.
Dan ternyata, tidak bertindaknya Imam Ali r.a. terhadap kaum mulimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a., dijadikan alasan dan dalih oleh lawan-lawan politiknya untuk menggerakan kekuatan oposisi dan perlawanan. Kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh Imam Ali r.a.
Ada lagi tindakan dan langkah Imam Ali r.a: yang sangat menjengkelkan lawan-lawan politiknya. Yaitu tindakan menertibkan aparatur pemerintahan. Penguasa-penguasa daerah yang selama 6 tahun terakhir masa pemerintahan Khalifah Utsman r.a. terbukti telah menyalah-gunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demi seorang. Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Di antara mereka ialah Marwan bin Al Hakam, seorang pembantu Khalifah Utsman r.a. yang sangat dominan kekuasaannya, yang kemudian lari meninggalkan Madinah. Juga Abdullah bin Abi Sarah digeser dari kedudukkannya sebagai penguasa daerah Mesir. Imam Ali r.a. juga berniat hendak mengganti penguasa daerah Syam yang berpengaruh itu, Muawiyah bin Abi Sufyan.
Sebelum bertindak melaksanakan penertiban, Imam Ali r.a. telah mengadakan pertukaran pendapat dengan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar. Ia yakin, bahwa hanya dengan aparatur yang bersih dan sepenuhnya mengabdi kepentingan agama dan ummat saja, pemerintahnya akan dapat berjalan dengan lancar dan kebenaran serta keadilan dapat ditegakkan. Imam Ali r.a. tidak tanggung-tanggung dalam bertindak menjalankan penertiban. Siapa saja yang terbukti tidak mengabdikan amalnya kepada agama Allah dan ummat Islam, digeser tanpa tawar-menawar. Satu persatu tokoh-tokoh yang tidak atau kurang jujur tersingkir tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk membela diri.
Tetapi ada seorang tokoh dan pejabat teras yang pantang menyerah. Ia adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, yang dalam waktu relatif panjang menjadi seorang penguasa di daerah Syam. Ia bukan hanya membangkang, bahkan menentang kekhalifahan Imam Ali r.a. secara terang-terangan.
Sejak mendengar Imam Ali r.a. terbai'at sebagai Amirul Mukminin, Muawiyah telah memasang kuda-kuda untuk menjegal kepemimpinan Imam Ali r.a. Apa yang disiapkan oleh Muawiyah bukannya tidak dimengerti oleh Amirul Mukminin, dan justru itulah motivasinya hendak menggeser Muawiyah.
Banyak sahabat Imam Ali r.a. yang mengemukakan kekhawatiran bila Imam Ali r.a. melaksanakan niatnya. Mereka menasehatkan agar Imam Ali r.a. tidak cepat-cepat mengambil tindakan terhadap Muawiyah. Mereka mengatakan: "Kami yakin Muawiyah tidak akan tinggal diam bila dia disingkirkan dari kedudukannya. Sebaliknya, ada kemungkinan ia merasa cukup puas jika sementara dibiarkan memegang jabatan itu."
Tetapi Imam Ali r.a. sebagai seorang pemimpin yang selalu bersikap prinsipal, tak mau mundur sejengkal pun. Ia menegaskan pendiriannya: "Aku tidak dapat lagi memakai Muawiyah, sekalipun hanya untuk dua hari! Aku tidak akan mempergunakannya dalam tugas apa pun juga. Bahkan ia tidak akan kuperbolehkan menghadiri peristiwa upacara penting. Ia juga tidak akan mendapat kedudukan dalam pasukan muslimin!"
Pendirian Imam Ali r.a. sudah tidak dapat ditawar lagi, Keputusan diambil: mengganti Muawiyah dengan Sahl bin Hunaif, seorang dari kaum Anshar.
Tindakan yang diambil Imam Ali r.a. ini mengawali pertentangan terbuka dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada waktu Sahl bin Hunaif tiba di Damsyik, Muawiyah secara terang-terangan menolaknya. Malahan ia berani memerintahkan agar Sahl cepat kembali ke Madinah. Peristiwa ini membuat para sahabat Imam Ali r.a. bertambah khawatir.
Penolakan dan pembangkangan Muawiyah ternyata sama sekali tidak menggetarkan fikiran Imam Ali r.a. Ia berpegang teguh pada firman Allah yang menegaskan, bahwa tiap muslim wajib taat kepada Waliyyul Amri (pemegang kekuasaan) selama Waliyyul Amri tidak berlaku durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bagi Imam Ali r.a., perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya adalah di atas segala-galanya.
Untuk melaksanakan dan membela perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya ia tidak menghitung untung rugi. Di saat banyak sekali orang yang merasa gelisah, ia tetap tenang menghadapi pembangkangan Muawiyah. Ia mengirim utusan ke Damsyik, membawa surat perintah, agar seterimanya surat itu Muawiyah datang ke Madinah untuk menyatakan bai'atnya kepada Amirul Mukminin.


Kampanye keji



Menyadari kekuatannya sendiri, Muawiyah tidak gugup menerima surat perintah Amirul Mukminin. Selesai dibaca, dengan sengaja surat itu dibiarkan begitu saja. Utusan Imam Ali r.a. dibiarkan menunggu sampai tidak tentu batas waktunya. Tiga bulan kemudian barulah Muawiyah membalas surat Imam Ali r.a.
Seorang dari Bani 'Absy diperintahkan berangkat membawa surat jawaban untuk Imam Ali r.a. di Madinah. Untuk memperlihatkan sikapnya yang tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin, pada sampul surat jawaban itu ditulis: "Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib."
Sebelum utusan itu berangkat ke Madinah, Muawiyah berpesan agar setibanya di kota tujuan, sampul surat itu diperlihatkan dulu kepada orang banyak, sebagai pemberitahuan bahwa ia tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin.
Pesan Muawiyah itu dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh orang dari Bani 'Absy. Secara demonstratif sampul surat Muawiyah diperlihatkan kepada orang banyak. Semua orang ingin tahu apa yang terjadi akibat pembangkangan Muawiyah. Orang beramai-ramai mengikuti perjalanan kurir itu menuju ke tempat kediaman Imam Ali r.a. Mereka juga ingin tahu apa sesungguhnya isi surat tersebut. Kedatangan kurir Muawiyah disambut dengan tenang oleh Imam Ali r.a. Setelah dibuka, ternyata dalam sampul itu hanya terdapat secarik kertas yang bertuliskan "Bismillaahhir Rahamanir Rahim".
"Apa maksud ini?" tanya Amirul Mukminin kepada kurir dengan heran. "Selain ini apakah ada berita lain?"
Setelah didesak beberapa kali, akhirnya kurir mengatakan, bahwa ia ingin memperoleh jaminan atas keamanan dan keselamatannya lebih dulu, sebelum memberikan keterangan. Permintaan itu dikabulkan oleh Amirul Mukminin.
Setelah itu barulah kurir menceritakan apa yang sedang terjadi di Syam. Katanya: "Penduduk Syam telah bersepakat hendak menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan… Mereka telah mengeluarkan jubah Khalifah Utsman yang berlumuran darah dan jari isterinya, Na'ilah, yang terpotong pada saat berusaha menahan ayunan pedang. Semuanya itu dipertontonkan kepada penduduk Syam. Melihat kenyataan ini penduduk di sana menangisi kematian Khalifah Utsman sambil mengelilingi jubahnya."
Dari keterangan kurir itu dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa atas usaha Muawiyah, penduduk Syam sekarang telah menuduh Imam Ali r.a. sebagai pelaku makar terhadap Khalifah Utsman r.a. dan mereka tidak akan membiarkan peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman r.a.
Apa yang dikatakan kurir Muawiyah benar-benar membangkitkan kemarahan semua orang yang hadir. Hanya karena kebijaksanaan Imam Ali r.a. saja kurir itu terjamin keselamatannya. Orang-orang Madinah sangat gusar mendengar fitnah yang dilancarkan Muawiyah terhadap Amirul Mukminin. Lebih-lebih mereka yang dulu memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a.
Semua yang dilakukan Muawiyah di Damsyik merupakan muslihat politik yang dirajut bersama seorang penasehatnya yang terkenal kaya dengan tipu-daya: Amr bin Al-Ash. Sejak Imam Ali r.a. terbai'at sebagai Khalifah, dua sejoli itu telah bertekad hendak menempuh segala cara guna menggagalkan usaha Imam Ali r.a. memantapkan kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Sebab Muawiyah yakin benar, bahwa Imam Ali r.a. tidak akan memberi kesempatan sedikit pun kepadanya untuk terus berkuasa di daerah. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan satu dalih yang dapat menjatuhkan martabat Imam Ali r.a.
Guna keperluan itu Muawiyah dengan sengaja mendatangkan jubah Khalifah Utsman r.a. dan kepingan-kepingan jari Na'ilah dari Madinah ke Damsyik. Hanya sekedar untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Jubah Khalifah yang berlumuran darah itu digantungkan dalam masjid Damsyik, sebagai bukti kematian Khalifah yang sangat mengerikan. Sedangkan kepingan-kepingan jari Na'ilah, isteri Khalifah Utsman r.a., diletakkan dekat jubah sebagai saksi bisu.
Bersamaan dengan itu dikampanyekan secara besar-besaran kepada penduduk, bahwa orang yang membunuh Khalifah Utsman r.a. bukan lain hanyalah Imam Ali r.a. sendiri! Muslihat politik yang dijalankan oleh Muawiyah dan Amr bin Al-Ash itu ternyata berhasil mengelabui fikiran penduduk yang tidak memahami seluk beluk politik. Dengan cepat Syam dilanda suasana anti Imam Ali r.a. Ini merupakan awal persiapan pemberontakan bersenjata yang tak lama lagi akan dicetuskan Muawiyah.
Untuk menanggulangi fitnah sekeji itu, Imam Ali r.a. segera mengambil langkah-langkah seperlunya. Ia segera mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar. Diantara mereka itu hadir dua orang tokoh terkemuka yang sedang beroposisi, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Al-'Awwam. Setelah menjelaskan kegiatan fitnah yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. mengemukakan gagasan untuk mencegah meluasnya fitnah yang berbahaya itu.
Gagasan yang dikemukakan Imam Ali r.a. ternyata mendapat sambutan dingin. Bahkan Thalhah dan Zubair, yang merupakan tokoh-tokoh terdini membai'at Imam Ali r.a., dengan alasan hendak berangkat umrah ke Makkah, menyatakan tak dapat memenuhi ajakan Imam Ali r.a.


Persiapan Thalhah & Zubair



Penolakan terselubung yang dikemukakan Thalhah dan Zubair ternyata mempunyai ekor yang panjang dan tambah merawankan kedudukan Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin.
Sejak terbai'atnya Imam Ali r.a. kini kota Makkah menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh yang terkena tindakan penertiban Amirul Mukminin, terutama mereka yang berasal dari kalangan Bani Umayyah. Di antara mereka termasuk Marwan bin Al-Hakam yang cepat-cepat meninggalkan Madinah. Kini Thalhah dan Zubair berangkat pula ke Makkah.
Ketika itu, Sitti Aisyah r.a. juga berada di Makkah setelah menunaikan ibadah haji. Beberapa waktu sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman ia mendengar desas-desus, bahwa Thalhah bin Ubaidillah terbai'at sebagai Khalifah pengganti Utsman r.a. Mendengar selentingan itu ia segera mengambil putusan untuk cepat-cepat kembali ke Madinah.Tetapi di tengah perjalanan, ia menerima kabar pasti, bahwa yang terbai'at sebagai Khalifah bukannya Thalhah, melainkan Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu mendengar kepastian demikian; ia membatalkan rencana pulang ke Madinah. Ia kembali ke Makkah. Hatinya sangat masgul mendengar berita itu.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak terjadinya peristiwa yang dalam sejarah dikenal dengan nama Haditsul ifk, Sitti Aisyah sukar berbaik-baik kembali dengan Imam Ali r.a. Peristiwa itu terjadi ketika Rasul Allah s.a.w. melancarkan ekspedisi terhadap kaum kafir dari Banu Musthaliq. Dalam ekspedisi itu beliau mengajak isterinya, Sitti Aisyah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Sitti Aisyah ketinggalan dari rombongan, gara-gara mencari barang perhiasannya yang hilang di perjalanan.
Untunglah ketika itu ia dijumpai oleh Shafwan bin Mu'atthal, yang berangkat pulang lebih belakangan. Bukan main terkejutnya Shafwan melihat Ummul Mukminin seorang diri di tengah-tengah padang pasir. Isteri Rasul Allah s.a.w. itu dipersilakan naik ke atas unta, sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki sambil menuntun. Siang hari mereka berdua baru memasuki kota Madinah dengan disaksikan oleh orang banyak. Semuanya heran mengapa Ummul Mukminin mengendarai unta seorang pemuda yang tampan itu.
Mengenai kejadian itu Rasul Allah s.a.w. pada mulanya tidak pernah berfikir lebih jauh. Akan tetapi secara diam-diam peristiwa itu menjadi pembicaraan orang ramai dan menjadi buah bibir yang dibisik-bisikkan orang dalam tiap kesempatan. Sumber utama yang menyiarkan desas-desus tuduhan Sitti Aisyah berbuat serong ialah seorang munafik bernama Abdullah bin Ubaiy. Desas-desus itu akhirnya sampai ke telinga Rasul Allah s.a.w. Berita santer tentang hal itu sangat menggelisahkan hati beliau. Kemudian beliau minta pendapat para sahabat mengenai hal itu.
Konon Usamah bin Zaid sama sekali tidak dapat mempercayai benarnya desas-desus itu. Sedang Imam Ali r.a. waktu itu mengatakan: Ya Rasul Allah, masih banyak wanita lain! Imam Ali r.a. mengucapkan kata-kata itu hanya sekedar untuk berusaha menenangkan perasaan Rasul Allah s.a.w. yang tampak gelisah.
Ucapan itulah yang kemudian menjadi sebab retaknya hubungan baik antara Sitti Aisyah dengan Imam Ali r.a. Ucapan tersebut oleh Sitti Aisyah r.a. dirasakan sangat menusuk hati, sedang Imam Ali r.a. sendiri selama itu tidak pernah berubah sikap terhadap Sitti Aisyah r.a. Ia senantiasa hormat kepada Ummul Mukminin. Lebih-lebih setelah peristiwa Ifk itu terselesaikan dengan tuntas berdasarkan turunnya firman Allah s.w.t. yang menegaskan, bahwa Sitti Aisyah bersih dari perbuatan nista seperti yang dituduhkan orang.
Gara-gara Haditsul Ifk itulah, Sitti Aisyah r.a. sangat kecewa mendengar Ali bin Abi Thalib r.a. dibai'at sebagai Khalifah oleh penduduk Madinah. Setibanya di Makkah ia berniat hendak menentang pembai'atan Ali bin Abi Thalib r.a. Ia berkata: "Utsman mati terbunuh secara madzlum. Oleh karena itu adalah kewajiban kaum muslimin untuk menuntut balas atas kematiannya."
Menurut Ummul Mukminin itu, Khalifah pengganti Utsman r.a. harus dilakukan pembai'atannya dalam suasana tertib dan damai. Ini sama artinya dengan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. dipilih hanya oleh kaum pemberontak yang telah membunuh Khalifah.
Pendirian Sitti Aisyah ini lebih diperkuat lagi oleh kedatangan Thalhah dan Zubair.
Dua orang itu di Makkah mengadakan kampanye menentang pembai'atan Imam Ali r.a. Pada mulanya banyak orang bertanya-tanya tentang pendirian aneh kedua orang itu. Bukankah mereka telah menyatakan bai'atnya kepada Imam Ali r.a.? Tanda-tanya di hati orang-orang itu mereka jawab dengan mengatakan, bahwa bai'atnya dilakukan karena terpaksa. Dipaksa oleh kekuatan bersenjata kaum pemberontak.
Bagaimana pun juga kini di Makkah telah tersusun kekuatan penentang Imam Ali r.a. Kekuatan ini makin hari makin bertambah. Mereka bertekad hendak memaksa Imam Ali r.a. melepaskan kekhalifahannya. Dengan bantuan bekas-bekas pejabat yang terkena penggeseran dan penertiban; dengan dukungan orang-orang Qureiys yang masih menyimpan rasa sakit hati; di perkuat lagi oleh kehadiran Ummul Mukminin, sekarang Thalhah dan Zubair berhasil mengorganisasi pasukan bersenjata kurang lebih berkekuatan 3.000 orang.
Kekuatan anti Imam Ali r.a. ini mempunyai tujuan ganda: menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan menggulingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Mereka berpendirian, setelah dua tujuan itu tercapai barulah diadakan pemilihan Khalifah baru dalam suasana bebas dari tekanan dan paksaan.

Dua tantangan besar yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. mewarnai kehidupan kaum muslimin pada tahun empat-puluhan Hijriyah. Damsyik dan Makkah menuduh Imam Ali r.a. sebagai orang yang setidak-tidaknya ikut bertanggungjawab atas terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Dalam periode itu praktis ummat Islam terpecah dalam tiga kelompok besar:
1. Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali r.a.
2. Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
3. Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a.
Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan bersenjata yang cukup tangguh dan berpengalaman.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, terjadi satu krisis politik sangat gawat yang mengarah kepada peperangan besar antara sesama kaum muslimin. Inilah gejala nyata dari apa yang pernah dikemukakan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya, bahwa pada satu ketika akan terjadi fitnah besar di kalangan ummatnya, laksana datangnya malam gelap-gulita yang berlangsung dari awal sampai akhir.
Dalam menghadapi kelompok Madinah, tampaknya seakan-akan kelompok Damsyik berdiri di belakang kelompok Makkah. Mengenai hal ini kitab Ali wa'Ashruhu, halaman 970-971, mengemukakan sebuah fakta sejarah. Fakta itu berupa sepucuk surat Muawiyah yang dikirimkan kepada Zubair melalui seorang dari Bani 'Amir. Dalam surat itu Muawiyah antara lain menulis:
"Bismillaahir Rahmanir Rahim. Kepada hamba Allah Zubair Amirul Mukminin, dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Salamun' alaika, ammaa ba' du: penduduk Syam telah kuajak bersama-sama membait'at anda. Mereka menyambut baik dan semuanya taat. Begitu taatnya seperti ternak. Sekarang hanya tinggal Kufah dan Bashrah saja yang belum anda dapatkan. Hendaknya anda jangan sampai kedahuluan Ali bin Abi Thalib. Sesudah kedua kota itu berada di tangan anda, Ali tidak akan mempunyai apa-apa lagi. Aku juga sudah membai'at Thalhah bin Ubaidillah sebagai pengganti anda di kemudian hari. Oleh karena itu hendaknya kalian supaya terang-terangan menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman, dan kerahkanlah semua orang ke arah itu. Kalian supaya sungguh-sungguh giat dan cepat bergerak. Allah akan memenangkan kalian dan tidak akan membantu musuh-musuh kalian."
Surat tersebut oleh Zubair diperlihatkan kepada Thalhah, bahkan dengan dibacakan sekaligus. Tanpa disadari dua orang itu sudah masuk perangkap Muawiyah. Dengan siasat itu Muawiyah hendak melemahkan posisi Imam Ali r.a. dan menghabiskan kekuatan orang-orang lain yang mengincar kursi kekhalifahan.


Ke Bashrah



Untuk melaksanakan rencana kelompok Makkah, yaitu menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan menggulingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Khalifah, Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a. berangkat ke Bashrah.
Pada saat Sitti Aisyah r.a. hendak berangkat, orang-orang mencarikan seekor unta yang kuat guna mengangkut haudaj-nya, Ya'laa bin Ummayyah menyerahkan unta kepunyaannya yang sangat besar, bernama "Askar". Sitti Aisyah r.a. kagum sekali melihat unta itu. Akan tetapi ketika serati memanggil-manggil untanya dengan berulang-ulang menyebut "Askar", ia mundur dan berkata kepada serati unta itu: "Kembalikan dia. Aku tidak membutuhkan unta itu!"
Sewaktu ditanya apakah sebabnya Ummul Mukminin menyuruh unta "Askar" dikembalikan, Sitti Aisyah r.a. menjawab, bahwa Rasul Allah s.a.w. pernah menyebut-nyebut nama unta itu dan ia dilarang mengendarainya. Ummul Mukminin minta dicarikan unta lain. Orang tak berhasil mencarikan unta seperti "Askar". Agar jangan diketahui oleh Ummul Mukminin, bahwa unta yang akan dikendarainya adalah tetap unta "Askar", maka jilal-nya "Askar" diganti dengan jilal lain, tanpa sepengetahuan Sitti A.isyah r.a. Ummul Mukminin merasa puas dengan unta yang dikatakan bukan "Askar" itu.
Sementara itu Al-Asytar dari Madinah mengirim sepucuk surat kepada Sitti A.isyah r.a. Tulis Al-Asytar: "Ibu adalah isteri Rasul Allah s.a.w. Beliau telah memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah. Jika Ibu menuruti perintah beliau, bagi Ibu itu lebib baik. Tetapi jika Ibu tetap tidak mau selain hendak memegang pentung, menanggalkan baju kerudung dan menampakkan kesucian diri di depan mata orang banyak, Ibu akan kami perangi, sampai kami dapat memulangkan Ibu kembali ke rumah, tempat yang sudah diridhoi Allah bagi Ibu."
Sebagai jawaban atas surat Al-Asytar itu, Sitti Aisyah r.a. menulis: "Engkau adalah orang Arab pertama yang melancarkan fitnah, menganjurkan perpecahan dan membelakangi para Imam, yakni para Khalifah. Engkau mengerti bahwa dirimu tidak akan dapat melemahkan Allah. Engkau akan menerima pembalasan dari Allah atas perbuatanmu yang dzalim terhadap seorang Khalifah, yakni Utsman bin Affan. Suratmu sudah kuterima dan aku sudah memahami apa yang ada di dalamnya. Allah sajalah yang akan melindungi diriku dari perbuatanmu. Akan lumpuhlah semua orang yang sesat dan durhaka seperti engkau itu, insyaa Allah!"
Waktu perjalanan Sitti Aisyah r.a. sampai di Hau'ab, yaitu tempat sumber air kepunyaan Bani Amir Sha'sha'ah, ia digonggong banyak anjing, sampai unta yang dikendarainya lari kencang sukar dikendalikan. Waktu itu terdengarlah suara orang berteriak: "Hai, tahukah kalian, betapa banyaknya anjing di Hau'ab ini dan alangkah keras gonggongannya!"
Mendengar teriakan itu, Sitti Aisyah r.a. menarik tali kekang sekeras-kerasnya sambil berteriak kuat: "Itu anjing-anjing Hau'ab! Kembalikan aku! Aku mendengar sendiri Rasul Allah pernah mengatakan...," ia menyebut apa yang pernah dikatakan oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya.
Saat itu Sitti Aisyah mendengar suara orang lain mengatakan: "Pelan-pelan! Kita sudah melewati Hau'ab!"
"Apakah ada saksi yang membenarkan perkataanmu?" tanya Sitti Aisyah r.a. mengejar suara tadi.
Kemudian beberapa orang Badui yang menjadi pengawal meneriakkan sumpah, bahwa benar-benar tempat itu sudah bukan Hau'ab lagi. Oleh karena itu Sitti Aisyah r.a. lalu melanjutkan perjalanan.
Ketika Sitti Aisyah r.a. tiba di Harf Abi Musa, dekat Bashrah, penguasa daerah Bashrah yang diangkat oleh Khalifah Imam Ali r.a., bernama Utsman bin Hanif, mengirim Abul Aswad Ad Dualiy guna menemui rombongan. Abul Aswad bertemu dengan Sitti Aisyah r.a. dan menanyakan maksud perjalanannya. Kepada Abul Aswad, Sitti Aisyah r.a. menjelaskan, bahwa ia datang untuk menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman bin Affan.
Menanggapi keterangan Sitti Aisyah r.a. itu, Abul Aswad mengatakan, bahwa di Bashrah tidak ada seorang pun yang ikut ambil bagian dalam peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan.
Engkau benar, kata Sitti Aisyah r.a. menukas. Tetapi ada orang-orang yang bersama-sama Ali bin Abi Thalib di Madinah. Aku datang untuk mengerahkan penduduk Bashrah supaya bangkit memerangi dia. Kalau kami bisa marah karena kalian dicambuk oleh Utsman, mengapa kami tak bisa marah terhadap mereka yang mengangkat pedang terhadap Utsman?
Menjawab pernyataan Sitti Aisyah r.a. tadi, Abul Aswad berkata: Ibu adalah wanita pingitan Rasul Allah s.a.w. Beliau memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah dan membaca Kitab Allah. Tidak ada kewajiban perang bagi wanita. Wanita juga tidak layak menuntut balas atas terbunuhnya seseorang. Bagi Utsman, Ali sebenarnya lebih baik dari pada Ibu. Ia lebih dekat hubungan silaturahminya, karena dua-duanya sama-sama putera keturunan Abdi Manaf.
Sitti Aisyah r.a. tak memperdulikan kata-kata Abul Aswad itu. Ia tetap menyatakan kebulatan tekadnya: Aku tidak akan pergi sebelum melaksanakan maksudku. Hai Abul Aswad, tanya Sitti Aisyah r.a., apakah engkau mengira akan ada orang di Bashrah ini yang hendak memerangi aku?
Demi Allah, kata Abul Aswad, perang yang hendak Ibu cetuskan itu akan sangat hebat.
Waktu Abul Aswad beranjak hendak meninggalkan tempat, datanglah Zubair bin Al-'Awwam. Kepadanya Abul Aswad berkata: "Hai Abu Abdullah --nama panggilan Zubair-- banyak orang yang menyaksikan, waktu Abu Bakar dahulu dibai'at sebagai Khalifah engkau mengangkat pedangmu sambil berkata: "Tidak ada orang yang lebih afdhal untuk memegang kepempimpinan ummat selain Ali bin Abi Thalib. Bagaimana keadaanmu sekarang dengan pernyataanmu itu?"
"Datanglah engkau menemui Thalhah dan dengarkan sendiri apa yang dikatakan olehnya!" kata Zubair, menanggapi pertanyaan Abul Aswad tadi.
Abul Aswad terus pergi menemui Thalhah. Dari dialog yang berlangsung antara dia dengan Thalhah, Abul Aswad mengetahui, bahwa Thalhah sudah bertekad bulat melancarkan pemberontakan bersenjata.
Waktu Sitti Aisyah r.a. mendengar, bahwa pasukan Imam Ali r.a. sudah tiba dekat Bashrah, dari jurusan lain, ia segera menulis surat kepada Zaid bin Shuhan Al-Abdiy: "Dari Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq, isteri Nabi s.a.w., kepada ananda yang setia Zaid bin Shuhan. Hendaknya engkau tetap tinggal di rumah. Cegahlah orang-orang jangan sampai membantu Ali. Kuharap dapat segera menerima kabar tentang yang kuinginkan darimu. Bagiku, engkau adalah seorang kerabat yang paling dapat dipercaya. Wassalam."
Menjawab surat Sitti Aisyah r.a. di atas, Zaid bin Shuhan menulis: "Dari Zaid bin Shuhan kepada Aisyah binti Abu Bakar. Sesungguhnya Allah telah memberi perintah kepada Ibu dan kepadaku. Ibu diperintahkan supaya tetap tinggal di rumah, dan aku diperintahkan supaya berjuang. Surat Ibu sudah kuterima. Ibu memerintahkan supaya aku menjalankan sesuatu yang berlainan dari pada apa yang diperintahkan Allah kepadaku. Aku akan berbuat seperti apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan hendaknya Ibu pun berbuat seperti yang diperintahkan Allah kepada Ibu. Perintah Ibu tidak dapat kupatuhi, dan surat Ibu tidak akan terjawab lagi. Wassalam."
Menurut Abu Bikrah, ketika Asy Syi'biy menceritakan pengalamannya dalam perang "Jamal" (Unta) mengatakan, bahwa waktu Thalhah dan Zubair datang menjumpai Sitti Aisyah, kulihat semua perintah dan larangan berada di tangannya. Waktu itu aku segera teringat kepada sebuah hadits yang kudengar berasal dari Rasul Allah s.a.w. yang mengatakan: "Sesuatu kaum tidak akan berhasil jika urusannya dipimpin oleh seorang wanita."
Teringat itu aku cepat-cepat menjauhkan diri. Dalam peperangan tersebut, unta yang bernama "Askar" (yang dikendarai Siti Aisyah r.a.) merupakan lambang satu-satunya bagi pasukan Thalhah.
Waktu pasukan Thalhah dan pasukan Imam Ali r.a. masing-masing telah siaga untuk bertempur, Sitti Aisyah r.a. mengucapkan pidato. Pidatonya juga ditujukan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a.: "…Kita telah bertekad hendak menuntut balas atas kematian Utsman melalui jalan kekerasan. Ia adalah seorang Amirul Mukminin, tempat bernaung dan tempat berlindung yang terbaik. Bukankah dulu kalian minta kepadanya supaya ia bersedia memenuhi keinginan kalian? Hal itu sudah ia penuhi. Tetapi setelah kalian memandangnya sebagai orang yang suci bersih seperti baju yang baru dicuci, kemudian kalian memusuhinya. Lantas kalian berdosa dengan menumpahkan darahnya secara haram. Demi Allah, ia adalah orang yang jauh lebih bersih dan lebih bertaqwa kepada Allah dibanding kalian…!"
Hampir dalam waktu yang bersamaan, Imam Ali r.a. selaku Amirul Mukminin, juga mengucapkan pidato, sambil memberi instruksi-instruksi: "…Janganlah kalian memerangi mereka sebelum mereka menyerang lebih dulu. Alhamdulillah, kalian berada di atas hujjah (alasan) yang benar. Kalian harus berhenti memerangi mereka jika mereka mengajukan hujjah lain kepada kalian. Tetapi jika kalian terpaksa harus berperang, janganlah kalian menganiaya orang-orang yang luka parah.
"Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah kalian mengejar mereka dengan cara-cara yang licik. Janganlah membuka hal-hal yang memalukan mereka dan janganlah sampai mencincang orang yang sudah tewas."
"Jika kalian tiba di tempat pemukiman mereka, janganlah kalian melanggar kesopanan, janganlah kalian memasuki rumah, janganlah kalian mengambil hak milik mereka walau sedikit, jangan sekali-sekali menggelisahkan dan mengganggu wanita, walau mereka itu mencaci-maki kalian atau mencerca pemimpin-pemimpin dan orang-orang shaleh yang ada di tengah-tengah kalian. Sebab mereka itu adalah manusia-manusia yang lemah jasmani, jiwa dan fikiran. Kita semua telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya supaya membiarkan kaum wanita, sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Jika sampai ada lelaki yang memukul mereka dengan tongkat atau dengan pelepah kurma, lelaki itu sungguh amat tercela dan akan menerima hukuman di kemudian hari…"
Sebelum salah satu fihak menyulut api peperangan, Ali bin Abi Thalib r.a. menulis sepucuk surat kepada Thalhah dan Zubair. Isinya sebagai berikut:
"Kalian maklum bahwa aku tidak pernah minta dibai'at oleh mereka, tetapi mereka sendirilah yang membai'at diriku. Kalian berdua termasuk orang-orang yang memilih dan membai'a't diriku. Orang tidak membai'at diriku untuk suatu kekuasaan istimewa. Jika kalian membai'atku karena terpaksa, aku mempunyai alasan untuk bertindak terhadap kalian, sebab kalian berpura-pura taat, tetapi sebenarnya menyembunyikan rasa permusuhan. Namun jika kalian membai'atku benar-benar karena taat, hendaklah kalian segera kembali ke jalan Allah."
"Hai Zubair, engkau dahulu adalah seorang pasukan berkuda Rasul Allah s.a.w. dan pembela beliau. Dan engkau hai Thalhah, engkau adalah salah seorang kami-tua kaum Muhajirin. Seandainya dulu kalian tidak mau membai'atku, itu akan lebih mudah bagi kalian untuk keluar dari bai'at yang sudah kalian ikrarkan sendiri.
"Kalian menuduh aku telah membunuh Utsman. Padahal aku, kalian dan penduduk Madinah semua mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Kalian menuduh aku melindungi para pembunuh Utsman. Padahal anak-anak Utsman sendiri semuanya menyatakan taat kepadaku dan mengadukan orang-orang yang membunuh ayah mereka kepadaku. Tetapi kalau ternyata Utsman memang mati terbunuh karena madzlum atau dzalim, misalnya, lantas kalian berdua mau apa?! Kalian berdua telah mengikrarkan bai'at kepadaku, tetapi sekarang kalian melakukan dua perbuatan yang amat tercela: menciderai bai'at kalian sendiri dan menghasut Ummul Mukminin hingga meninggalkan rumah."
Sedang kepada Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. mengirim sepucuk surat. Isinya antara lain:
"Bunda telah keluar meninggalkan rumah dengan perasaan marah demi Allah dan Rasul-Nya. Bunda menuntut suatu persoalan yang bukan menjadi urusan Bunda. Apa urusan kaum wanita dengan peperangan atau pertempuran? Bunda menuntut balas atas kematian Utsman, demi Allah, orang-orang yang menghadapkan Bunda kepada marabahaya serta menghasut Bunda supaya berbuat pelanggaran, jauh lebih besar dosanya terhadap diri Bunda dibanding dengan pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan. Aku tidak marah jika Bunda tidak marah, dan aku tidak membuat kegoncangan jika Bunda tidak membuat kegoncangan. Kuharap supaya Bunda tetap bertaqwa kepada Allah dan pulang kembali ke rumah Bunda."
Sebagai jawaban terhadap surat Imam Ali r.a., Thalhah dan Zubair menulis: "Engkau telah menempuh jalan seperti yang kau tempuh sepeninggal Utsman sekarang ini; dan engkau tidak akan kembali lagi selama engkau merasa perlu menempuh jalan yang sedang kautempuh. Jalankanlah apa yang menjadi kemauanmu. Engkau tidak akan merasa puas selama kami belum taat, dan kami tidak akan taat kepadamu untuk selama-lamanya. Lakukanlah apa saja yang hendak kau perbuat."
Sedangkan Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a. hanya menulis jawaban singkat: "Persoalannya sudah jelas. Engkau tidak perlu menyalahkan lagi. Wassalam."
  
Bersambung ........................


Silahkan Klik Lanjutan Kisahnya :


Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a (bag. 1)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 2)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 3)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 4)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 5)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 6)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 7)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 8)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 9)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 10)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 11)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 12)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 13)



abdkadiralhamid@2014

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. (bag. 8) - Delapan Hari Tanpa Khalifah"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip