//

Amal Pemusnah Kebaikan, bagian 1




Segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan manusia dan menyempurnakan bentuknya, dan menganugerahinya lisan yang bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang dikandung hati dan akal. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata; tiada sekutu bagi-Nya. Saya pun bersaksi bahwa junjungan kita, Muhammad, adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang membaca takbir dan tahlil kepada Allah.

Sesungguhnya lisan merupakan salah satu bentuk anugerah dan keindahan ciptaan Allah. Ukurannya kecil, tetapi pahala dan dosa yang ditimbulkannya besar. Melalui lisan, kekafiran dan keimanan bisa dibedakan. Dengannya pula seseorang membicarakan semua yang wujud dan yang tidak wujud, sifat-sifat Sang Pencipta, dan sifat-sifat makhluk-Nya. Itulah keunikan lisan. Mata hanya bisa berinteraksi dengan gambar dan warna. Telinga hanya bisa berhubungan dengan suara. Tangan hanya bisa berurusan dengan benda berwujud. Adapun lisan mempunyai medan yang luas.
Manusia sering meremehkan dan tidak membentengi diri dari berbagai penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh lisan. Padahal, lisan adalah senjata setan yang paling penting dalam memperdaya manusia. Berikut ini akan saya jelaskan penyakit-penyakit itu secara rinci dan cara untuk menghindarkan diri darinya.


Besarnya Risiko Lisan dan Keutamaan Diam
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda, “Siapa yang diam, ia selamat.” Diriwayatkan dari Anas bahwa Luqman pernah berkata, “Diam itu kebijaksanaan, tetapi sedikit yang melakukannya.”
Uqbah bin ‘Amir mengisahkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?” Rasulullah menjawab, “Jaga lisanmu, berdiamlah di rumahmu (untuk beribadah), dan tangisi kesalahanmu.” Sahal bin Sa’ad menuturkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda, “Siapa yang menjaga sesuatu di antara kedua rahangnya (yaitu lisan) dan sesuatu di antara kedua kakinya (yaitu kemaluan), aku menjaminkan surga baginya.”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah ditanya mengenai perkara yang paling banyak membuat manusia masuk surga. Beliau menjawab, “Ketakwaan kepada Allah dan budi pekerti yang baik.” Beliau juga ditanya tentang perkara yang paling banyak membuat manusia masuk neraka. Beliau menjawab, “Dua rongga, yaitu mulut dan kemaluan.”

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda, “Kebanyakan dosa anak Adam berasal dari mulutnya’.’
Rasulullah juga pernah bersabda, “Siapa yang menahan lisannya, Allah tutupi aibnya. Siapa yang bisa menguasai emosinya, Allah lindungi dia dari siksa-Nya. Dan siapayang meminta ampun kepada-Nya, Allah terima permintaan ampunnya”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau diam” Diriwayatkat dari Barra’ bin Azib bahwa seorang badui menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan bertanya, “Tunjukkan kepadaku suatu amal yang bisa membuatku masuk surga.” Rasulullah menjawab, “Beri makan orang yang lapar, beri minum orang yang haus, serukan kebaikan, dan cegah kemungkaran. Jika engkau tidak sanggup, tahan lidahmu kecuali untuk kebaikan.”

Abu Bakar meletakkan kerikil di dalam mulutnya untuk mencegah dirinya berbicara. Seraya menunjuk pada lisannya, ia menuturkan, “Inilah yang bisa membawaku pada kebinasaan.” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Hanya lisan yang lebih memerlukan penjara dalam waktu lama.” Hasan Al-Bashri mengatakan, “Tidaklah memahami agamanya, orang yang tidak sanggup menjaga lisannya.” Yunus bin Ubaid mengatakan, “Seseorang yang senantiasa memberi perhatian yang besar pada lisan (ucapannya) niscaya engkau akan melihat kebaikan pada seluruh amal perbuatannya.” Rabi’ bin Khutsaim tidak pernah membicarakan urusan dunia selama 20 tahun. Ketika pagi tiba, ia mencatat apa yang ia bicarakan, lalu mengoreksinya pada sore hari. Mansur bin Al-Mu’tazz tidak pernah berbicara satu patah kata pun selepas waktu Isya selama 40 tahun.
Mungkin engkau bertanya, “Apa sebabnya sehingga diam memiliki keutamaan yang begitu besar?” Ketahuilah, sebabnya adalah banyaknya penyakit yang ditimbulkan oleh banyak bicara. Penyakit itu ada yang bersumber dari setan dan ada pula yang bersumber dari tabiat seseorang. Dengan diam, penyakit-penyakit itu tidak akan membebani seorang pendiam. Sementara itu, dalam diam, seseorang bisa menguatkan niat, senantiasa bersikap tenang, mempunyai waktu kosong untuk berzikir dan beribadah, dan selamat dari konsekuensi yang timbul dari ucapan, baik yang terkait dengan dunia maupun akhirat.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Siapa yang diam, ia selamat!’ Dan sungguh, demi Allah, ia pun mendapat anugerah berupa permata kebijaksanaan dan kalimat yang berbobot.


Penyakit Pertama: Ucapan yang Tidak Perlu
Maksudnya, engkau mengatakan sesuatu yang tidak kau perlukan. Akibatnya, waktumu sia-sia dan engkau mengambil sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik. Seandainya engkau memanfaatkan waktu tersebut untuk merenung, mungkin akan terbuka bagimu sebagian dari percikan rahmat Allah yang besar manfaatnya bagimu. Sekiranya engkau pergunakan waktu tersebut untuk berzikir kepada Allah, tentu saja itu lebih baik. Dan barang siapa sanggup untuk mendapatkan emas dan permata, tetapi ia hanya mengambil tanah yang tidak bermanfaat baginya, sungguh ia benar-benar rugi. Diam seorang mukmin adalah berpikir, pandangannya adalah mengambil pelajaran, dan ucapannya adalah zikir.
Modal pokok seorang hamba adalah waktu. Jika waktunya digunakan untuk hal yang tidak bermanfaat, hilanglah modal pokoknya. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salampernah bersabda, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.” Anas bin Malik menuturkan, “Salah seorang anak lelaki dari kelompok kami (kaum Anshar) meninggal sebagai syahid dalam Perang Uhud. Kami menemukan sebongkah batu mengganjal untuk menahan lapar di perutnya. Lantas ibunya berkata, ‘Selamat menikmati surga, Anakku.’ Lalu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Engkau tidak tahu. Boleh jadi ia telah berbicara yang tidak perlu dan mencegah sesuatu yang tidak membahayakannya.”
Batasan ucapan yang tidak perlu adalah ucapan yang bila kau ucapkan, engkau tidak mendapatkan pahala; dan bila tidak kau ucapkan, engkau tidak mendapatkan dosa dan tidak pula membahayakan keadaan maupun harta.
Penyebab munculnya ucapan yang tidak perlu adalah hasrat untuk mengetahui sesuatu yang tidak dibutuhkan atau meluangkan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat.
Cara penyembuhannya ada dua. Dari sisi pemahaman, hendaknya seseorang menyadari bahwa napasnya adalah modal pokoknya, bahwa ia bertanggung jawab atas setiap perkataannya, bahwa lisan adalah alat yang bisa ia gunakan untuk mencapai derajat yang tinggi, dan bahwa menyia-nyiakan lisan adalah suatu kerugian yang nyata. Dari sisi amaliah, hendaknya seseorang mengharuskan dirinya berdiam diri terhadap sebagian hal yang berarti baginya agar lisannya terbiasa untuk meninggalkan hal yang tidak perlu. Kalau mau, ia bisa mengasingkan diri atau menyepi untuk berlatih diam.


Penyakit Kedua: Ucapan yang Berlebihan
Yaitu membicarakan sesuatu yang tidak berguna atau melebihkan pembicaraan yang berguna dari kadar yang sepatutnya. Atha’ mengatakan, “Orang-orang sebelum kalian membenci ucapan yang berlebihan. Mereka menganggap berlebihan semua yang selain Al-Quran, sunnah Nabi, perintah, larangan, dan ucapan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok.” Diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi, “Ada lelaki berbicara kepadaku, tetapi jawaban yang akan aku katakan atas ucapannya lebih menyenangkan daripada air dingin bagi orang yang kehausan. Maka aku pun meninggalkan jawaban itu karena khawatir termasuk pembicaraan yang berlebihan.”
Perkataan yang bermakna termaktub dalam Al-Quran. Allah berfirman, Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia (QS Al-Nisa’ [4]: 114).
Penyebab dan cara penyembuhan penyakit ini sama dengan penyakit yang pertama.

Penyakit Keempat: Perdebatan (Mira’ & Jidal)
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Siapa yang meninggalkan perdebatan (mira’), padahal dia benar, akan dibangunkan untuknya rumah di bagian tertinggi surga. Dan siapa yang meninggalkan perdebatan (mira’) dan dia salah, akan dibangunkan untuknya rumah di bagian terbawah surga!’
Beliau juga bersabda, “Tidak akan tersesat suatu kaum yang telah diberi petunjuk oleh Allah Swt, kecuali jika didatangkan kepada mereka perdebatan (jidal).
Umar r.a. mengatakan, “Jangan kau pelajari ilmu untuk tiga hal, dan jangan pula kau tinggalkan karena tiga hal. Jangan kau pelajari ilmu untuk berdebat, membanggakan diri, dan berlaku riya. Dan jangan kau tinggalkan ilmu karena malu mempelajarinya, hendak mengabaikannya, dan rela dengan kebodohan.”
Maimun bin Mahran ditanya, “Mengapa tidak kautinggalkan saja saudaramu padahal ia membencimu? Ia menjawab, “Karena aku tidak pernah mendebatnya.”
Perdebatan (mira’) adalah pembantahan terhadap ucapan lawan bicara dengan membeberkan kecacatan ucapannya, baik redaksinya, maknanya, maupun maksudnya.. Meninggalkan perdebatan berarti meninggalkan penolakan dan penyanggahan. Jika hal yang engkau dengarkan benar, katakan itu benar. Namun, jika itu tidak benar atau dusta yang tidak terkait dengan persoalan agama, diamkan saja.
Adapun perdebatan (jidal) adalah kesengajaan untuk membungkam lawan bicara, melemahkannya, serta memperlihatkan dan mencela kekurangan ucapannya. Penyebab perdebatan adalah [1] keinginan untuk menonjolkan diri dengan memperlihatkan keilmuan dan kelebihan, dan [2] keinginan untuk menjatuhkan orang lain dengan menampakkan kekurangannya.  Kedua  keinginan  tersebut termasuk sifat yang mencelakakan (muhlikat), dan berbahan bakar perdebatan. Siapa yang gemar berdebat, ia menguatkan sifat yang mencelakakan tersebut.
Cara penyembuhannya adalah dengan mengekang sifat tinggi hati dan elemen binatang buas (sabu’iyyah), yang akan saya jelaskan dalam bab “Mencela Kesombongan dan Ujub” dan “Mencela Kemarahan, Kedengkian, dan Iri Hati”.
Abu Hanifah berkata kepada Dawud Ath-Tha’i, “Mengapa engkau lebih suka menyendiri?” Dawud menjawab, “Karena aku sedang berjuang untuk meninggalkan perdebatan.” Lantas Abu Hanifah mengatakan, “Datanglah (dikeramaian), dengarkan, dan jangan berbicara.” Kemudian Dawud menceritakan, “Aku sudah melakukan nasihat Abu Hanifah. Ternyata, tidak ada perjuangan yang lebih sulit bagiku melebihi nasihatnya tersebut.” Barang siapa terbiasa berdebat, lalu orang-orang memujinya, lantas ia merasa mulia dan diterima banyak orang, sesungguhnya sifat-sifat yang mencelakakan itu telah menancap kuat pada dirinya dan ia tidak mampu mencabutnya.

Penyakit Kelima: Perselisihan (Khushumah)
Penyakit ini adalah dampak dari perdebatan. Perdebatan adalah upaya melemahkan ucapan orang lain, sedangkan perselisihan adalah ucapan yang dilakukan terus-menerus untuk menuntut kekayaan atau hak tertentu. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salampernah bersabda, “Sungguh, orang yang paling dibenci Allah adalah penentang (kebenaran) yang paling keras!’
Mungkin engkau bertanya, “Seandainya seseorang mempunyai hak ; yang hanya bisa didapatnya dengan cara berselisih, apakah cara ini juga termasuk hal yang tercela?”
Ketahuilah! Celaan hanya bagi orang yang berselisih dengan cara yang tidak benar dan tanpa aturan. Celaan juga diperuntukkan bagi orang yang menuntut suatu hak, tetapi ia melampaui batas, menampakkan permusuhan dengan maksud menguasai atau menyakiti, dan mengucapkan kata-kata yang menyakiti yang tidak diperlukan dalam menampakkan kebenaran. Adapun orang terzalimi yang menyuarakan bukti kebenarannya dengan cara yang baik, tanpa bermaksud memusuhi maupun menyakiti, tidak berlebihan, tindakannya tidak diharamkan. Namun, lebih baik ia menempuh jalan lain, jika masih ada. Meskipun orang terzalimi tidak dilarang berselisih guna mendapatkan haknya, setidaknya perselisihan bisa membebani pikirannya. Bahkan saat mengerjakan shalat pun, ia bisa saja terngiang akan argumen-argumen dari lawannya dalam perselisihan. Siapa yang berlaku yang seharusnya dalam perselisihan dan persengketaannya, ia selamat.
Jika orang yang menuntut tidak membutuhkan apa yang ia tuntut dari lawannya karena ia sudah berkecukupan, ia tidak berdosa. Hanya saja, ia meninggalkan suatu keutamaan. Setidaknya ia kehilangan pahala dari perkataan yang baik. Ath-Thabrani melansir sebuah hadits dari Hani’ dengan isnad baik (jayyid), bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda, “Surga dipastikan bagi orang yang memberikan makan dan berbicara baik”
Allah Swt. berfirman, Bertuturlah yang baik kepada manusia (QS Al-Baqarah [2]: 83).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat beberapa kamar,yang sisi luarnya bisa terlihat dari dalam dan sisi dalamnya bisa terlihat dari luar. Kamar-kamar itu disediakan oleh Allah Swt. bagi orang yang mau memberi makan dan bertutur kata dengan lembut!
Diriwayatkan bahwa Nabi Isa a.s. berpapasan dengan seekor babi. Lalu beliau berkata padanya, “Lewatlah dengan aman.” Lantas ada yang bertanya kepada beliau, “Wahai Ruh Allah, apakah engkau mengatakannya kepada babi tadi?” Nabi Isa menjawab, “Aku tidak suka membiasakan lidahku mengucapkan keburukan.”
Sementara itu, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengatakan, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”

Penyakit Keenam: Ucapan yang Dibuat-buat dan difasih-fasihkan
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh dahku adalah orang-orang yang bicaranya banyak, dibuat-buat, dan difasih-fasihkan” (hadist diriwayatkan oleh Imam Ahmad)
At-Tirmidzi pun melansir hadits ini dan menilainya hasan, dengan redaksi, “Sesungguhnya orang yang paling kubenci ….” (hadist diriwayatkan oleh AtThirmidzi )
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga bersabda, “Ingat! Celakalah orang-orang yang melampaui batas.” Beliau mengulangi sabdanya ini sebanyak tiga kali.
Namun, memperbaiki redaksi pidato dan ceramah secara wajar dan tidak berlebihan tidak termasuk hal yang dilarang. Sebab, pidato memang bertujuan untuk menggerakkan hati para pendengarnya, membuatnya senang terhadap materi pidato, dan memengaruhinya. Hal seperti itu pantas. Adapun pembicaraan biasa di antara sesama tidak sepantasnya difasih-fasihkan dan dibuat-buat sedemikian rupa. Sebab, ucapan yang dibuat-buat seperti itu tentunya didorong oleh motif memamcrkan kefasihan dan ingin dipuji.

Penyakit Ketujuh: Berkata Kotor dan Mencaci
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Jauhilah kata-kata kotor. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai ucapan kotor dan kesengajaan mengucapkan kata kotor’.
Bahkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melarang para sahabatnya mencaci orang-orang musyrik yang terbunuh dalam Perang Badar. Beliau mengatakan, “Jangan kalian caci mereka karena cacian yang kalian ucapkan tidak akan sampai kepada mereka. Cacian kalian bisa saja menyakiti orang-orang yang masih hidup. Ingatlah, mencaci adalah perbuatan yang tercela.”
Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga bersabda, “Orang mukmin bukanlah orang yang suka mencaci, melaknat, melakukan atau mengatakan hal yang keji, maupun suka berkata kotor.”
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda. “Sesungguhnya berkata keji dan menampakkan kekejian sama sekali bukan termasuk Islam. Adapun orang yang paling baik keislamannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya.”
Ahnaf bin Qais mengatakan, “Maukah kalian kuberitahukan penyakit yang paling ganas? Yaitu lisan yang senantiasa mencaci dan akhlak yang rendah.”
Yang dimaksud dengan berkata keji (fuhsy) adalah mengungkapkan sesuatu yang dianggap kotor dengan ungkapan yang terang— benderang. Orang-orang saleh membersihkan lisan mereka dari ungkapan kotor dan menyebutnya dengan isyarat. Ibnu Abbas mengatakan, “Sesungguhnya Allah Maha Malu dan Maha Mulia. Dia suka memaafkan dan menggunakan bahasa kiasan. Dia menggunakan kata menyentuh [lams) untuk kata bersetubuh (jima’)” Maka, seyogianya seseorang menggunakan bahasa kinayah (kiasan) untuk mengungkapkan hal-hal tertentu seperti menunaikan hajat sebagai ganti buang air kecil dan buang air besar, untuk istri dikatakan yang ada di kamar atau di balik tirai atau ibunya anak-anak bukan dengan ungkapan istrimu atau saudarimu.
Al-Ala’ bin Harun mengatakan. “Umar bin Abdul Aziz sangat berhati-hati dalam berbicara. Suatu ketika ada nanah keluar dari bawah ketiaknya. Lantas kami mendatanginya untuk mengetahui apa gerangan yang akan ia katakan. “Dari mana nanah itu keluar?” la menjawab, “Dari tangan bagian dalam.” Seorang badui berkata kepada Rasulullah, “Nasihaalah aku.” Rasulullah pun mengatakan, “Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah. Jika ada orang yang mencaci sesuatu yang ada pada dirimu, janganlah engkau mencaci apa yang ada pada dirinya. Maka, bagi orang yang mencelamu keburukan, dan bagimu pahala. jangan pula engkau mencela sesuatu.”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salampun pernah bersabda, “Mencaci orang Muslim adalah kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah kekufuran!
Dalam hadits yang lain dinyatakan. “Terkutuklah orang yang mencaci kedua orang tuanya” Dalam redaksi yang lain, “Salah satu dosa terbesar ialah dosa orang yang memaki orang tuanya.” Beberapa sahabat bertanya, “Wahai Rasul. Bagaimana mungkin seseorang memaki orang tuanya?” Rasulullah menjawab, “la memaki orang tua seseorang, lalu tersebut membalas dengan memaki orang tuanya.”

Penyakit Kedelapan: Melaknat atau Mengutuk
Melaknat termasuk perbuatan yang tercela, baik melaknat binatang, benda mati, apalagi manusia. Dalam hal ini, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda “Seorang mukmin itu bukan orang yang suka mengutuk”
Hudzaifah berkata,”Kaum yang saling mengutuk pasti akan menanggung akibat ucapannya!”
Imran bin Hushain berkata, “Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam perjalanan, tiba-tiba beliau bertemu dengan wanita Anshar berada di atas untanya, karena merasa kesal terhadap untanya, wanita mengutuknya. Lalu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda. ‘Ambillah sesuatu yang di atas unta itu, lalu lepaskan pelananya, karena unta itu telah terkutuk. Imran ibn Hushain berkata, “Aku melihat unta itu sedang berjalan-jaian tengah manusia. tidak ada seorang pun yang mengganggunya!”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda: “Para pengutuk itu tidak dapat menjadi orang yang bisa memberi syafaat dan menjadi saksi pada Hari Kiamat.
Anas r.a. berkata, “Ada seseorang bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam diatas untanya. Tiba-tiba lelaki itu mengutuk untanya. Maka beliau berkata ‘Wahai hamba Allah! Engkau jangan ikut bersama kami di atas unta yang terkutuk ini.”
Ada tiga golongan yang pantas mendapatkan kutukan, yaitu: 1) Pelaku kekufuran, 2). Pelaku bid’ah, 3). Pelaku kefasikan. Tingkatan kutukan itu juga dibagi atas tiga bagian: Tingkatan pertama: mengutuk secara umum. Seperti ucapanmu, “Semoga Allah mengutuk orang-orang kafir, para pelaku bid’ah dan orang-orang fasik!”
Tingkatan kedua: mengutuk dengan sifat yang lebih khusus. Misalnya, ucapan seseorang, “Semoga Allah mengutuk orang Yahudi, orang Nasrani, orang Majusi, golongan Khawarij, Rawafidh, Qadariah, pelaku ke zaliman dan para pemakan riba!” Mengutuk dengan ucapan yang demikian itu dipcrbolehkan. Tetapi, mengutuk dalam masalah bid’ah berbahaya. Untuk itu, kutukan dalam bid’ah sebaiknya dihindari dari orang awam, karena hal itu akan mengundang perlawanan dan mengobarkan konflik dan kerusakan.
Tingkatan ketiga: mengutuk orang tertentu. Ini amat berbahaya dan dilarang.
Boleh melaknat orang yang dikutuk dengan tegas oleh syariat Islam. Seperti halnya ucapan, “Semoga Firaun dikutuk Allah dan semoga Abu Jahal dikutuk Allah!” Karena mereka telah mati dalam keadaan kufur dan hal itu dijelaskan dalam agama.
Adapun melaknat orang tertentu yang hidup sezaman, yang tidak ada nash yang menegaskan bahwa ia akan mati dalam kekufuran, maka hal ini tidak dibolehkan, karena ada kemungkinan ia akan masuk Islam atau bertobat dan kembali pada Sunnah serta jalan yang lurus.
Jika engkau sudah mengetahui keharaman melaknat seorang kafir, maka melaknat pelaku fasiq dan bid’ah lebih utama keharamannya.
Tatkala salah seorang sahabat ada yang beberapa kali dicambuk karena meminum khamar, sebagian sahabat berkata, “Semoga Allah mengutuknya, banyak sekali kesalahan yang telah dilakukannya.” Rasulullah lalu bersabda, “Janganlah menjadi penolong setan terhadap saudara kalian dan janganlah berkata demikian, karena sesungguhnya ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah bersabda, “Setiap orang yang menuduh kufur atau fasiq kepada orang lain, tuduhan itu pasti kembali kepada dirinya, jika orang yang dituduh tidak seperti apa yang ia tuduhkan.”
Jika ada orang yang bertanya, “Apakah boleh mengatakan, ‘Semoga pembunuh si Fulan (seseorang yang saleh dan baik) begitu pula dengan orang yang menyuruh membunuhnya dikutuk oleh Allah!’ Maka kami menjawab, “Yang benar adalah mengatakan, ‘Jika pembunuh si Fulan itu mati sebelum bertobat, mudah-mudahan ia dikutuk oleh Allah!” Wahsyi ibn Harb telah membunuh Hamzah, paman Rasulullah Saw, kemudian ia bertobat dari kekufuran. Karena itu, ia tidak boleh dikutuk.
Seorang mukmin hendaklah tidak meremehkan kutukan. Karena, orang mukmin itu bukan pcngutuk dan pcnghujat, lebih baik berzikir kepada Allah.
Makki ibn Ibrahim berkata, “Pada waktu aku di dekat Ibnu Aun, tiba-tiba ada sekelompok orang menyebut-nyebut Bilal ibn Abi Burdah dan mengutuknya, sedangkan Ibnu Aun tetap diam. Mereka lantas bertanya, Hai Ibnu Aun! Aku menyebut-nyebut Bilal ibn Abi Burdah karena ia telah menyakiti dan berbuat dosa kepadamu!’ Ibnu Aun menjawab, ‘Sesungguhnya akan keluar dua kalimat dari lembaran catatan amalku pada Hari Kiamat nanti, yaitu ‘La ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah)’ dan ‘La’anallahu fulan (terkutuklah fulan)’. Maka, keluarnya kalimat ‘La ilaha illallah lebih suka daripada keluarnya kalimat, ‘La’anallahu fulan!” Dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Melaknat seorang mukmin sama seperti membunuhnya.”
Mendoakan keburukan untuk seseorang tidak beda hukumnya dengan melaknatnya, seperti jika seorang berkata, “Semoga Allah tidak memberi kesehatan pada fisiknya, dan semoga Allah tidak memberi keselamatan kepadanya.” Dan ucapan-ucapan lain seperti itu.
Sesuatu yang mendekati kutukan adalah mendoakan keburukan kepada seseorang. Seperti doa, “Semoga Allah tidak menyehatkannya dan semoga Allah tidak menyelamatkannya.” Atau doa-doa yang sejenis dengannya.

Penyakit KesembiIan: Nyanyian dan Syair yang Diharamkan
Syair adalah kata-kata. Yang baiknya adalah baik, yang buruknya adalah buruk. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Penuhnya perut seseorang di antara kalian dan nanah busuk lebih baik dari pada penuh dengan syair”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari syair itu mengandung hikmah”
Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah menambal sandalnya. Ketika itu aku sedang duduk sambil memintal. Aku memandang beliau dan dahinya berkeringat dan tampak bercahaya. Aku tercengang melihatnya. Beliau pun memandangku dan berkata, “Mengapa engkau tercengang?” aku menjawab, ‘Ya Rasulullah! Aku melihat dahimu berkeringat dan keringatmu itu tampak bercahaya. Andai Abu Kabir Al-Hudzali melihatmu, niscaya ia mengerti bahwa engkaulah yang berhak dengan syairnya.’ Rasulullah lantas bertanya, “Apa yang dikatakan oleh Abu Kabir Al-Hudzali, wahai Aisyah?” Aku menjawab, ‘Abu Kabir Al-Hudzali pernah mendendangkan dua bait syair:
la bersih dari sisa darah haid
Terlindung dari kerusakan wanita yang menyusui
Dan penyakit wanita yang hamil Bila engkau melihat wajahnya
Niscaya wajah itu berkilau laksana kilat yang menyilang
Kemudian RasululiahShalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam meletakkan sesuatu yang ada ditangannya, lalu mendekatiku, seraya berkata. “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Aisyah. Betapa bahagianya diriku kepadamu, melebihi kebahagiaanmu kepadaku.”


Sumber : Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Amal Pemusnah Kebaikan, bagian 1"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip