//

Sunni Vs Wahabi : Golongan Khawarij, BUKAN AHLUSSUNNAH


BUKAN AHLUSSUNNAH

Mereka Golongan Khawarij

 

Mayoritas  umat  Islam  meyakini  bahwa  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah  itu  pengikut madzhab  al-Asy’ari  dan  al-Maturidi.  Tetapi  tidak  sedikit  pula  yang  berasumsi
bahwa aliran Wahhabi juga masuk dalam golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Padahal menurut para ulama yang otoritatif di kalangan Sunni, aliran Wahhabi itu tergolong Khawarij, bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. 

Dalam  sebuah  diskusi  tentang  ASWAJA  di  Kantor  PWNU  Jawa  Timur  di Surabaya, ada pembicaraan mengenai Wahhabi, apakah termasuk Ahlussunnah
Wal-Jama’ah atau bukan. Dalam kesempatan itu saya menjelaskan bahwa aliran Wahhabi  atau  Salafi  itu  bukan  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah.  Bahkan  aliran Wahhabi  itu  termasuk  golongan  Khawarij.  Mendengar  penjelasan  ini,  sebagian peserta  ada  yang  bertanya,  
 “Mengapa  aliran  Wahhabi  Anda  masukkan  dalam golongan  Khawarij?  Bukankah  mereka  juga  berpedoman  dengan  kitab-kitab hadits yang menjadi pedoman kita seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lain?”
Aliran  Wahhabi  itu  dikatakan  Khawarij  karena  ada  ajaran  penting  di  kalangan Khawarij  menjadi  ajaran  Wahhabi,  yaitu  takfir  al-mukhalif  dan  istihlal  dima’  almukhalifin (mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin yang berbeda dengan  mereka).  Suatu  kelompok  dikatakan  keluar  dari  Ahlussunnah  WalJama’ah, tidak harus berbeda 100 % dengan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kaum Khawarij  pada  masa  sahabat  dulu  dikatakan  Khawarij  bukan  semata-mata karena  perlawanan mereka  terhadap  kaum  Muslimin,  akan  tetapi  karena perlawanan  mereka  terhadap  Sayyidina  Ali  dilatarbelakangi  oleh  motif  ideologi yaitu takfir dan istihlal dima’ al-mukhalifin (pengkafiran dan pengahalalan darah kaum  Muslimin  yang  berbeda  dengan  mereka).  Sayyidah ‘Aisyah,  Thalhah  bin
Ubaidillah, Zubair bin al-’Awwam dan banyak sahabatyang lain juga memerangi Sayidina  Ali.  Sayidina  Mu’awiyah  bin  Abi  Sufyan  juga  memerangi  Sayidina  Ali.
Akan  tetapi  karena  latar  belakang  peperangan  mereka bukan  motif  ideologi, tetapi  karena  semata-mata  karena  persoalan  politik, maka  mereka  tidak dikatakan Khawarij.
Persoalan  bahwa  kaum  Wahhabi  juga  merujuk  terhadap  kitab-kitab  tafsir  dan hadits  yang  menjadi  rujukan  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah,  hal  ini  bukan  alasan
menganggap  mereka  sebagai  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah.  Kalau  kita mempelajari ilmu rijal hadits, dalam Shahih al-Bukhari, Muslim dan lain-lain, tidak sedikit  para  perawi  hadits  yang  mengikuti  aliran  Syi’ah,  Khawarij,  Murji’ah,
Qadariyah  dan  lain-lain.  Para  ulama  kita,  termasuk  dari  kalangan  ahli  hadits, sangat toleran dengan siapapun, sehingga tidak menghalangi menerima haditshadits yang diriwayatkan oleh para perawi ahli bid’ah untuk dimasukkan dalam kitab-kitab  mereka  dan  kemudian  menjadi  rujukan  utama  kaum  Muslimin Ahlussunnah  Wal-Jama’ah.  Kalau  setiap  orang  yang  merujuk  terhadap  Shahih al-Bukhari,  Shahih  Muslim  dan  kitab-kitab  hadits  lainnya  harus  dimasukkan dalam  golongan  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah,  maka  kita  tentunya  harus  pula memasukkan semua perawi hadits al-Bukhari dan lain-lain dalam Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Padahal faktanya tidak demikian.

Bersama Ulama Wahhabi

Alasan  utama  mengapa  aliran  Wahhabi  dikatakan  Khawarij  dan  bukan Ahlussunnah  Wal-Jama’ah,  adalah  paradigma  pemikirannya  yang  mengusung konsep  takfir  dan  istihlal  dima’  wa  amwal  al-mukhalifin  (pengkafiran  dan penghalalan  darah  dan  harta  benda  kaum  Muslimin  di  luar  alirannya).  Dalam sebuah diskusi di PCNU Sumenep, pada 22 Mei 2010, tentang aliran Syi’ah dan
Wahhabi, seorang ulama Wahhabi kelahiran Sumatera dan sekarang tinggal di Jember,  berinisial  AMSP  menggugat  pernyataan  saya,  bahwa  Wahhabi mengkafirkan  dan  menghalalkan  darah  kaum  Muslimin  di  luar  mereka.  Ia
mengatakan:
“Wahhabi itu Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan Khawarij. Karena Wahhabi tidak mengkafirkan  dan  menghalalkan  darah  kaum  Muslimin  yang  berbeda  dengan dirinya.”  Mendengar  pernyataan  tersebut  saya  katakan:  “Bahwa  Wahhabi  itu mengkafirkan  dan  menghalalkan  darah  kaum  Muslimin,  itu  bukan  kata  saya.
Tetapi itu pernyataan Syaikh Muhammad, pendiri aliran Wahhabi.
Misalnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
“Aku  pada  waktu  itu  tidak  mengerti  makna  la  ilaha  illallah  dan  tidak  mengerti agama Islam, sebelum kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah. Demikian pula guru-guruku, tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut.
Barangsiapa  yang  berasumsi  di  antara  ulama  Aridh  (Riyadh)  bahwa  ia mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu ini,  atau  berasumsi  bahwa  di  antara  guru-gurunya  ada  yang  mengetahui  hal tersebut, berarti ia telah berdusta, mereka-reka (kebohongan), menipu manusia dan  memuji  dirinya  dengan  sesuatu  yang  tidak  dimilikinya.”  (Ibn  Ghannam, Tarikh Najd hal. 310).
Dalam  pernyataan  di  atas,  jelas  sekali  Syaikh  Muhammad  bin  Abdul  Wahhab menyatakan  bahwa  sebelum  ia  menyebarkan  faham  Wahhabi,  ia  sendiri  tidak mengerti makna kalimat la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam. Bahkan tidak seorang pun dari guru-gurunya dan ulama manapun yang mengerti makna
kalimat la ilaaha illallah dan makna agama Islam. Pernyataan ini menunjukkan bahwa  Syaikh  Muhammad  bin  Abdul  Wahhab  mengkafirkan guru-gurunya, semua ulama dan mengkafirkan dirinya sebelum menyebarkan faham Wahhabi.
Pernyataan  tersebut  ditulis  oleh  muridnya  sendiri,  Syaikh  Ibn  Ghannam  dalam Tarikh Najd hal. 310.
Dalam kitab Kasyf al-Syubuhat hal. 29-30, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:  “Ketahuilah  bahwa  kesyirikan  orang-orang  dulu  lebih  ringan  dari  pada kesyirikan  orang-orang  masa  kita  sekarang  ini.”  Maksudnya  kaum  Muslimin  di luar golongannya itu telah syirik semua. Kesyirikanmereka melebihi kesyirikan
orang-orang Jahiliyah. Sebagaimana ia tulis dalam kitab Kasyf al-Syubuhat, kitab pendiri  Wahhabi  yang  paling  ekstrem  dan  paling  keras  dalam  mengkafirkan
seluruh kaum Muslimin selain golongannya.
Dalam  kitab  al-Durar  al-Saniyyah  fi  al-Ajwibat  al-Najdiyyah,  kumpulan  fatwafatwa  ulama  Wahhabi  sejak  masa  pendirinya,  yang  di-tahqiq  oleh  Syaikh
Abdurrahman  bin  Muhammad  bin  Qasim,  ulama  Wahhabi  kontemporer,  ada pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa  ilmu fiqih dan kitabkitab  fiqih  madzhab  empat  yang  diajarkan  oleh  para  ulama  adalah  ilmu  syirik, sedangkan para ulama yang menyusunnya adalah syetan-syetan manusia dan jin.  (Al-Durar  al-Saniyyah,  juz  3  hal.  56).  Pernyataan  Syaikh  Muhammad  bin Abdul Wahhab ini berarti pembatalan dan pengkafiranterhadap kaum Muslimin yang mengikuti madzhab fiqih yang empat.
Dalam  berbagai  kitab  dan  risalahnya,  Syaikh Muhammad  bin  Abdul  Wahhab selalu menyebutkan kalimat-kalimat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik.
Namun  ia  tidak  pernah  menyebut  seorang  pun  nama  orang  musyrik  yang menjadi  lawan  polemiknya  dalam  kitab-kitab  dan  tulisannya.  Justru  yang  ia sebutkan  adalah  nama-nama  para  ulama  terkemuka  pada waktu  itu  seperti Syaikh Ibn Fairuz, Marbad al-Tamimi, Ibn Suhaim, Syaikh Sulaiman dan ulamaulama lainnya. Maksudnya, Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab mengkafirkan seluruh  ulama  pada  waktu  itu  yang  tidak  mengikuti  ajarannya.  Bahkan  secara terang-terangan,  Syaikh  Muhammad  bin  Abdul  Wahhab  menyebutkan  dalam kitab  Kasyf  al-Syubuhat,  bahwa  kaum  Muslimin  pada  waktu  itu  telah  memilih mengikuti  agamanya  Amr  bin  Luhay  al-Khuza’i,  orang  yang  pertama  kali mengajak orang-orang Arab memuja berhala.
Pengkafiran  terhadap  kaum  Muslimin  terus  dilakukan  oleh  ulama  Wahhabi dewasa  ini.  Dalam  kitab  Kaifa  Nafhamu  al-Tauhid,  karangan  Muhammad  bin Ahmad Basyamil, disebutkan:
 “Aneh  dan  ganjil,  ternyata  Abu  Jahal  dan  Abu  Lahab  lebih  banyak  tauhidnya kepada  Allah  dan  lebih  murni  imannya  kepada-Nya  dari  pada  kaum  Muslimin
yang  bertawassul  dengan  para  wali  dan  orang-orang  saleh  dan  memohon pertolongan  dengan  perantara  mereka  kepada  Allah.  Ternyata  Abu  Jahal  dan
Abu  Lahab  lebih  banyak  tauhidnya  dan  lebih  tulus  imannya  dari  mereka  kaum Muslimin  yang  mengucapkan  tiada  Tuhan  selain  Allah  dan  Muhammad  Rasul Allah.” (Muhammad bin Ahmad Basyamil, Kaifa Nafhamual-Tauhid, hal. 16).
Dalam pernyataan tersebut, Basyamil menganggap bahwa kaum Muslimin selain Wahhabi, lebih syirik dari pada Abu Jahal dan Abu Lahab. Kitab karya Basyamil ini  dibagi-bagikan  secara  gratis  oleh  tokoh-tokoh  W ahhabi  kepada  siapapun yang  berminat.  Demikian  dialog  saya  dengan  AMSP  yang  tidak  berjalan  lama.
Karena ia minta agar dialog segera diakhiri.


Mereka Ahli Bid’ah Abad Modern

Dalam  sebuah  diskusi  di  Surabaya  tentang  status Wahhabi  sebagai  golongan Khawarij, ada seorang teman bertanya: “Mengapa Andamemasukkan Wahhabi ke  dalam  golongan  Khawarij?  Apa  bukti-buktinya?”.  Teman  kita  ini  sepertinya keberatan  sekali  kalau  Wahhabi  dimasukkan  ke  dalam  golongan  Khawarij.
Akhirnya pada waktu itu saya berusaha meyakinkan semua peserta diskusi yang hadir,  dengan  memberikan penjelasan  bahwa  kita  mengganggap  Wahhabi sebagai Khawarij, karena semua ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang otoritatif (mu’tabar)  di  kalangan  pesantren  mengatakan  demikian.  Dari  kalangan  ulama madzhab  al-Maliki,  al-Imam  Ahmad  bin  Muhammad  al-Shawi  al-Maliki,  ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiriWahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut:
 “Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran  al-Qur’an  dan  Sunnah,  dan  oleh  sebab  itu mereka  menghalalkan
darah  dan  harta  benda  kaum  Muslimin  sebagaimana  yang  terjadi  dewasa  ini pada  golongan  mereka,  yaitu  kelompok  di  negeri  Hijaz  yang  disebut  dengan aliran  Wahhabiyah,  mereka  menyangka  bahwa  mereka  akan  memperoleh sesuatu  (manfaat),  padahal  merekalah  orang-orang  pendusta.”  (Hasyiyah  alShawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).
Dari kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut:
 “Keterangan  tentang  pengikut  Muhammad  bin  Abdul  Wahhab,  kaum  Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita,pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci.
Mereka  mengikuti  madzhab  Hanabilah.  Akan  tetapi  mereka  meyakini  bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan
mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh  Ahlussunnah  dan  para  ulamanya  sampai  akhirnya  Allah  memecah kekuatan  mereka,  merusak  negeri  mereka  dan  dikuasai oleh  tentara  kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).
Dari  kalangan  ulama  madzhab  Hanbali,  al-Imam  Muhammad  bin  Abdullah  bin Humaid  al-Najdi  berkata  dalam  kitabnya  al-Suhub  al-Wabilah  ‘ala  Dharaih  alHanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
 “Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah,  yang  percikan  apinya  telah  tersebar  di  berbagai  penjuru.  Akan tetapi  antara  keduanya  terdapat  perbedaan.  Padahal  Muhammad  (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang  semasa  dengan  Syaikh  Abdul  Wahhab  ini,  bahwa  beliau  sangat  murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan  orang-orang  di  daerahnya.  Sang  ayah  selalu  berfirasat  tidak  baik  tentang anaknya  pada  masa  yang  akan  datang.  Beliau  selalu  berkata  kepada masyarakat,  “Hati-hati,  kalian  akan  menemukan  keburukan  dari  Muhammad.”
Sampai  akhirnya  takdir  Allah  benar-benar  terjadi.  Demikian  pula  putra  beliau, Syaikh  Sulaiman  (kakak  Muhammad  bin  Abdul  Wahhab),  juga  menentang
terhadap  dakwahnya  dan  membantahnya  dengan bantahan yang  baik berdasarkan  ayat-ayat  al-Qur’an  dan  hadits-hadits  Nabi  shallallahu  alaihi  wasallam.  Syaikh  Sulaiman  menamakan  bantahannya  dengan  judul  Fashl  alKhithab  fi  al-Radd  ‘ala  Muhammad  bin  Abdul Wahhab.  Allah  telah menyelamatkan  Syaikh  Sulaiman  dari  keburukan  dan  tipu  daya  adiknya meskipun  ia  sering  melakukan  serangan  besar  yang  mengerikan  terhadap orang-orang  yang  jauh  darinya.  Karena  setiap  ada orang  yang  menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan,
maka ia akan mengirim orang yang akan menculik daritempat tidurnya atau di pasar  pada  malam  hari  karena  pendapatnya  yang  mengkafirkan  dan menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid al-Najdi, alSuhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).
Dari  kalangan  ulama  madzhab  Syafi’i,  al-Imam  al-Sayyid  Ahmad  bin  Zaini Dahlan al-Makki, guru pengarang I’anah al-Thalibin,kitab yang sangat otoritatif (mu’tabar) di kalangan ulama di Indonesia, berkata:
 “Sayyid  Abdurrahman  al-Ahdal,  mufti  Zabid  berkata:  “Tidak  perlu  menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa
sallam  cukup  sebagai  bantahan  terhadapnya,  yaitu  “Tanda-tanda  mereka (Khawarij)  adalah  mencukur  rambut  (maksudnya  orang  yang  masuk  dalam ajaran  Wahhabi,  harus  mencukur  rambutnya)”.  Karena  hal  itu  belum  pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan ahli bid’ah.” (Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah, hal. 54).

Demikian  pernyataan  ulama  terkemuka  dari  empat  madzhab,  Hanafi,  Maliki, Syafi’i  dan  Hanbali,  yang  menegaskan  bahwa  golongan Wahhabi  termasuk
Khawarij  bukan  Ahlussunnah Wal-Jama’ah.  Tentu  saja  masih  terdapat  ratusan ulama  lain  dari  madzhab  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah  yang  menyatakan  bahwa
Wahhabi itu Khawarij dan tidak mungkin kami kutip semuanya dalam diskusi kali ini.


Dialog Sunni vs Wahhabi

Ada dialog menarik antara orang Sunni dengan orang Wahhabi yang akan kami kutip  di  sini.  Namun  sebelum  mengutip  dialog  tersebut,  ada  baiknya  dikutip terlebih  dahulu  tulisan  seorang  teman  di  dunia  maya yang  menguraikan kesamaan  Wahhabi  dengan  Khawarij.  Menurut  teman  tersebut,  ada  beberapa kesamaan  antara  Wahhabi  dengan  Khawarij.   

Pertama,  Khawarij  telah mengucilkan diri dari seluruh kaum Muslimin dengan berpendapat bahwa pelaku dosa  besar  itu  kafir.  Dan  ternyata  Wahhabi  juga  mengucilkan  diri  dari  kaum
Muslimin dengan mengkafirkan kaum Muslimin karena perbuatan dosa menurut asumsi Wahhabi.

Kedua, Khawarij menetapkan negara Islam yang penduduknya melakukan dosa besar  sebagai  negara  harbi,  yang  dihalalkan  melakukan  tindakan  seperti  yang
dilakukan  oleh  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wa  sallam  terhadap  negara  harbi (darah  dan  harta  bendanya  dihalalkan).  Demikian  pula  kaum  Wahhabi,  akan
menghukumi negara Islam sebagai negara harbi meskipun penduduknya orang yang paling taat beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan paling saleh, apabila  mereka  meyakini  bolehnya  bepergian  berziarah  ke  makam  Nabi  dan makam  orang-orang  saleh  dan  meminta  syafa’at  kepada mereka.  Dari  kedua poin  ini  bisa  disimpulkan  bahwa  Wahhabi  itu  lebih  buruk  dari  pada  Khawarij.
Kaum  Khawarij  melihat  perbuatan  yang  disepakati  sebagai  dosa  besar  oleh kaum Muslimin lalu mengkafirkan pelakunya. Sementara Wahhabi melihat amalamal yang sama sekali bukan perbuatan dosa, bahkan termasuk amaliah sunnat yang dilakukan oleh generasi salaf yang saleh dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi  berikutnya  tanpa  ada  perselisihan  di  kalangan  ulama.  Lalu  kaum
Wahhabi mengkafirkan pelaku amaliah sunat tersebut.

Ketiga,  Wahhabi  dan  Khawarij  sama-sama  ekstrem  (ghuluw)  dalam  beragama serta jumud dalam memahaminya. Kaum Khawarij ketikamembaca firman Allah subhanahu  wa  ta’ala  “in  al-hukmu  illa  lillah  (hukum itu  hanyalah  milik  Allah)”, maka  mereka  mengatakan  bahwa  orang  yang  membolehkan arbitrase  telah syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka membuat semboyan, “la hukma illa  lillah  (tidak  ada  hukum  selain  dari  Allah)”,  kata-kata  benar  yang
disalahgunakan  (kalimatu  haqqin  urida  biha  bathilun).  Pernyataan  Khawarij tersebut  jelas  kejumudan  dan  kedangkalan  berpikir.  Karena  arbitrase  dalam persengketaan telah ditetapkan dalam al-Qur’an, Sunnah, sirah Rasul shallallahu alaihi  wa  sallam  dan  tidak  bertentangan  dengan  logika  nalar.  Demikian  pula
Wahhabi,  ketika  mereka  membaca  firman  Allah  subhanahu  wa  ta’ala,  “Hanya kepada-Mu  kami  menyembah  dan  hanya  kepada-Mu  kami  memohon
pertolongan”,  (QS.  1  :  5)),  dan  firman  Allah  subhanahu  wa  ta’ala,  “Tiada  yang dapat memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa izin-Nya”,(QS. 2 : 255), “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang  diridhai Allah”, (QS. 21 :28),  maka  bereka  berkata:  “Barangsiapa  berpendapat  boleh  meminta  syafa’at kepada  Nabi  dan  orang-orang  saleh,  maka  ia  telah  syirik  kepada  Allah subhanahu wa ta’ala, dan barangsiapa yang bermaksudziarah ke makam Nabi dan  meminta  syafa’at  kepadanya,  maka  ia  telah  menyembahnya  dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah subhanahu wa ta’ala. Dari sini, kaum Wahhabi selalu membawa slogan “Tidak ada yang disembah selain Allah”, dan “syafa’at hanya milik Allah”, sebuah kalimat benar  yang disalahgunakan. Hal ini termasuk  kejumudan  dan  kedangkalan  dalam  berpikir.  Karena  kebolehan  hal
tersebut  telah  dimaklumi  dari  sejarah  kehidupan  para  sahabat,  tabi’in  dan generasi sesudahnya.

Keempat,  Ibn  Taimiyah  berkata,  “Aliran  Khawarij  adalah  bid’ah  pertama  yang muncul  dalam  Islam,  lalu  pengikut  Khawarij  mengkafirkan  dan  menghalalkan darah  kaum  Muslimin”.  Demikian  pula  Wahhabi,  bid’ah terakhir  dalam  Islam, pengikutnya mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin.

Kelima, hadits-hadits shahih yang menerangkan tentang Khawarij dan keluarnya mereka dari agama, sebagiannya sesuai dengan aliranWahhabi. Dalam Shahih
al-Bukhari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda:
“Akan  ada  sekelompok  manusia  keluar  dari  arah  timur.  Mereka  membaca  alQur’an,  namun  apa  yang  mereka  baca  tidak  melewati  tenggorokan  mereka.
Mereka  keluar  dari  agama  sebagaimana  anak  panah  keluar  dari  sasarannya.
Tanda-tanda mereka mencukur rambut.”
Al-Imam  al-Qasthalani  berkata  dalam  mengomentari  hadits  ini,  bahwa  yang dimaksud  dari  arah  timur  adalah  arah  timur  kota  Madinah  seperti  Najd  dan sesudahnya. Demikian pula Wahhabi, lahir di Najd dan kemudian menyebar ke mana-mana. Di samping mencukur rambut juga menjadi ciri khas mereka. Kaum Wahhabi  memerintahkan  orang-orang  yang  mengikuti  mereka  agar  mencukur rambut, meskipun kaum wanita. Oleh karena itu, sebagian ulama yang semasa dengan  lahirnya  ajaran  Wahhabi  berkata,  “Tidak  perlu  menulis  bantahan
terhadap  Ibn  Abdil  Wahhab.  Karena  sabda  Nabi  shallallahu  alaihi  wa  sallam cukup  sebagai  bantahan  terhadapnya,  yaitu  “Tanda-tanda  mereka  (Khawarij)
adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus  mencukur  rambutnya)”.  Dalam  hadits  lain  tentang  Khawarij,  Rasulullah
shallallahu  alaihi  wa  sallam  bersabda:  “Mereka  akan membunuh  umat  Islam, akan  tetapi  membiarkan  penyembah  berhala”.  Hadits  ini  persis  dengan  aliran
Wahhabi. Mereka belum pernah mengarahkan peperanganterhadap selain umat Islam. Dalam sejarah mereka belum pernah dikenal bahwa mereka mendatangi
atau  bermaksud  memerangi  penyembah  berhala,  karena  hal  tersebut  tidak masuk dalam prinsip dan buku-buku mereka yang isinya penuh dengan kecaman dan  pengkafiran  terhadap  umat  Islam.  Al-Imam  al-Bukhari  juga  meriwayatkan dari  Ibn  Umar  dalam  menjelaskan  ciri-ciri  kaum  Khawarij,  “Mereka  mengambil ayat-ayat  al-Qur’an  yang  turun  mengenai  orang-orang kafir,  lalu  mereka tuangkan  kepada  orang-orang  beriman”.  Ibn  Abbas  juga  berkata:  “Janganlah kalian seperti Khawarij, memaksakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an untuk umat
Islam  (ahlil  qiblah).  Padahal  ayat-ayat  tersebut  turun  mengenai  ahlul-kitab  dan orang-orang  musyrik.  Mereka  tidak  mengetahui  ilmunya,  lalu  mereka mengalirkan darah dan merampas harta benda orang-orang Muslim”. Demikian
pula kaum Wahhabi, mengambil ayat-ayat yang turun mengenai pemuja berhala, lalu mereka terapkan pada orang-orang yang beriman.Hal tersebut memenuhi
buku-buku dan menjadi dasar madzhab mereka.
Berikut  ini  dialog  menarik  antara  Sunni  dengan  Wahhabi.  Wahhabi  berkata:
“Kitab-kitab  madzhab  Hanbali  itu  kitab-kitab  Wahhabi.  Apa  yang  Anda  tidak setuju? Anda tidak boleh menilai negatif mereka kecuali dengan apa yang tertulis dengan jelas dalam kitab-kitab mereka, bukan berdasarkan informasi dari pihak lawan Wahhabi”. Sunni berkata: “Bagaimana Anda menilai aliran Qaramithah?”
Wahhabi menjawab: “Mereka orang-orang kafir dan mulhid”.
Sunni berkata: “Orang-orang Qaramithah berasumsi bahwa madzhab mereka itu madzhab  Ahlul  Bait.  Menurut  mereka,  kitab-kitab  Ahlul  Bait  itu  kitab-kitab
Qaramithah.  Bukankah  dalam  kitab-kitab  Ahlul  Bait  itu  hanya  kebenaran  dan cahaya?”  Wahhabi  berkata:  “Qaramithah  itu  berbohong.  Para  sejarawan  telah
mencatat kekafiran dan kebohongan Qaramithah.”
Sunni  berkata:  “Anda  menganggap  kesaksian  sejarawan sebagai  hujjah?”
Wahhabi  berkata:  “Ya,  karena  al-Syafi’i  menjelaskan bahwa  informasi  para sejarawan  secara  kolektif  dari  banyak  orang  ke  banyak  orang  lebih  ia  senangi
daripada  hadits  yang  diriwayatkan  seorang  ahli  hadits,  melalui  seorang  perawi dari  seorang  perawi.”  Sunni  menjawab:  “Kalau  begitu Anda  harus  menerima
argumentasi  saya.  Bukankah  para  sejarawan  yang  menyaksikan  lahirnya Wahhabi  mencatat  kekafiran  mereka  yang  nyata.  Perbuatan  seseorang  sangat
kuat sebagai hujjah dan dalil, meskipun lidahnya tidak mengakuinya. Qaramithah ketika menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin, maka tanpa raguragu para ulama meyakini kekafiran mereka. Demikianpula generasi awal aliran Wahhabi,  perbuatannya  sama  dengan  Qaramithah,  mengkafirkan  dan membantai kaum Muslimin.” Akhirnya orang Wahhabi itu emosi. Ia tidak mampu mengendalikan bicaranya dengan kalimat-kalimat yangsulit dimengerti.
Sunni  berkata:  “Bagaimana  pendapat  Anda  tentang  hadits-hadits  yang menerangkan tentang Khawarij. Dalam hadits-hadits tersebut diterangkan bahwa Khawarij  keluar  dari  agama,  mereka  akan  menjadi  anjing-anjing  di  neraka  dan mereka  seburuk-buruk  orang  yang  dibunuh  di  bawah  langit?”  Wahhabi menjawab:  “Hadits-hadits  yang  ada  memberikan  kesimpulan  yang  pasti  dan
tanpa  keraguan  bahwa  Khawarij  memang  keluar  dari  agama  dan  berhak menerima  murka  Allah  subhanahu  wa  ta’ala.  Tetapi  mereka  orang-orang  yang diperangi oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhudi Nahrawan. Wahhabi bukan bagian dari mereka.”
Sunni berkata: “Mengapa Khawarij berhak menerima murka Allah subhanahu wa ta’ala.  Apakah  karena  shalat  mereka  lebih  baik  dari pada  shalat  para  sahabat dan  puasa  mereka  lebih  baik  dari  pada  puasa  sahabat?”  Wahhabi  menjawab:
“Bukan  karena  itu”.  Sunni  berkata:  “Atau  karena  mereka  zuhud,  bersahaja, membaca  al-Qur’an  dengan  rajin  dan  sungguh-sungguh  dan  sering mengeluarkan  hadits-hadits  Nabi  shallallahu  alaihi  wa  sallam?”  Wahhabi menjawab:  “Bukan  karena  itu”.  Sunni  menjawab:  “Kalau  bukan  karena  itu,  lalu karena apa?” Wahhabi terdiam dan tidak bisa menjawab. Lalu Sunni menjawab:
“Hal itu karena Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin. Mereka mengklaim bahwa hanya mereka kaum Muslimin. Selain mereka jelas kafir. Sudah barang tentu, kelompok yang memiliki konsep ajaran seperti Khawarij, juga berhak menerima ancaman seperti mereka.”

Sumber  :
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi"

2014@abdkadiralhamid
 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sunni Vs Wahabi : Golongan Khawarij, BUKAN AHLUSSUNNAH"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip