//

Sunni Vs Wahabi : ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL


ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL

Hakekat Istighatsah dan Tawassul

 


Para ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul -dan istilah-istilah lain yang sama- dengan definisi sebagai berikut:

“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atauwali untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafizh al-’Abdari, al-Syarh al-Qawim, hal. 378).


Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang  nabi  atau  wali  untuk  mendatangkan  manfaat dan  menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan  bahaya  secara  hakiki.  Persepsi  yang  keliru  tentang  tawassul  ini kemudian  membuat  mereka  menuduh  orang  yang  ber-tawassul  kafir  dan musyrik.  Padahal  hakekat  tawassul  di  kalangan  para  pelakunya  adalah memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada  Allah  subhanahu  wa  ta’ala  dengan menyebut  nama  seorang  nabi  atau wali untuk memuliakan keduanya.

Ide  dasar  dari  tawassul  ini  adalah  sebagai  berikut. Allah  subhanahu  wa  ta’ala telah  menetapkan  bahwa  biasanya  urusan-urusan  di  dunia  ini  terjadi berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh, Allah subhanahu wa  ta’ala  sesungguhnya  Maha  Kuasa  untuk  memberikan  pahala  kepada manusia  tanpa  beramal  sekalipun,  namun  kenyataannya tidak  demikian.  Allah subhanahu  wa  ta’ala memerintahkan manusia  untuk  beramal  dan  mencari halhal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

 “Jadikanlah  sabar  dan  shalat  sebagai  penolongmu,  dan  sesungguhnya  yang demikian  itu  sungguh  berat,  kecuali  bagi  orang-orang  yang  khusyu’”.  (QS.  alBaqarah : 45).

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

 “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya(Allah)”. (QS. al-Ma’idah :35).

Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada  Allah  subhanahu  wa  ta’ala.  Artinya,  carilah  sebab-sebab  tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mewujudkan akibatnya.  Allah  subhanahu  wa  ta’ala  telah  menjadikan  tawassul  dengan  para nabi  dan  wali  sebagai  salah  satu  sebab  dipenuhinya  permohonan  hamba.

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-tawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Jadi,  tawassul  adalah  sebab  yang  dilegitimasi  oleh  syara’  sebagai  sarana dikabulkannya  permohonan  seorang  hamba.  Tawassul  dengan  para  nabi  dan wali  diperbolehkan  baik  di  saat  mereka  masih  hidup  atau  mereka  sudah meninggal.  Karena  seorang  mukmin  yang  ber-tawassul, tetap  berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki  kecuali  Allah  subhanahu  wa  ta’ala.  Para  nabi dan  para  wali  tidak  lain hanyalah  sebab  dikabulkannya  permohonan  hamba  karena  kemuliaan  dan ketinggian  derajat  mereka.  Ketika  seorang  nabi  atau wali  masih  hidup,  Allah subhanahu  wa  ta’ala  yang  mengabulkan  permohonan  hamba.  Demikian  pula setelah mereka meninggal, Allah subhanahu wa ta’alajuga yang mengabulkan permohonan  seorang  hamba  yang  ber-tawassul  dengan  mereka,  bukan  nabi atau  wali  itu  sendiri.  Sebagaimana  orang  yang  sakit pergi  ke  dokter  dan meminum  obat  agar  diberikan  kesembuhan  oleh  Allah  subhanahu  wa  ta’ala, meskipun  keyakinannya  pencipta  kesembuhan  adalah  Allah  subhanahu  wa ta’ala,  sedangkan  obat  hanyalah  sebab  kesembuhan.  Jika  obat  adalah  contoh sabab ‘âdi (sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab syar’i (sebabsebab yang diperkenankan syara’).


Syaikh  Majdi  Ghassan  Ma’ruf  al-Husaini,  seorang  ulama  Ahlussunnah  WalJama’ah  dari  Lebanon  bercerita,  “Suatu  ketika  seorang  Wahhabi  dengan beraninya berkata kepada saya, “Mengapa kalian selalu ber-istighatsah dengan mengucapkan  “Ya  Muhammad”.  Ucapkan  saja  “Ya  Allah”, tanpa  perantara!”

Saya bertanya, “Kalau Anda terserang sakit kepala, apa yang Anda lakukan?” Ia menjawab: “Saya minum dua tablet obat sakit kepada”.

Saya  berkata:  “Mengapa  Anda  melakukan  itu?  Bukankah Allah  itu  Maha Penyembuh?  Mengapa  Anda  tidak  langsung  saja  berdoa  kepada  Allah,  “Ya Allah,  ya  Syafi  isyfini  (Ya  Allah,  Dzat  Yang  Maha  Penyembuh,  sembuhkanlah aku)”.  Mengapa  Anda  membuat  perantara  dan  sebab  musabab  untuk kesembuhan  antara  anda  dengan  Allah?  Kalau  anda  minum  dua  tablet  obat tersebut  sebagai  perantara  kesembuhan  Anda,  maka  kami  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah menjadikan Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai perantara kami, dan beliaulah perantara yang paling  agung.” Akhirnya, Wahhabi tersebut tidak dapat menjawab.


Debat Publik di Melbourne Australia


Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyat. Karya-karyanya mulai  populer  di  kalangan Wahhabi  Indonesia.  Bahkan banyak  pula  tulisannya yang  dipublikasikan  melalui  program  software  Maktabah  Syamilah.  Tetapi  dari kalangan  Wahhabi  sendiri  tidak  banyak  yang  tahu  siapa  sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat.

Masa  lalunya  penuh  dengan  skandal.  Di  setiap  tempat yang  pernah disinggahinya,  ia  selalu  bikin  ulah.  Lidahnya  selalu  menghujat  umat  Islam, generasi  salaf  (terdahulu)  maupun  generasi  khalaf  (terkemudian).  Kerjanya, merubah  ajaran  agama.  Mencela  para  kekasih  Allah  subhanahu  wa  ta’ala.

Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela  orang-orang yang baik.

Ia  lupa  bahwa  Allah  subhanahu  wa  ta’ala  telah  berfirman  dalam  hadits  qudsi,

“Barangsiapa  yang  memusuhi  kekasih-Ku,  maka  Aku  deklarasikan  perang terhadapnya.”

Akibat  ulahnya,  akhirnya  orang-orang  banyak  tahu  kebusukan  masa  lalunya. Petualangannya dengan wanita-wanita cantik dan kegemarannya mengikuti para biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut. Banyak pula yang membicarakan kisah-kisah  kelamnya  ketika  di  Universitas  al-Azhar Cabang  Lebanon  dulu, dalam  pemeriksaan  yang  suaranya  direkam  -rekamannya masih  ada  sampai sekarang,  dan  saksi-saksinya  masih  hidup-,  di  mana  dalam  rekaman  itu  ia mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu melakukan homo sex, yang dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkandari Azhar Lebanon pada tahun 1972.

Kasus itu, diakuinya sendiri. Abdurrahman Dimasyqiyat tidak menepis kejadian itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa malu ia berterus terang  telah  melakukannya.  Seakan-akan  ia  bangga  dengan  perbuatannya.

Dengan  enteng  ia  berkata,  “Pada  waktu  itu  aku  masih belum  baligh,  catatan amal masih belum berlaku bagiku”.

Tentu saja pengakuan seperti ini tidak aneh dari seseorang yang telah memutus hubungan  dengan  kerabatnya.  Menyakiti  kedua  orang  tuanya.  Selalu  gagal mencari  pekerjaan  yang  mendatangkan  hasil  yang  halal  di  Lebanon  dan  di Perancis.

Akhirnya,  apa  boleh  dikata,  Abdurrahman  Dimasyqiyat menjulur-julurkan lidahnya  di  belakang  uang  logam  dan  dolar  sebagai  penulis  bayaran  kaum Wahhabi.  Ia  memulung  sisa-sisa  makanan  di  bawah  meja  orang-orang  gendut berperut besar dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan kaum anti tawassul.

Di  antara  mukjizat  Rasulullah  shallallahu  alaihi  wasallam  adalah  sabda  beliau yang  memperingatkan  umatnya  agar  berhati-hati  dengan  kaum  Wahhabi sebelum  kemunculan  mereka.  Nabi  shallallahu  alaihi  wasallam  bersabda, “Kepala kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi  wasallam  menunjuk  ke  arah  timur,  daerah  Najd,  dan  bersabda:  “Fitnah akan muncul dari sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya sampai tiga kali”. Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Akhirnya  semua  orang  tahu  siapa  sebenarnya  Abdurrahman  Dimasyqiyat.

Identitasnya  terungkap  di  Swedia.  Ia  melarikan  diri dari  perdebatan  setelah menyetujui  kesepakatan  pada  waktu  yang  dijanjikan.  Kemudian  ia  mengira bahwa  pengikut  kebenaran  melupakannya  begitu  saja  ketika  ia  di  Australia.

Ternyata  Abdurrahman  Dimasyqiyat  menyetujui  debat  publik  bersama  Syaikh Salim  Alwan  al-Hasani.  Namun  kemudian  Dimasyqiyat  takut,  ragu-ragu  dan berupaya  menghindar.  Sementara  pengikutnya  melakukan  teror  dan  ancaman.

Akan tetapi takdir Allah subhanahu wa ta’ala pasti  terjadi. Akhirnya perdebatan terjadi.  Kebenaran  tampak  dan  kebatilan  sirna.  Sesungguhnya  kebatilan  pasti sirna.

Abdurrahman  Dimasyqiyat  telah  berkali-kali  diminta  melalui  radio  dan  surat kabar,  agar  siap  berdebat.  Namun  ia  selalu  melarikan  diri.  Akhirnya  ia  pun terpaksa  datang  karena  takut  malu.  Ia  datang  ke  aula  Universitas  Melbourne pada tanggal 9 November 1994. Di aula itu telah disiapkan meja untuk Syaikh Salim  Alwan  dan  Syaikh  Abdurrahman  al-Harari.  Di  depannya  ada  meja  yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang temannya. Di tengah meja itu ada mimbar untuk moderator.

Yang  menarik  perhatian,  pada  waktu  itu  Abduraahman  Dimasyqiyat  membawa komputer  yang  sering  digunakannya  untuk  mengeluarkan  dalil-dalilnya  yang lemah.  Sepertinya  ia  memang  tidak  hapal  teks  dan  tidak  menguasai  banyak persoalan.  Kemampuannya  hanya  mengulang-ulang  pernyataan  orang  yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.

Perdebatan dimulai. Syaikh Salim melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi menghukumi bahwa memanggil orang yang tidak ada di depannya atau memanggil orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit),

seperti  berkata  “Ya  Muhammad,  atau  ya  Rasulallah  (wahai  Muhammad  atau wahai  Rasulullah)”,  itu  syirik  akbar  (besar)  sebagaimana  ditetapkan  oleh  Ibn Abdil Wahhab al-Najdi dalam kitab al-Ushul al-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari  meriwayatkan  dalam  al-Adab  al-Mufrad,  bahwa  Abdullah  bin  Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa. Lalu ada orang berkata kepada beliau,  “Sebutkan  orang  yang  paling  Anda  cintai.”  Lalu  Ibn  Umar  berkata,  “Ya Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu kakinya sembuh.

Apakah  kalian  kaum  Wahhabi  akan  mencabut  pendapat  kalian.  Dan  ini  yang kami  kehendaki.  Atau  kalian  akan  memutuskan  bahwa  Abdullah  bin  Umar,  alImam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkanIbn Taimiyah yang kalian sebut  Syaikhul  Islam,  dan  al-Albani  pemimpin  kalian,  mereka  semuanya  kafir.

Coba  renungkan  inkonsistensi  Wahhabi  ini.  Pendapat  mereka  dapat mengkafirkan  pemimpin-pemimpin  mereka  sendiri,  yaitu  Ibn  Taimiyah  dan  alAlbani, bahkan mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya.”

Mendengar  pertanyaan  Syaikh  Salim,  mulailah  serangkaian  kebohongan Abdurrahman  Dimasyqiyat.  Setelah  Syaikh  Salim  mengajukan  pertanyaan tersebut,  Dimasyqiyat  kebingungan.  Lalu  ia  berkata: “Lafal  “Ya Muhammad”,

hanya  terdapat  dalam  naskah  cetakan  kitab  al-Adab  al-Mufrad  yang  di-tahqiq Ustadz  Kamal  al-Hut.  Dalam  naskah-naskah  lain,  yang ada  hanya  lafal “Muhammad”, tanpa “Ya” untuk memanggil.”

Mendengar  pernyataan  Dimasyqiyat,  Syaikh  Salim  segera  mengeluarkan beberapa  naskah  al-Adab  al-Mufrad  yang  dicetak  oleh percetakan-percetakan lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya Muhammad”. Sehingga hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat.

Kemudian,  Dimasyqiyat  semakin  terkejut,  ketika  Syaikh  Salim  memperlihatkan naskah  kitab  al-Kalim  al-Thayyib  karangan  Ahmad  bin Taimiyah  al-Harrani, panutan kaum Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Di mana dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul, “Bab yang diucapkan  seseorang  ketika  kakinya  mati  rasa”.  Naskah  ini  dicetak  oleh  kaum Wahhabi  dan  dikoreksi  oleh  Nashiruddin  al-Albani,  pemimpin  mereka  yang kontradiktif,  yang  menganggap  perbuatan  Ibn  Umar  itu  syirik  dan  menentan tauhid.

Dimasyqiyat  telah  berusaha  mengingkari  lafal  “Ya”  yang  terdapat dalam  hadits Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”. Dimasyqiyat  berkata, bahwa ia telah mencari lafal “Ya”, ternyata tidak menemukannya.

Akhirnya  Syaikh  Salim  berkata:  “Al-Albani,  pemimpin kalian  yang  kontradiktif, berkata  dalam  al-Kalim  al-Thayyib  hal.  120  dalam  mengomentari  hadits  “Ya Muhammad”  yang  disebutkan  dan  dianjurkan  oleh  Ibn  Taimiyah  untuk diamalkan, sebagaimana terbaca dari judul kitabnya al-Kalim al-Thayyib (kalimat-kalimat  yang  baik).  Al-Albani  berkata:  “Kami  memilih  menetapkan “Ya”,  karena sesuai dengan sebagian manuskrip yang kami temukan.”

Anda  telah  gagal  wahai  Dimasyqiyat.  Kami  menuntut  Anda  berdasarkan pimpinan-pimpinan  Anda  yang  kontradiktif,  di  mana  al-Albani menemukan manuskrip  yang  di  dalamnya  terdapat  lafal  “Ya  Muhammad”,  lalu  dia  anggap menentang  tauhid  dan  termasuk  perbuatan  syirik  menurut  asumsinya.  Coba Anda  lihat  (hal.  16  kitab  al-Kalim  al-Thayyib),  yang  dicetak  di  percetakan  alSyawisy  al-Wahhabi  dengan  nama  al-Maktab  al-Islami, ta’liq  (komentar) Nashiruddin  al-Albani,  pemimpin  Wahhabi  yang  kontradiktif.  Pernyataan  alAlbani menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri.

Kemudian  Syaikh  Salim  memperlihatkan  naskah  tersebut  dan  berkata  kepada Abdurrahman  Dimasyqiyat:  “Aku  ulangi  pertanyaanku  lagi  kepada  Anda,  untuk mengingatkan  bahwa  Ibn  Taimiyah  menyebut  atsar  (hadits)  ini  dan menetapkannya.  Ia  tidak  menjadikannya  sebagai  kesyirikan  dan  kekufuran.

Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakanbahwa Abdullah bin Umar,  al-Bukhari  sampai  pimpinanmu,  Ibn  Taimiyah  adalah  orang-orang  sesat dan kafir. Atau Anda mencabut pendapat Anda.”

Mendengar pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab pertanyaan.  Tetapi  beralih  pada  tema-tema  lain.  Lalu  Syaikh  Salim mengingatkan  kepada  hadirin,  bahwa  Dimasyqiyat  menghindar  dari  jawaban.

Kemudian  Syaikh  Salim  mengulangi  pertanyaannya  yang tadi  dengan

pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah  shallallahu  alaihi  wasallam  agar  berdoa, “Ya  Muhammad,

sesungguhnya  aku  menghadapkan  diriku  kepada  Tuhanku dengan  perantara dirimu.”  Hal  ini  agar  dilakukan  bukan  di  hadapan  Rasul  shallallahu  alaihi wasallam. Hadits ini shahih, riwayat al-Thabarani dan lainnya. Al-Thabarani dan lainnya juga menilainya shahih.

Syaikh  Salim  berkata:  “Apakah  Anda  berasumsi  wahai  Abdurrahman,  bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan kesyirikan, dan bahwa sahabat  yang  menjadi  perawi  hadits  tersebut  serta  al-Imam  al-Thabarani mengajarkan  kesyirikan?  Jelas  ini  tidak  mungkin”.  Mendapat  pertanyaan tersebut,  tampak  sekali  Abdurrahman  Dimasyqiyat  lemah,  di  mana  moderator mengingatkan bahwa ia berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya jelas sekali.

Di  tengah  dialog  tersebut,  Abdurrhman  Dimasyqiyat  mengakui  bahwa  ia  telah menulis beberapa kitab untuk membantah al-Muhadditsal-Habasyi. Akan tetapi ia menerbitkannya dengan memakai nama orang lain, seakan-akan mereka yang menulisnya.  Di  antaranya  kitab  al-Radd  ‘ala  Abdillah  al-Habasyi,  karya  penulis palsu Abdullah al-Syami.

Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar orang-orang percaya sama dia. Padahal ia mengakui sendiri telah berbuat bohong dan merekayasa dengan menulis buku yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.

Setelah  itu,  Syaikh  Salim  mengulangi  menyebut  hadits  laki-laki  tuna  netra tersebut  yang  isinya,  “Ya  Allah,  sesungguhnya  aku  memohon  kepada-Mu  dan menghadapkan diriku kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, Muhammad, nabi pembawa  rahmat”,  serta  menyebutkan  para  hafizh  yang menilainya  shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwahadits tersebut shahih.Lalu  Syaikh  Salim  berkata:  “Bagaimana  kalian  melarang  manusia  bertawassul dengan Rasul shallallahu alaihi wasallam bukan di hadapannya, padahal Rasul shallallahu  alaihi  wasallam  telah  mengajarkan  laki-laki  tuna  netra  tadi  untuk bertawassul dengan beliau bukan di hadapannya? Apakah kalian akan mencabut keyakinan  kalian.  Atau  kalian  mengira  bahwa  kalian  lebih  pandai  dari  pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”

Mendengar  pertanyaan  tersebut,  Wahhabi  yang  berperilaku  aneh  itu kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi tidak berkaitan dengan topik pertanyaan.

Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari jawaban.

Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan pembicaraan pada kebohongan lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk  menutupi kegagalannya. Ia berkata  kepada  Syaikh  Salim:  “Bagaimana  Syaikh  Abdullah  men-tahqiq  kitab, yang di  dalamnya  terdapat  redaksi  bahwa  sebagian  auliya  berkata  kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut, serta mengingatkan rusaknya  redaksi  tersebut.  Kitab  tersebut  telah  dicetak  dan  saya  punya kopiannya.”

Mendengar pernyataan tersebut, moderator melakukan  intervensi, dan meminta kopian  itu  agar  isinya  bisa  diperlihatkan  kepada  hadirin.  Ternyata  semua  yang hadir  terkejut.  Karena  sampul  kitab  tersebut  membuktikan  kebohongan Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan di-tahqiq oleh Syaikh Abdullah. Kitab tersebut justru  di-tahqiq  dan  dikoreksi  oleh  orang  lain,  bernama  Husain  Nazhim  alHulwani,  dan  diberi  kata  pengantar  oleh  Syaikh  Muhammad  al-Hasyimi,  bukan Syaikh al-Harari.

Di sini, untuk menambah jelas kelemahan dan keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi mengkafirkan orang yang  mengusap  mimbar  Nabi  shallallahu  alaihi  wasallam  atau  makam  Nabi shallallahu  alaihi  wasallam.  Kalian  mengklaim  mengikuti  golongan  Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan  pusar  yang  ada  di  mimbar  itu.”  Bahkan  Ibn  Taimiyah  berkata  dalam  kitab yang dinamakannya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim (hal. 367 terbitan Mathabi’ alMajd  al-Tijariyyah),  “Ahmad  dan  lainnya  memberikan  keringanan  dalam mengusap  mimbar  dan  pusar  mimbar  itu  yang  merupakan tempat  duduk  dan tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.”

Bagaimana  pendapat  kalian?  Apakah  kalian  mengkafirkan  al-Imam  Ahmad,  di mana  kalian  mengklaim  mengikuti  madzhabnya?  Atau  kalian  mengkafirkan  Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam? Bukankahini sebuah inkonsistensi?”

Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat yang ahli bid’ah itu tidak bisa menjawab.

Ia  tampak  sekali  kelemahannya.  Lebih-lebih  setelah  Syaikh  Salim  menambah penjelasan  dengan  menyebut  kutipan  al-Mirdawi  al-Hanbali  bahwa  Ibrahim  bin Ishaq  al-Harbi,  seorang  imam  mujtahid  berkata:  “Disunnatkan  mencium  hujrah (makam) Nabi shallallahu alaihi wasallam.”

Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang tampak sangat pucat  sekali,  Dimasyqiyat  bertanya  kepada  Syaikh  Salim  tentang  firman  Allah subhanahu wa ta’ala:

 “Allah Yang Maha Pengasih ber-istawa terhadap ‘Arsy.”

Mendengar  pertanyaan  tersebut,  Syaikh  Salim  menjelaskan persoalan  tersebut dengan  sejelas-jelasnya.  Beliau  memaparkan  pendapat Ahlussunnah  WalJama’ah  mengenai  hal  itu,  bahwa  istiwa’  Allah  subhanahu  wa  ta’ala  terhadap ‘Arsy  bukan  seperti  istiwa’-nya  makhluk.  Istiwa’  dalam  ayat  tersebut,  bukan diartikan  duduk  dan  bukan  pula  menetap.  Akan  tetapi istiwa’  tersebut  adalah suatu makna yang layak bagi Allah subhanahu wa ta’ala, yang tidak menyerupai makna  istiwa’  ketika  disandarkan  kepada  makhluk,  sebagaimana  dalam perkataan  al-Imam  Ahmad  bin  Hanbal,  “Allah  ber-istawa  sebagaimana  yang diceritakan dalam al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia.”

Meskipun  Mu’tazilah  sama  dengan  Ahlussunnah  dalam  menafsrikan  istiwa’ dengan makna menguasai (al-qahr) dalam ayat ini, maka hal tersebut tidak bisa dibuat  alasan  mencela  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah.  Bukankah  Mu’tazilah  juga mengucapkan  kalimat  la  ilaha  illallah  (tiada  tuhan  selain  Allah).  Apakah Ahlussunnah  harus  meninggalkan  kalimat  tersebut  karena  Mu’tazilah mengucapkannya? Tentu saja tidak.

Setelah  perdebatan  berjalan  dua  jam.  Sementara  penjelasan  Syaikh  Salim sangat  bagus  dan  jitu.  Sedangkan  Dimasyqiyat,  tidak mampu  memberikan jawaban. Untuk menutupi rasa malu, Abdurrahman Dimasyqiyat diam. Kemudian para pengikut dan teman-teman Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan dan tindakan  yang  anarkis  secara  kolektif.  Sehingga  sebagian  hadirin  meminta mereka menghentikan tindakan brutal tersebut.

Setelah  mereka  tidak  mengindahkan  pengumuman,  akhirnya  para  hadirin menekan mereka dan polisi mengumumkan selesainya acara. Akhirnya mereka mulai meninggalkan aula Universitas Melbourne. Padawaktu itu, sebagian kaum Wahhabi  berhasil  merusak  kamera  yang  merekam  acara  dialog.  Akan  tetapi, untung  kaset  rekamannya  masih  utuh  dan  dapat  dipublikasikan  sampai sekarang.





Bersama Syaikh Syu’aib al-Arnauth


Dialog  ini  adalah  pengalaman  pribadi  Syaikh  Walid  al-Sa’id,  seorang  ulama Ahlussunnah  di  Timur  Tengah,  dengan  Syaikh  Syu’aib  al-Arnauth,  seorang ulama Damaskus, yang terpengaruh ajaran Wahhabi.

Syaikh Walid al-Sa’id bercerita. “Suatu hari saya mendatangi Syu’aib al-Arnauth di kantornya untuk berdiskusi tentang masalah tawassul dan istighatsah. Setelah saya bertemu dengannya, saya berbicara kepadanya tentang masalah tawassul dan saya ajukan hadits riwayat al-Thabarani.

Syu’aib al-Arnauth berkata, “Hadits ini membolehkanbertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya.”

Saya  berkata:  “Hadits  al-Thabarani  membolehkan  bertawassul  dengan  Nabi shallallahu  alaihi  wasallam  ketika  masa  hidupnya  dan  sesudah  meninggalnya. Demikian pula hadits Bilal bin al-Harits al-Muzani yang mendatangi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertawassul dengannya sesudah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.”

Ia berkata: “Hadits ini dha’if.”

Aku berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih sebagaimana  dikatakan  oleh  al-Hafizh  Ibnu  Hajar  dalam  Fathul  Bari.  Demikian pula Ibnu Katsir menilainya shahih.”

Ia  berkata:  “Ibnu  Hajar  berkata,  hadits  ini  diriwayatkan  oleh  al-Baihaqi  dengan sanad  yang  shahih  kepada  Malik  al-Dar.  Sedangkan  Malik  al-Dar  ini  seorang perawi yang majhul (tidak diketahui kualitasnya). Jadi Malik al-Dar ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam periwayatan hadits.”

Aku  berkata:  “Malik  al-Dar  ini  diangkat  oleh  Khalifah  Umar  bin  al-Khaththab sebagai  Bendahara  Baitul  Mal  kaum  Muslimin.  Berarti menurut  Anda,  Khalifah Umar  mengangkat  seorang  laki-laki  yang  tidak  jelas  kualitasnya,  apakah  dia dipercaya atau tidak, sebagai Bendahara negara?”

Mendengar sanggahan saya ini, ia terdiam dan tidak dapat menjawab. Akhirnya dia  berbicara  lagi  kepada  saya,  “Secara  pribadi  saya  berpendapat,  dalam masalah tawassul ada perbedaan pendapat di kalanganulama. Jadi saya tidak menentang terhadap orang yang melakukannya. Adapun ber-istighatsah dengan selain  Allah,  hukumnya  jelas  haram.  Seorang  makhluk tidak  boleh  beristighatsah dengan sesama makhluknya.”

Aku  berkata,  “Kalau  Anda  berpendapat  bahwa  istighatsah  terhadap  sesama makhluk  dilarang,  lalu  bagaimana  pendapat  Anda  tentang  hadits  yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya dari jalur Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 “Sesungguhnya  Matahari  akan  mendekat  pada  hari  Kiamat,  sehingga  keringat akan  sampai  pada  separuh  telinga.  Maka  ketika  manusia  dalam  kondisi demikian,  mereka  beristighatsah  (meminta  pertolongan)  dengan  Nabi  Adam.”

(HR. al-Bukhari [1475]).

Syu’aib  berkata:  “Hadits  ini  berkaitan  dengan  istighatsah  ketika  para  nabi  itu masih hidup, dan memang dibolehkan ber-istighatsah  dengan mereka. Adapun sesudah mereka meninggal, maka tidak boleh ber-istighatsah dengan mereka.”

Aku  berkata:  “Kalau  begitu,  Anda  berpendapat  boleh  ber-istighatsah  dengan para nabi ketika mereka masih hidup?” Ia menjawab: “Ya.”

Aku  berkata:  “Tolong  jelaskan  dalil  ‘aqli  atau  dalil  syar’i  yang  melarang  beristighatsah dengan para nabi sesudah mereka meninggal dunia!”

Ia berkata: “Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya yang  sedang  aku  tahqiq  dan  belum  diterbitkan.  Hadits  tersebut  adalah  begini, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 “Sesungguhnya  tidak  boleh  beristighatsah  denganku.  Beristighatsah  hanya kepada Allah.”

Aku berkata: “Kalau bergitu pernyataan Anda paradoks. Anda tadi berkata ketika saya  sampaikan  hadits  Ibnu  Umar  (riwayat  al-Bukhari),  bahwa  ber-istighatsah dengan  para  nabi  ketika  mereka  masih  hidup,  itu  boleh.  Sekarang  Anda menyampaikan  hadits  kepada  saya,  bahwa  Nabi  shallallahu  alaihi  wasallam ketika  masa  hidupnya  besabda,  bahwasanya  tidak  boleh  ber-istihgatsah denganku.”

Ia  berkata,  “Maaf,  hadits  ini  dha’if.  Jadi  tidak  dapat  dijadikan  hujjah.”  Ternyata hadits yang disampaikannya, ia ralat sendiri dan iaakui sebagai hadits dha’if.

Kemudian  ia  berkata  kepadaku:  “Coba  aku  berikan  contoh  seorang  imam  di antara imam madzhab yang empat yang mendatangi suatu makam atau seorang wali untuk ber-tabarruk atau ber-istighatsah dengannya.”

Saya  berkata:  “Al-Khathib  al-Baghdadi  telah  meri-wayatkan  dalam  Tarikh Baghdad  dengan  sanad  yang  shahih,  bahwa  al-Imam  al-Syafi’i  berkata:  “Saya senantiasa  bertabarruk  dengan  Abu  Hanifah.  Saya  selalu  mendatangi makamnya  setiap  hari  dengan  berziarah.  Apabila  saya memiliki  hajat,  saya shalat  dua  raka’at,  lalu  saya  datangi  makamnya,  saya  berdoa  kepada  Allah tentang  hajatku  di  sisi  makam  itu,  sehingga  tidak  lama  kemudian  hajatku terkabul.”

Ia berkata dengan berteriak, “Riwayat ini tidak shahih. Dari mana Anda dapatkan riwayat ini?”

Kebetulan  kitab  Tarikh  Baghdad  ada  di  belakang  punggungnya.  Saya  berkata kepadanya,  “Tolong  ambilkan  kitab  itu.”  Setelah  kitab  tersebut  diserahkan kepada saya, saya bukakan riwayat tersebut dalam kitab itu dan saya perlihatkan kepadanya.  Setelah  ia  melihat  riwayat  tersebut,  ia  merasa  heran  dan  berkata kepada  salah  seorang  pembantunya,  “Tolong  kualitas  para  perawi  hadits  ini dikaji.”

Dari  sikapnya  ini,  tampak  sekali,  kalau  ia  telah  mendidik  orang-orang  di sekitarnya  berani  melakukan  koreksi  terhadap  hadits.  Padahal  mereka  tidak punya kapasitas untuk itu. Kemudian pembantu itu datang menghampiri. Setelah beberapa  lama  masuk  ke  dalam,  pembantu  itu  pun  kembali  dan  berkata kepadanya  dengan  suara  agak  pelan,  “Semua  perawi  hadits  ini  tsiqah  (dapat dipercaya).”

Lalu  saya  berkata  kepadanya,  “Bagaimana  hasil  temuan  Anda  tentang  semua perawi hadits ini?”

Ia menjawab: “Semua perawinya dapat dipercaya kecuali seorang perawi yang belum saya temukan data biografinya. Dengan demikian hadits ini dha’if, karena ada seorang perawi yang tidak diketahui kualitasnya.”

Saya  berkata:  “Bagaimana  Anda  menghukumi  hadits  ini dha’if,  berdasarkan alasan, Anda tidak menemukan data biografi seorang perawinya. Padahal dalam kaedah  disebutkan,  “Tidak  menemukan  data,  tidak  menjadi  bukti  bahwa  data tersebut memang tidak ada.” Dia berkata: “Apa maksud kaedah ini?”

Saya berkata: “Apabila Anda tidak menemukan data seorang perawi, itu bukan berarti perawi itu dinilai tidak diketahui kualitasnya dan dha’if.”

Ia  berkata:  “Kalau  Anda  bisa  menemukan  data  perawi  ini,  saya  kasih  nilai sepuluh.” Lalu ia berkata: “Saya sekarang sibuk, jadi tidak mungkin meneliti data perawi ini.” Lalu ia bertanya siapa namaku. Saya menjawab: “Namaku Walid alSa’id, murid Syaikh al-Harari.”

Demikianlah  pandangan  kaum  Wahhabi  yang  mengkafirkan  orang  yang bertawassul  dengan  nabi  atau  wali.  Pendapat  mereka, selain  rapuh,  tidak memiliki  dasar  dari  al-Qur’an  dan  hadits,  juga  berimplikasi  pada  pengkafiran terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, para ulama salaf dan  seluruh  umat  Islam  selain  golongannya.  Na’udzu  billah  min  dzalik.

Pandangan  Wahhabi  akan  rapuh  ketika  dihadapkan  dengan  fakta,  bahwa tawassul  dengan  nabi  yang  sudah  wafat  telah  diajarkan  oleh  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, generasisalaf, ahli hadits dan kaum Muslimin. Ihdina al-shirath al-mustaqim.

Sumber  :
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi"

2014@abdkadiralhamid
 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sunni Vs Wahabi : ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL "

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip