//

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DAN PERANAN ALAWIYYIN DI ASIA dan AFRIKA KHUSUSNYA INDONESIA DAN SEMENANJUNG TANAH MELAYU

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DAN PERANAN ALAWIYYIN DI ASIA dan AFRIKA KHUSUSNYA INDONESIA DAN SEMENANJUNG TANAH MELAYU



Bagian 1

Satu seminar membahas ilmu dasar nasab silsilah keluarga Rasulullah Muhammad s.a.w yang telah disampaikan serta disediakan oleh Al-Habib Syed Ali Zainal Abidin bin Hassan bin Al Ali bin Abdullah Assegaff dari sebuah badan nasab dari Jakarta Indonesia, yaitu Naqobatul Asyrof Al-Kubro yang dianjurkan Persatuan Kebajikan Asyraaf Cawangan Sarawak di Kuching pada beberapa bulan lepas.
Al-faqier petik dari bukunya, bab pertama, Masuknya islam dan peranan Alawiyyin.

Menurut penyelidikan para ahli sejarah bahawa masuknya agama islam ke Jawa pada tahun 30H/650M di zaman Khalifah Usman bin Affan R.A.

Sulaiman as-Sirafi, pengelana dan pedagang dari pelabuhan Siraf di Teluk Persi mengatakan bahwa di Sili terdapat beberapa orang islam pada masa dia, yaitu sekurang-kurangnya pada abad ke-2 Hijriah. Hal ini sesuatu yang telah pasti dan tidak perlu pen-tahqiq-an lagi kerana perdagangan rempah-ratus dan wangi-wangian yang berasal dari kepulauan Maluku pasti membuat pedagang-pedagang Muslimin sering berkunjung ke sana dan ke tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan ini. Menurut pengarang buku Nukhbah ad-Dahr, Kepulauan Sili/Sila adalah Sulawesi dan pulau-pulau yang berdekatan dengannya. Lautan disebut Laut Sala. Demikian pula yang diterangkan oleh Sir Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java.

Hubungan antara negeri-negeri Arab dengan kepulauan ini berlansung sebelum dan sesudah islam. Bangsa Arab sebelum islam termasuk di antara pedagang-pedagang yang menerima barang-barang dagangan itu. Banyak kapal mereka yang melintasi lautan tersebut dengan membawa rempah-ratus dan bahan-bahan lainnya yang diperlukan oleh Yunani dan Romawi. Hal ini dikemukakan oleh Syaikh Abi Ali al-Marzuqi al-Asfihani dalam bukunya al-Azminah wa al-Amkinah. Ibn Jarir dalam buku sejarahnya menyebutkan hal itu pada dua tempat. Syaikh Syamsuddin Abu Ubaidillah Muhammad bin Thalib ad-Dimasyqi yang terkenal dengan nama Syaikh ar-Rabwah dalam bukunya Nukhbah ad-Dahr, setelah menguraikan dengan panjang lebar tentang pulau-pulau Sila, Sala (Sulu), Yaqut, Sabah, dan Alwiyah, serta menjelaskan pulau-pulau yang sekarang dinamakan Filiphina, selanjutnya mengatakan:

“Sekelompok Alawiyin telah memasuki pulau-pulau itu di waktu mereka melarikan diri dari golongan Bani Umayyah. Mereka lalu menetap dan berkuasa di sana sampai mati dan dikuburkan di kepulauan itu yang letaknya di sebelah utara lautan ini. Bila seorang asing memasuki kepulaun ini maka ia tidak ingin meninggalkannya walaupun ia tidak hidup dengan mewah”

Ketika menjelaskan tentang negeri Sanf yaitu yang meliputi semua daerah yang terletak sesudah negeri Burma, ia mengatakan sebagai berikut:

“Dakwah islam telah sampai ke sana di zaman Khalifah Usman. Di sanalah singgah golongan Alawiyyin yang lari dari Bani Umayyah dan al-Hajjaj. Mereka menyeberangi laut Zefti dan tinggal menetap di pulau yang terkenal dengan nama Mirela”. Menurut keterangan yang disebutkan oleh ad-Dimasyqi berada di Laut Cina. Di tempat lain ia mengatakan, “Sili berada di Laut Zefti Timur.”

Syihabuddin Ahmad Abdul-Wahab an-Nuwairi dalam bukunya Nihayah al-Arab, yang ditulis dalam 25 jilid, di halaman 220 jilid pertama mengatakan:

“Di sebelah timur negeri China ada enam pulau lagi yang dinamakan Kepulauan Sila. Penduduknya adalah golongan Alawiyin yang datang ke sana kerana melarikan diri dari Bani Umayyah.”

Sejarawan, Taqiyuddin Ahmad bin Ali al-Maqrizi dalam bukunya al-Khuthath al-Maqriziah, halaman 25 jilid 1 memberikan keterangan:

“Di sebelah timur laut ini sesudah Cina ada enam pulau yang terkenal dengan nama kepulauan Sila di mana telah datang sejumlah golongan Alawiyin pada permulaan islam kerena mereka takut dibunuh.”

Nuruddin Muhammad Aufi, pelancong bangsa Persia, menerangkan:

“Setelah penindasan atas golongan Asyraf (para syarif) Alawiyyin di masa Daulah Umayyah kian bertambah keras,maka berhijrahlah sebahagian antara mereka itu ke perbatasan Cina. Di sana mereka mendirikan perumahan yang mereka tempati di tepi sungai-sungai. Mereka berdamai dengan kaisar Cina dan tunduk kepada pemerintahannya sehingga Kaisar memberikan pertolongan kepada mereka.”

Yang dimaksudkan oleh pelancong Persia ini dengan nama CINA ialah meliputi pulau-pulau Timur Jauh. Demikianlah istilah yang biasa dipakai pada waktu itu, sebagaimana diterangkan oleh penulis Yaqut al-Hamawi dalam bukunya Mujam al-Buldan ketika ia menceritakan tanah Jawa.

Dalam buku Sejarah Tanah Jawa karangan Fruin Mees, jilid 11 halaman 8, dikatakan sebagai berikut:

“Sunnan Kalijaga hidup pada abad keenam di Kerajaan Kadilangu, dekat Demak. Di sanalah terdapat sebuah masjid terkenal yang didirikan pada tahun 874H/1468M. sebelum itu Demak dinamakan Bintara. Di masa itu di sana terdapat masjid yang paling kuno. Sudah semestinya, kaum muslim ada di sana ketika itu.”

Syaikh Abu Ali al-Asfihani dalam bukunya al-Azminah wa al-Amkinah yang selesai dikarang pada taun 453H/1061M mengatakan bahawa pedagang-pedagang India, Sind, orang-orang dari Timur dan Barat berkumpul di Sahar di pantai Oman, lalu berlayar ke Daba, kemudian ke Syihir (Syihir Mahrah) dan terus ke Aden.
 



Bagian 2

Tidaklah mudah menyebutkan semua orang dari keturunan ini di sini. Itu terdapat para syajarah-syajarah yang berada pada naqib-naqib dan pada orang-orang yang mengkhususkan diri dalam bidang ilmu nasab. Di sini kami hanya menyebutkan sebagian saja secara sepintas. Di antara mereka adalah Sayid Muhammad bin Abdul Malik al-Aydrus yang dimakamkan di salah satu pelosok Trengganu. Di masa hidupnya ia memerintah Pulau Manis di Laut Trengganu. Dia seorang yang alim dan saleh. Di kalangan penduduk ia dikenal dengan gelar Teuku Pulau Manis pada masa Sultan Zainal Abidin 1.
 

Dalam Sejarah Kelantan disebutkan bahwa yang membawa Islam ke sana adalah seorang dari kalangan Alawiyin keturunan Zainal Abidin. Mungkin yang dimaksud adalah Zainal Abidin al-Aydrus. Juga diketahui adanya sebuah keluarga al-Aydrus yang bernasab kepada Sayid Zainal Abidin bin Syaikh bin Mushghafa bin Ali Zainal Abidin bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah al-Aydrus.
Muhammad bin Abubakar, seorang alumni Universitas Malaya menulis sebuah kajian tentang keluarga ini beserta pengaruh dan kedudukannya. Ia menyebutkan bahwa makam salah satu anggota keluarga ini terdapat di Cabang Tiga, sebuah tempat yang dekat dari Trengganu. Makam itu adalah makam Sayid Mushthafa al-Aydrus yang wafat pada tahun 1207 M (1209 H) yang bergelar Teuku Makam Lama. Ia juga mengatakan:
“Konon tiga orang saudara dari keluarga al-Aydrus pergi dari Hadhramaut ke daerah timur. Salah satu di antara mereka menetap di Jawa, yang lain di Trengganu, sedangkan yang ketiga tinggal di Patani untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Sayid Mushthafa menikahkan puterinya dengan Sayid Zainal Abidin yang datang dari Jawa sebagai pedagang. Mereka dikarunia seorang anak bernama Sayid Muhammad yang gelari Teuku Tuan Besar. Ia wafat pada tahun 1295 H (1878 M); Muhammad ini memiliki seorang anak bernama Sayid Abdurrahman yang bergelar Teuku Paluh yang meninggalkan keturunan yang memiliki peran dalam sejarah Trengganu. Anak terbesarnya adalah Muhammad yang memegang jabatan sebagai menteri besar pada masa Sultan Omar tahun 1864 M. Di antara mereka ada pula yang menjadi mufti, dan ada yang menjadi penasihat di mahkamah. Pada masa sultan-sultan, keluarga ini memiliki sejumlah ulama dan mempunyai kedudukan-kedudukan yang terpandang. Penasihat sultan adalah Sayid Mushthafa, seorang alim yang menjadi anggota Majelis Syura. Mereka memiliki hubungan dengan rakyat sebagaimana mereka berhubungan dengan para sultan karena sebagian besar mereka memiliki akhlak yang mulia, suka beribadah dan berdakwah, serta berilmu. Para pelajar mengambil ilmu dari mereka hingga sultan sendiri. Ketika itu agama memiliki kedudukan, dan rakyat berpegang teguh dengan ajaran-ajarannya.”—‘Muhammad Ibrahim Munsyi dalam buku perjalanannya yang dicetak di Kuala Lumpur tahun 1980 yang menceritakan perjalanannya pada tahun 1870 menyebutkan tentang beberapa pribadi dari kalangan Alawiyyin di semenanjung Melayu. Di antara mereka adalah Sayid Ahmad bin Ali al-Juneid (sebenamya ia Sayid Ahmad bin Harun bin Ali al-Juneid sebagaimana, keterangan yang disampaikan kepada. saya oleh Sayid Abdul Qadir al-Juneid), Sayid Abdullah bin Hasan al-Masyhur, yang berbuat baik menyampaikan hibah dari Engku Abdurrahman bagi anakanak Habib Syaikh, di mana salah satunya, berada, di Ulu dan yang lainnya di Bandar Hilir. Mereka berdua kadangkadang melakukan perjalanan keliling bersama, Engku Abdul Majid. Kemudian Sayid Muhammad alHabsyi yang memiliki kedudukan yang mulia. dan bergelar Wan Cilik sekitar tahun 1289 H, Sayid al-Masyhur yang menjadi pangeran di Selangor wafat pada tahun 1873 M (mungkin ia. mengambil namanya dari madrasah Masyhur di Pulau Penang). Kemudian Sayid Zain al-Habsyi yang telah menetapkan program-program perbaikan yang banyak untuk mengatur negeri itu. Ia. seorang yang memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, serta memiliki kewibawaan. Ia dinamai Shahib ar-Rihlah oleh Sayid Zain bin Sayid Puteh al-Habsyi di Pulau Penang. Ia juga tangan kanan dari Pangeran Tengku Kodin.


Yang memegang kesultanan Perak adalah Ismail (18711874), putera, dari Sayid Raja Hitam. yang berasal dari Siak, Sumatera. Kekuasaan kesultanan beralih kepadanya dari ibunya, Ratu, Mendak binti Sultan Ahmadin. Kemudian terjadi pertentangan di dalam. keluarga, karena adanya orang selain dia. yang berhak memegang kekuasaan. Maka Inggris pun campur tangan dan menghilangkan pertentangan yang terjadi.
Dalam buku Sejarah Alam Melayu disebutkan bahwa pada tahun 1765 Sultan Iskandar menjadi raja Perak. Ia memiliki perhatian untuk menghidupkan dan menyebarluaskan syariat Islam. Ia pun sangat hormat pada para ulama. Ia mengangkat salah seorang dari kalangan Alawiyin yaitu Sayid Abubakar untuk memegang jabatan bendahara. Saudaranya, Sayid Hasyim al-Asghar adalah orang yang membuat Undang-undang 99 Kesultanan Perak.
la juga menyebutkan bahwa orang-orang Arab terdahulu tidak cocok dengan orang Melayu kecuali setelah datangnya para saadah Alawiyyin dari Hadhramaut. Mereka memiliki kedudukan dan berbaur dengan para penduduk. Sebagian mereka berusaha mengirim para pemuda ke Mekah al-Mukarramah.



 

Al-Aththas di Pahang
Dahulu Sayid Umar al-Aththas merupakan Perdana Menteri kesultanan Pahang. Hal ini disebutkan oleh Sir R.O. Winstedt dalam bukunya Early Rules of Perak, Pahang, and Aceh.
Pada awal abad ke- 19 dua orang sayid, yaitu Sayid Zein bin Abdullah dan Sayid Ahmad bin Hasan menjalankan perdagangan di Pahang.
Sayid Hasan bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Thalib al-Aththas dilahirkan pada tahun 1832 M. Ibunya seorang penduduk Pahang. Hubungan-hubungannya dengan keluarga Sultan berjalan baik. Sayid ini menekuni bidang perdagangan dan memperoleh keberhasilan. Ia juga menjalankan dakwah. Ketika terjadi pertentangan-pertentangan antara saudara-saudara Sultan, Sayid Hasan berhasil menghilangkan pertentangan di antara mereka. Sayid ini juga bersungguh-sungguh dalam membuka, sejumlah madrasah, di antaranya Madrasah al-Aththasiyah di Pahang pada tahun 1860 M.
Sultan Ahmad memberikan hadiah kepadanya sebidang tanah di Ketapang, dan sebuah Pulau yang dikenal Pulau Habib Hasan. Ia menanaminya dengan pohon karet dan memberikan kesempatan kerja bagi para penduduknya. Ia juga mewakafkan sebidang tanah untuk kepentingan Islam, sedangkan sisanya ia tinggalkan untuk ahli warisnya. Namun para ahli warisnya kemudian menyerahkannya kepada kesultanan Pahang ketika negeri Melayu (Malaya) memperoleh kemerdekaannya.
Kemudian Sayid Hasan tinggal di Muara pada tahun 1880 M. Di sana ia dikaruniai oleh Allah SWT seorang anak, Sayid Muhammad yang merupakan ayah dari Sayid Ali bin Muhammad, ketua “Auqaf Sayid Hasan” dan ketua “Rabithah Alawiyah” di Johor. Lalu Sayid Hasan pindah ke Johor. Di sana ia mendapatkan seorang anak, yang kemudian menjadi seorang alim, yaitu Sayid Salim bin Hasan yang menjabat sebagai qadhi di Johor sebelum Perang Dunia 11 sampai wafatnya pada tahun 1955.
Di samping melakukan kegiatan-kegiatan kebajikan Islam, Sayid Hasan juga melakukan perdagangan. Ia mendirikan banyak bangunan secara terus menerus, hingga sekitar 20 bangunan. Pada tahun 1910 ia membangun dua rumah. Kemudian rumah itu dan segala yang berhubungan dengannya, ia serahkan kepada kesultanan, baik bangunan maupun tanahnya, untuk menjadi markas tentara kesultanan Johor. Ia juga meminjamkan rumahnya yang kedua kepada Sultan Johor selama 15 tahun tanpa imbalan. Bangunan itu dan tanahnya sekarang telah menjadi milik wakaf. Kini sedang didirikan bangunan dua belas tingkat untuk kepentingan wakaf.
Sayid Hasan membuka perkebunan yang luas di Johor. Di samping kegiatan-kegiatannya dalam bidang perdagangan, ia juga melakukan kegiatan pertambangan tembaga di Selangor, juga membuka pabrik kayu, percetakan dan penerbitan.
Sayid Hasan mengerahkan hidupnya untuk berdakwah dan mendirikan sekolah-sekolah dan pusat pendidikan tinggi Islam dan bahasa Arab pada tahun 1933, mendidik para pemuda, membimbing para penulis, para guru, dan para penerbit majalah, di antaranya adalah majalah Jasa.
Pada tahun 1923 Sayid Hasan menjadi ketua utusan para ulama dan cendikiawan dari negeri Melayu ke Mesir untuk menghadiri pemilihan khalifah Muslimin.
Proyek-proyek yang dibuatnya banyak, di antaranya membangun masjid, musola, dan sekolah, membuka kegiatan-kegiatan sosial, dan mengembangkan perkampungan Islam. Semua wakaf itu kini masih ada dan dipimpin oleh cucu-cucunya.
Harta yang diwakafkan olehnya di antaranya adalah rumah keluarga yang dipinjamkan kepada mahkamah sejak tahun 1900, tanah-tanah yang di atasnya terdapat bangunan-bangunan pemerintah dan kantor-kantor di pusat kota Johor. Semuanya diserahkan kepada Sultan Ibrahim. Juga sebidang tanah untuk rel kereta api di lereng gunung. Tanah itu dihadiahkan secara cuma-cuma. Juga sebidang tanah untuk membangun pemakaman. Sebidang tanah yang di atasnya terdapat sejumlah jalan dihibahkan oleh para pengurus wakaf pada 1932 kepada Pemerintah Johor pada masa Sultan Ibrahim. Di atas tanah itu terdapat tempat tinggal perdana menteri, sekolah-sekolah, pembangkit listrik, dan lain-lain. Sebidang tanah yang lain diambil oleh pemerintah pada tahun 1957 untuk sekolah. Sebidang tanah juga diberikan untuk kepentingan umum di Pahang sebagai hadiah, dan lain-lain.
Sedangkan harta milik wakaf di antaranya tanah sekolah Arab, sebidang tanah untuk membangun musola dan lain-lain, tempat-tempat tinggal untuk imam, muazin, dan para pegawai. Di atas tanah itu juga terdapat toko-toko dan rumah-rumah yang penghasilannya diberikan untuk madrasah Arab dan masjid. Sebidang tanah yang lain di atasnya terdapat toko-toko dan rumah-rumah yang penghasilannya digunakan untuk madrasah. Sebidang tanah digunakan untuk membangun musola dan lain-lain, sebidang tanah yang lain di atasnya terdapat rumah-rumah yang penghasilannya untuk madrasah, sebidang tanah yang lain lagi di atasnya terdapat rumah-rumah yang penghasilannya untuk kas kegiatan-kegiatan sosial, sebidang tanah lain penghasilannya untuk kepentingan Islam secara umum, dan sebidang tanah yang lain di atasnya terdapat Madrasah al-Aththas di Pahang. Juga terdapat dua rumah dan sebuah bangunan untuk istirahat para dai dan para pelajar di Singapura, dan sebuah asrama pelajar di Cairo, Mesir di dekat Universitas al-Azhar.
Pemerintah Johor menghargai usaha-usaha Sayid Hasan. Karena itu pada tahun 1926 Sultan Ibrahim bin Sultan Abu Bakar menganugerahkannya bintang tanda jasa tertinggi sebagai tanda cinta dan simpatinya. Sekarang terdapat sekitar 16 tempat yang memakai nama Sayid Hasan di Pahang, Johor, dan lain-lain.
Madrasah al-Aththasiyah di Johor dengan sistemnya yang modern dianggap sebagai madrasah resmi, bekerja sama dengan lembaga-lembaga resmi dan kantor urusan agama. Madrasah ini didirikan pada tahun 1332 H (1913 M). Pendidikan di sana diberikan secara cuma-cuma. Hanya saja orang yang mampu terkadang membayar 65 dolar Malaysia setiap bulan. Madrasah memberikan makanan kepada mereka yang tidak mampu. Lulusan sekolah ini dapat mengikuti pelajaran di sekolah-sekolah tinggi dan perguruan-perguruan tinggi di Mesir dan sebagainya.
Pemasukan wakaf untuk biaya madrasah jumlahnya terbatas.
Karena itu madrasah bergantung kepada keluarga almarhum Sayid Hasan. Jumlahnya mencapai sekitar satu juta rial yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan madrasah, asrama pelajar, dan lain-lain. Pengurus madrasah terdiri dari orang-orang yang dikenal di masyarakat. Kepala madrasah dan wakil badan wakaf adalah Sayid Ali bin Muhammad al-Aththtas.



Kutipan dari buku Islam di Malaysia halaman 98
Orang pertama yang mendirikan madrasah di Pahang adalah seorang wartawan dari Johor bernama Habib Hasan (Sayid Hasan). Madrasah ini memiliki hubungan dengan madrasah yang didirikan oleh Haji Umar bin Haji Abdullah. Haji Umar telah mengambil seorang lulusan madrasah alAththas di Johor, yaitu Haji Hasan bin Sanik untuk mengajar di madrasahnya. Madrasah ini kemudian mengalami kemunduran karena jumlah murid yang sedikit dan kemudian ditutup pada tahun 1914. Pada tahun 1920, Haji Umar bertemu dengan Habib Hasan. Lalu mereka bersepakat mendirikan madrasah yang baru. Haji Umar berusaha dengan hartanya dan Habib Hasan dengan bantuannya. Madrasah ini dipimpin oleh Haji Hasan bin Sanik dengan dibantu oleh dua orang lulusan madrasah al-Aththas di Johor. Habib Hasan membayar gaji para guru dari uangnya sendiri. Madrasah ini dianggap madrasah yang paling maju di Pahang.



Sayid Hadi bin Ahmad bin Hadi
Surat kabar Memorandum yang terbit diSurabaya pada edisi tanggal 25 Juni 1983 menyebutkan yang ringkasannya sebagai berikut:
“Seorang pejuang Hadi bin Ahmad telah wafat. Ia seorang tokoh Partai Arab Indonesia (PAI) dan seorang anggota Partai Nasional Indonesia. Ia terkenal dengan kedermawanannya dalam menyumbang masjid-masjid dan lembaga-lembaga sosial. Ia juga salah seorang pendiri masjid al-Mujahidin dan Yayasan Dakwah YAPI.
Karena dipandang sebagai salah seorang pejuang terkemuka, ia telah dianugerahi bintang jasa kemerdekaan sebanyak dua kali sebagai penghargaan atasnya. Ia juga telah mendapatkan penghargaan karena perjuangannya dalam perang revolusi kemerdekaan. Perjuangannya dimulai pada tahun 1945 sampai tahun 1957. Ia juga anggota tentara Indonesia sejak tahun 1957 dengan pangkat letnan dua.
la wafat di rumahnya dan disalatkan oleh orang banyak di masjid al-Mujahidin dan di masjid Ampel Surabaya. Jenazahnya diantar oleh ribuan orang dengan upacara militer yang dipimpin oleh Kapten Sukardi.
Sayid ini dikenal sebagai orang yang selalu menjalankan agama, menjaga kewajiban-kewajibannya, serta banyak bersedekah dan berinfak. Dr. Saleh al-Jufri menjelaskan apa yang ia ketahui mengenai segala aktifitas, kebaikan, dan kedermawanannya terhadap yayasan-yayasan Islam dan asrama-asrama pelajar. Ia meninggalkan empat orang putra dan dua orang putri.”



Pendidikan
Ridwan Saidi dalam majalah Panji Masyarakat menulis artikel yang ringkasannya sebagai berikut:
“Pada tanggal 31 Desember 1799 berakhir peranan Serikat Perdagangan Belanda (VOC) dan pemerintah Belanda memegang urusan-urusan tanah jajahan dengan mengikuti sistem VOC dalam urusan-urusan pemerintahan dan lain-lain.
Pada tahun 1851 sekolah kedokteran swasta didirikan oleh pemerintah. Dalam laporan tahunan sekolah ini (1904-1905) terdapat nama-nama mahasiswanya antara tahun 1875 sampai tahun 1904. Sebagian besar mereka adalah dari kelurga para sultan, para pemimpin, para pejabat pemerintah, dan sebagainya. Jumlah mereka 743 mahasiswa dan yang lulus 160 orang.
Demikian juga keadaannya di sekolah pagawai-pegawai pemerintahan, sekolah-sekolah Belanda untuk pribumi, dan sekolah-sekolah untuk orang Belanda.
Pada masa itu pengajaran dan pendidikan milik kaum Muslimin.”



Masjid-masjid Lama di Jakarta

Masjid Marunda
Di antara masjid-masjid lama yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah di Jakarta sebagaimana uang diceritakan oleh para penduduk adalah Masjid Marunda. Konon, Kapten Tete Jonker, yang merupakan anggota, pasukan Belanda dan seorang Muslim yang berasal dari kepulauan Ambon menggunakan masjid ini sebagai markas di bawah kepemimpinannya untuk menghadapi tentara Belanda pada tahun 1683 sampai tahun 1689. Daerah ini merupakan pusat para pejuang dari Banten dan Jakarta. Masjid ini terletak di sebuah tempat di tepi laut yang sekarang dikelilingi air karena terjadinya erosi pantai.



Masjid Angke
Letak masjid ini adalah di Jalan Tubagus Angke dan dibangun pada tanggal 2 April 1716.



Masjid Tambora
Masjid ini terletak di dekat Kampung Jembatan Lima. Didirikan pada tahun 1181 H (1762 M). Yang membangunnya adalah orang-orang dari Pulau Sumbawa yang menjadi penduduk kampung itu. Mereka dibuang dari Pulau Sumbawa oleh penguasa Belanda. Di depan masjid ini terdapat makam para ulama, yaitu Kyai Mustajib dan Kyai Dating tahun 1247 H (1828 M).



Masjid al-Manshur
Terletak di Sawah Lio. Masjid ini dibangun pada tahun 1717 oleh Abdul Muhith, putra Pangeran Jayakarta. Pada perang Dunia II masjid ini diserang oleh tentara Belanda, karena seorang alim yang bernama Haji Muhammad Manshur menggunakannya sebagai markas perjuangan melawan penjajah. Bendera Indonesia dipasang di atas menara tempat azan. Akhirnya Haji Muhammad Manshur ditahan. Maka kemudian para penduduk menamakan masjid ini Masjid al-Manshur.



Masjid Pekojan
Masjid ini dibangun oleh Haji Abdul Mu’thi pada tahun 1735. Syarif al-Gadri, sultan Pontianak, memberikan hadiah berupa mimbar untuk masjid ini.



Masjid al-Anwar
Terletak di Kampung Rawa Bebek, Angke. Sudarsono, seorang pegawai bagian arkeologi mengatakan bahwa Dr. F. De Haan dalam bukunya Olde Batavia menyebutkan bahwa kampung ini pada mulanya tidak berpenduduk. Lalu para pejuang dari Banten menjadikannya sebagai markas perjuangan mereka melawan pemerintah serikat Belanda.


Masjid Kebon Jeruk

Masjid ini dibangun pada tahun 1786 oleh seorang Muslim Cina. Lalu diperbaharui oleh Sayid Husain bin Thahir bin Shahabuddin. Ia juga memperbaharui Masjid Salafiyah di Pulogadung yang didirikan tahun 1620.



Masjid al-‘Atiq
Terletak di Kebon Baru, Cawang dan dibangun pada tahun 1630.



Masjid Luar Batang
Di dekat masjid ini dimakamkan seorang dai, yaitu Sayid Husain bin Abubakar al-Aydrus, yang wafat pada tahun 1768.



Para dai di Afrika Timur
Dalam kitab Haqa’iq Tarikhiyah ‘An al-Arab wa al-Islam fi Afi-iqiya asy-Syarqiyah karya Sayid Muhammad bin Ahmad Masyhur al-Haddad disebutkan para dai di Afrika Timur. Berikut kami nukilkan nama-namanya:



Angkatan Pertama
Sayid Saleh bin Alwi Jamalullail serta putra-putranya Ahmad bin ldrus, Sayid Ahmad bin Abubakar bin Semith dan putranya Umar bin Ahmad bin Semith, Syaikh Umair Tajuddin asy-Syirazi, Syaikh al-Amin bin Ali al-Marzu’i, Syaikh Muhammad bin Abdullah Bakatsir, Sayid Umar bin Salim al-Aththtas, asy-Sya’ir al-Adib Muhammad bin Ali al-Umawi, Syaikh al-Islam Sayid Abdurrahman Assegaf, Sayid Abdullah Syah, Syaikh Ali bin Muhammad al-Khatib, Syaikh Sa’id bin Ahmad.


Angkatan Kedua
Sayid Ahmad bin Husein Aal asy-Syaikh, Syaikh Muhammad Basyir, Sayid Muhammad Husein al-Alawi, Syaikh Usman bin Ali al-Amudi, Syaikh Ali bin Umair, Sayid Muhdhar al-Mahdi, Sayid Hasan asy-Syathiri, Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Barik, Sayid Muhammad Adnan, Sayid Abul Hasan bin Ahmad Jamalulail, Syaikh Abdullah al-Khathib, Sayid Muhammad bin Abdurahman as-Segaf, Syaikh Lal Husein Akhthar, Syaikh Nu’man Basyaikh, Sayid Abdullah al-Baidh, Sayid Abdullah Haji Jum’ah Kenya an-Nubi, Haji Ramdhan Abyadh, Haji Khamis Sulaiman al-Balusyi, Sayid Ali bin Abubakar bin Ali Bilfaqih, Syaikh Khalfan, Syaikh Sulaiman, Syaikh Abdushamad, Sayid Muhammad bin Abdurahman al-Jufri, Syaikh Manshur al-Ja’li al-Abbasi, Syaikh Ahmad Khair al-Ja’li al-Abbasi, Yasin Hasan al-Ja’li. Di dalam kitab tentang kota Lamo disebutkan bahwa kota itu banyak diramaikan oleh keluarga Jamalulail dan keluarga Syaikh Abubakar bin Salim, dua kelompok Alawiyin yang datang sejak lama dari Hadhramaut. Kedua keluarga tersebut merupakan tujuan para penuntut ilmu yang dari berbagai pelosok Afrika Timur, Somalia dan Berawa.


1) R.O. Winstedt, The Malaya, A Cultural History, halaman 112.
2) Islam di Timur Jauh.
3) The Yemen, A Secret …. terjemahan Khairi Hammad di bawah judul “Bilad Al-Bukhur wal-Uthuf”.
4) Al-Arab wal-Mallahah fi Al-Muhith At-Hindi, halaman 194.


5) Dairatul-Maarifjuz 11 halaman 352, cetakan Beirut 1958.
6) Surat kabar Al-Ahram 8/12/1955 di bawah judul Dzikrayaat min Asy-Syarq.
7) Hamka, Sejarah Umat Islam jilid IV, cetakan Jakarta 1976 halaman 35… apa yang disebutkan oleh Thomas Arnold dalam bukunya….



abdkadiralhamid@2014

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SEJARAH MASUKNYA ISLAM DAN PERANAN ALAWIYYIN DI ASIA dan AFRIKA KHUSUSNYA INDONESIA DAN SEMENANJUNG TANAH MELAYU"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip