//

Sunni Vs Wahabi : TA'WIL AYAT ALQUR'AN

Sunni Vs Wahabi : 

TA'WIL AYAT ALQUR'AN


 

A. Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil

 


Kalau  kita  mengamati  dengan  seksama,  perdebatan  orang-orang  Wahhabi dengan  para  ulama  Ahlussunnah  Wal-Jama’ah,  akan  mudah  kita  simpulkan, bahwa  kaum  Wahhabi  seringkali  mengeluarkan  vonis  hukum  tanpa  memiliki dasar  ilmiah  yang  dapat  dipertanggung  jawabkan.  Bahkan  tidak  jarang, pernyataan  mereka  dapat  menjadi  senjata  untuk  memukul  balik  pandangan
mereka sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya.

“Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun,  Sumatera Utara. Pesantren itu  bernama  Pondok  Pesantren  Darus  Salam.  Setiap  tahun,  Pondok  tersebut mengadakan  Maulid  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  dengan  mengundang sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan  dan Aceh. Acara puncak biasanya  ditaruh  pada  siang  hari.  Malam  harinya  diisi  dengan  diskusi.  Pada Maulid  Nabi  shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  tahun  2010  ini  saya  dan  beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali  ini  membahas  tentang  Salafi  apa  dan  mengapa,  dengan  judul  Ada  Apa Dengan Salafi?
Setelah  presentasi  tentang  aliran  Salafi  selesai,  lalu  tibalah  sesi  tanya  jawab.
Ternyata  dalam  sesi  tanya  jawab  ini  ada  orang  yang  berpakaian  gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan tentang  Salafi,  antara  lain  berkaitan  dengan  ta’wil.  Orang  Salafi  tersebut mengatakan: 
“Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasaArab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu, saya  dengarkan  dengan  cermat.  Kemudian  dia  melanjutkan  keberatannya dengan  berkata:  “Ayat-ayat  al-Qur’an  itu  tidak  perlu  dita’wil  dan  ini  pendapat Ahlussunnah”.

Setelah  diselidiki,  ternyata  pemuda  Salafi  itu  bernama  Sofyan.  Ia  berprofesi sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang Wahhabi  atau  Salafi.  Mendengar  pernyataan  Sofyan  yang  terakhir,  saya bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
Saya  bertanya:  “Apakah  al-Bukhari  penganut  faham  Ahlussunnah  WalJama’ah?” Sofyan menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.” Saya berkata: “Kalau benar  al-Bukhari  menganut  Ahlussunnah,  berarti  al-Bukhari  tidak  melakukan
ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?” Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
Saya  berkata:  “Saya  akan  membuktikan  kepada  Anda,  bahwa  al-Bukhari  juga melakukan  ta’wil  .”  Sofyan  berkata:  “Mana  buktinya?”  Mendengar  pertanyaan Sofyan,  saya  langsung  membuka  Shahih  al-Bukhari  tentang  ta’wil  yang  beliau lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata:
“Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan:
Artinya,  “Bab  tentang  ayat  :  Segala  sesuatu  akan  hancur  kecuali  Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.”

Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaan-Nya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini.  Berarti,  menurut  logika  Anda,  al-Bukhari  seorang  yang  sesat,  bukan Ahlussunnah.  Anda  setuju  bahwa  al-Bukhari  bukan  Ahlussunnah  dan  pengikut aliran sesat?”.
Mendengar  pertanyaan  saya,  Sofyan  hanya  terdiam.  Sepatah  katapun  tidak terlontar  dari  lidahnya.  Kemudian  saya  berkata:  “Kalau  begitu,  sejak  hari  ini, sebaiknya  Anda  jangan  memakai  hadits  al-Bukhari  sebagai  rujukan.  Bahkan Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah mengkritik  al-Imam  al-Bukhari  dengan  kata-kata  yang tidak  pantas.  Al-Albani berkata:  “Pendapat  al-Bukhari  yang  melakukan  ta’wil terhadap  ayat  di  atas  ini tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yangberiman”.
Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat: Secara  tidak  langsung,  seolah-olah  al-Albani  mengatakan  bahwa  ta’wilan  alImam  al-Bukhari  tersebut  pendapat  orang  kafir. 

Kemudian  saya  mengambil photo  copy  buku fatwa  al-Albani  dan  saya  serahkan  kepada  anak  muda Salafi ini. Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yangdituturkan oleh Syafi’i Umar Lubis  dari  Medan,  seorang  ulama  muda  yang  kharismatik  dan  bersemangat dalam membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
 

B. Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal

 

Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, di antaranya  Imam  Malik  bin  Anas,  Imam  Ahmad  bin  Hanbal,  dan  lain-lain.  Akan tetapi  kaum  Wahhabi  sering  kali  mengingkari  fakta-fakta  tersebut  dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat. Seorang teman saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM,
tokoh  Wahhabi  kelahiran  Sumatera  yang  sekarang  tinggal  di  Jember.  AD bercerita begini.

“Sekitar  bulan  Maret  tahun  2010  lalu,  saya  mengikuti  suatu  acara  di  Jakarta Selatan.  Acara  tersebut  diadakan  oleh  salah  satu  ormas  Islam  di  Indonesia.
Dalam  acara  itu,  ada  seorang  pemateri  Wahhabi  yang  berasal  dari  Sumatera dan  saat  ini  tinggal  di  Jember.  Di  antara  materi  yang  disampaikannya  adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh  dilakukan.  Sehingga  dengan  asumsi  demikian,  ia  meyakini  bahwa  Allah subhanahu wa ta‘ala itu bertempat atau berada di atas ‘Arasy. Dia menggunakan ayat al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa (QS. Thaha : 5).
Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di atas ‘Arasy. Akibatnya, terjadiah dialog sengit antara  saya  dengan  Ustadz  lulusan  Madinah  tersebut. Lalu  setelah  itu,  saya membeberkan  fakta  dan  data-data  akurat  bahwa  tradisi  ta’wil  sudah  biasa dilakukan  oleh  ulama  salaf.  Salah  satunya  adalah  ta’wil  yang  dilakukan  oleh Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat wa ja’a rabbuka walmalaku shaffan-shaffa (QS. al-Fajr : 22).

Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan ja’a tsawabuhu wa  qhadha’uhu  (datangnya  pahala  dan  ketetapan  Allah subhanahu  wa  ta‘ala). Setelah  itu,  Ustadz  Ali  Musri  mencari  ta’wil  Imam  Ahmad  tersebut  di  software Maktabah  Syamilah.  Setelah  dia  menemukannya,  dia  membacakan  komentar
Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya alias bersih) yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.

Ternyata,  aneh  sekali,  Ustadz  tersebut  tertawa  dan  menganggap  bahwa komentar  atau  penilaian  al-Baihaqi  yang  berupa  redaksi  hadza  al-isnad  la ghubara  ’alaih  tersebut  sebagai  shighat  (redaksi)  yang  menunjukkan  atas kelemahan  suatu  sanad.  Saya  juga  heran,  mengapa  Ustadz  lulusan  Madinah tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yangbiasa dipakai oleh para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza alisnad  la  ghubara  ’alaih  bermakna  bahwa  sanad  riwayat  ini  tidak  ada  nodanya sama  sekali,  alias  shahih.  Sayangnya,  berhubung  waktu  yang  disediakan  oleh panitia  dan  moderator  telah  habis,  saya  tidak  bisa  membantah  dan mengomentari  kembali  pernyataan  pemateri  itu.”  Demikian  kisah  AD,  kepada saya secara pribadi.


Sumber  :
Muhammad Idrus Ramli dalam "Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhab"

2014@abdkadiralhamid
 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sunni Vs Wahabi : TA'WIL AYAT ALQUR'AN"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip